Lima tahun berlalu sejak semua kejadian aneh menimpa Riza, ia menjadi jauh lebih mengerti mengatur semua pekerjaannya, ia hanya berjuang serius dengan bisnisnya, tanpa memikirkan apa-apa selain bekerja, menjadi lebih dewasa dan tegas, hanya merindukan ibunda dan wanita pujaan hatinya Sherly yang selalu sulit untuk didekati karena perbedaan umur yang begitu jauh.
***
Di padang rumput luas tanpa batas.
“aku menyukai wanita dikelasku kek” tanya Riza dengan polosnya,
kakek tua itu tertawa terbahak-bahak, cekikikan, lalu menoleh memandang Riza penuh arti.
“aku tahu, dengar nak”, ucapnya,
“kau akan berumur tiga puluh tahun selamanya, kau akan mati jika sudah saatnya… Jadi bersabarlah jika kau mencintainya”, jawab kakek itu tersenyum.
Mungkin sekarang saatnya aku akan mendekati Sherly lagi. Dia sudah sembilan belas tahun sekarang,
apa dia akan mengenaliku? Terakhir bertemu lima tahun yang lalu itu sudah lama sekali, sampai sekarang aku masih menyimpan sapu tangannya, bagaimana wajahnya sekarang. bathinnya.
Riza mengetahui Sherly kuliah di universitas negeri, dia tetap pintar seperti dulu, Riza mengetahui tentang Sherly dari pesuruhnya, tapi Riza tidak mengizinkan pesuruhnya mengambil foto karena sebuah alasan, dia hanya ingin fokus pada pekerjaannya. Yang selalu jadi pikirannya adalah.. Apakah Sherly sudah memiliki kekasih sekarang, tetapi Riza sepertinya tak peduli.
“Sherly”, sapa kawannya dari kejauhan,
ia hanya berdiri tersenyum menunggu kawannya menghampiri.
“kamu lama banget Inggrit, aku sudah lima belas menit di sini”, ucapnya sedikit kesal,
“sory-sory tadi macet banget”, jawabnya senyum,
“alasan klasik!”, gumamnya kesal.
“kita makan di mana?”, tanya Inggrit,
“udah ikut aja”, jawab Sherly, dan berjalan menuju taksi yang ada di pinggir jalan.
Dan mereka pun pergi.
..
“AA kafe..? Aku belum pernah kesini sebelumnya”, ucap Inggrit, berkeliling melihat sekitar.
Suasana kafe itu begitu sejuk walaupun ditengah-tengah kota, di desain seperti rumah dari pohon, berdiri ditengah-tengah kebun asri dengan kolam hias, perabotan klasik, serta barang-barang antik, diiringi musik lembut, yang menyejukkan hati setiap pengunjung.
“suasananya sejuk dan segar, bagus banget kafenya Sher, pasti makanannya mahal?”, tanya Inggrit,
“gak juga sih, lagian aku juga yang bayar!”, jawabnya terkekeh. “kita duduk di sini, adem, aku suka suara gemercik air kolamnya”, tambahnya,
“oke, kan kamu bosnya, jadi terserah bos”, ejek Inggrit, keduanya saling memandang dan tertawa geli.
Di sudut lainya duduk seorang pria,
“maaf pak Anton, Anda mau pesan nasi goreng seperti biasa?”, tanya pelayan sekaligus karyawannya,
“saya tidak lapar, tolong bawa kopi hitam”, jawabnya,
“baik pak, ada yang lain?”, tanyanya lagi,
“itu saja..”, jawabnya, dan mulai membuka laptopnya, meregangkan badannya, dan melihat sekitar,
pandangannya tertuju pada dua wanita yang sedang bersenda-gurau.
“kopinya pak”, ucap pegawainya,
“pak..?”, tegasnya, pegawainya melirik ke arah yang dilihatnya.
“Oh, eh, terima kasih sell”, jawabnya tersadar dari pandangan seriusnya.
“yang berambut pendek itu langganan kita pak, cantik ya?”, tanyanya menyelidik,
“ah, oh tidak, oh.. Ya, ya dia cantik”, jawabnya gugup,
“kamu kenal dia sell?” tanyanya,
“kalau tidak salah namanya Sherly, dia kuliah di kampus dekat kafe kita pak”, jawab pegawainya,
“bapak mau nomor ponsel-Nya?”, pegawainya menawarkan,
“oh tidak perlu sell, terima kasih”, jawabnya,
“biar aku yang mengantarkan pesanannya.” Ucap Riza, ia terus memandangi senyum Sherly, itu membuat dunianya terhenti sejenak,
Sherly tidak banyak berubah setelah dewasa, rambutnya sudah mulai panjang sedikit sejak terakhir Riza menemuinya, tubuhnya bertambah tinggi, wajahnya semakin bersinar, lekukan di tubuhnya mulai terlihat.
Kedua gadis masih bercakap-cakap dan sedikit tertawa.
“jadi kamu tolak sher?”, tanya Inggrit,
“jadi sampai kapan kamu mau terus menjomlo”, tambahnya terkekeh mengejek.
“ini pesanannya mbak”, ucap pelayan tampan sembari meletakan pesanan mereka. Pandangan Inggrit tak bisa lepas dari wajah pelayan tampan tersebut, Sherly menyenggol tangan Inggrit dengan sikunya,
“apa yang kau lihat!”, bisik Sherly, mengejek. Yang sebenarnya itu adalah Anton/Riza,
pelayan tampan itu meninggalkan mereka berdua dengan senyum dan pandangan penuh makna mengarah ke Sherly. Sherly hanya mengangkat alisnya dan tersenyum tipis, melihat pelayan itu pergi, dan ia berpikir pernah mengenalnya, tapi hanya sekilas dan melanjutkan gurauannya bersama Inggrit.
Setelah makan siang, Sherly berpisah dengan Inggrit karena Ia tidak ada jadwal kuliah hari ini. Sherly berjalan ke kampusnya dan Inggrit pulang dengan menggunakan bus, hanya berjarak beberapa meter dari kafe ke kampusnya. Dan ia sebenarnya dari tadi memikirkan pelayan tampan tersebut sambil senyum-senyum sendiri,
“sepertinya aku pernah berjumpa dengannya, tapi di mana ya? Kapan?”, gumamnya.
Sementara Anton sudah sejak tadi mengikutinya, dari dalam mobil ia terus mengamati, ia sangat rindu pujaan hatinya tersebut, sampai-sampai ia rela mempermalukan dirinya di depan karyawan-karyawannya. Ia bingung harus mulai dari mana, jadi seperti itu saja sepertinya dia bahagia, akhirnya Sherly berbelok ke jalan setapak yang tidak bisa di lalui mobil, Riza kecewa,
“apa yang kulakukan seperti tak ada hari esok saja!”, ia mulai gila karena Sherly, ia sadar Sherly adalah pelanggan kafenya jadi ia yakin bahwa lain waktu Sherly akan kembali lagi,
“aku tak habis pikir, ternyata si Kunti masih saja menyukai jus aneh itu.