Warung Kopi Mbok Tum episode 1


Cuaca hari ini sangat panas, aku termenung dimeja kerjaku sambil meratapi antrian orang diluar jendela yang sedang mengantri es kopi susu dan roti gratis. Oh ya, aku hampir lupa. Hari ini hari kamis tanggal 13 oktober, hari rutinku dimana aku membagikan es kopi susu ciptaanku sendiri untuk orang – orang yang hidup dijalanan. Melihat mereka… aku teringat sesuatu. Sesuatu hal yang mengantarkanku ke tahap ini.

****
WARUNG KOPI MBOK TUM

Sore itu akan terjadi pemandangan senja yang luar biasa. Seperti biasa, aku bergegas ke atas membawa secangkir kopi untuk dapatku nikmati diatas atap warung.
Tumpukan piring kotor sudah selesai kucuci dan kurapikan ke dalam rak piring, air yang mendidih sudah kutuangkan ke dalam termos agar Mbok Tum bisa lebih mudah
menyajikan kopi panas untuk beberapa kuli bangunan disebrang jalan yang sedang dalam penyelesaian proyek. Hal ini memang sudah biasa kulakukan sepulang kerja.

Sungguh nikmat tiada tara, menyeruput kopi setengah panas sambil melihat pemandangan senja yang begitu menghibur ditambah lagi suara kereta yang sangat berisik menemaniku selama 3 tahun belakangan ini.

Belum juga habis kopiku ini, baru diseruput sedikit. Suara teriakan Mbok Tum yang nyaring berciri khas membuatku terselak serbuk kopi.

“Raniiii,,, turun!!”  teriaknya.
“Sabaarrrr, 5 menit lagi mbokkkk”  jawabku dengan nada cuek

“Cepat turun!! sudah mau hujan”  begitulah alasan Mbok Tum ketika dia membujukku untuk turun
“Tidak ada tanda – tanda mendung hari ini, senjanya sedang bagus – bagus nya Mbok”
“Ya sudah kalau begitu, Simbok mau pergi beli obat nyamuk sendiri” jawabnya kesal.

Mendengar itu, aku langsung turun dan segera menarik uang yang ada ditangan simbok untuk membantu nya ke warung sembako membeli obat nyamuk, sambil memberikan senyum tipisku agar Mbok Tum tidak ngambek.

Mbok Tum… begitulah aku memanggilnya.
Wanita paruh baya yang menyelamatkanku 3 tahun lalu, malam tragis yang tidak pernah kulupakan, dari tragisnya obat – obatan terlarang yang hampir merenggut nyawaku. Saat itu, aku hampir mati overdosis. Kalau bukan karna Mbok Tum, mungkin nyawaku sudah tidak tertolong karna stress berat yang kualami semenjak aku terjerumus ke dalam lingkaran narkoba dan membuat hidupku hancur kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal. Aku tidak menyangka, bahwa wanita paruh baya pemilik warung kopi gubuk yang mulanya hanya lewat didepan kostku untuk mengambil cucian adalah orang yang berjasa dalam hidupku 3 tahun terakhir ini. Mbok Tum berhasil merawatku sampai sembuh dan 100% bangkit kembali.

“Ran,  jadi kapan kamu mau tempati rumah kontrakan ibu. Bayar doang tiap bulan tapi ditempati enggak”  tanya si pemilik warung sembako dan juga sekaligus pemilik
kontrakan, sambil menjulurkan tangannya memberikanku obat nyambuk suruhan Mbok Tum.

“Nanti mbak yati, aku masih proses membujuk Mbok Tum biar bisa tinggal bersama disini”  jawabku sambil tersenyum.

“Iya Ran, aku heran sama Mbok Tum. Kenapa sih ngotot tinggal di warung yang mau hampir roboh itu. Jelas – jelas sekarang kan ada kamu yang merawat dia dan sudah enak juga tinggal disini lebih nyaman dan aman. Lagian Mbok Tum juga sudah tua, kenapa sih tetap mau mempertahankan warung gubug itu”  jelasnya.

“Aku juga berfikir spt itu Mbak Yati, tapi ya mau gimana lagi Mbok Tum nya masih gamau”  jelasku.

Aku kembali ke warung Mbok Tum, seperti biasanya kami menutup warung kopi gubuk ini bersama – sama sebelum tidur. Aku merapikan warung sambil melihat raut wajah Mbok Tum yang kurang sumringah karna besok adalah hari kamis. Setiap malam rabu, Mbok Tum memang terlihat tidak semangat dari biasanya.Warung kopi Mbok Tum memang akan tutup disetiap hari kamis, sudah satu tahun belakangan ini Mbok Tum rajin mengunjungi makam suaminya untuk berziarah yang letaknya cukup jauh dari pusat kota.

“Mbok, besok ku temani ya ke makam”
“Jangan, ndak perlu. Biarkan Mbok sendiri seperti biasanya” jawab Mbok Tum tegas.
“Kenapa dari dulu ga pernah mau sih ditemenin? Mbok kan sudah tua dan aku juga sudah berpenghasilan, kita bisa naik mobil sewa untuk kesana”  jelasku dengan nada kesal.

Mbok Tum tetap menggelengkan kepala dengan tersenyum tipis dan mengelus pundakku sambil menyuguhkan es teh manis. Seperti biasanya, dengan sifat keras kepalanya, Mbok Tum menolak apabila aku ingin menemani nya pergi ke makam sang suami. Entahlah kenapa, hari kamis sudah menjadi Hari “privacy” Mbok Tum.

Kali ini Mbok Tum mau ku bujuk untuk tidur di rumah kontrakan yang ku sewa dari hasil penghasilanku selama ini. Sungguh lega rasanya apabila dia mau menurut kali ini. Sambil mengantuk kami sempat saling bertatapan dan bercengkrama sebentar,

“Mbok, aku berharap kamu mau pindah kesini dan hidup lebih nyaman tanpa bekerja di warung lagi. Kita bisa membuka usaha lainnya nanti”,
“Lagipula yang beli kopimu dari dulu hanya itu itu saja tidak terlalu ramai” Lanjutku.

Dengan senyum berciri khasnya, Mbok Tum membalas dengan suara yang kecil,
“Nanti juga kamu akan tau, simbok tidak akan bisa meninggalkan gubug warung kopi itu begitu saja Ran, Mbok harus menjaga gubug itu sampai akhir.”

“Sampai akhir?”  tanyaku dalam hati.
Kenapa kalimatnya begitu membuatku bertanya – tanya, tak lama aku melihat raut wajah Mbok Tum yang tertidur pulas. Sudah lama aku tidak memandangi wajahnya yang penyayang ini, raut wajahnya yang semakin keriput membuatku tidak mau meninggalkan Mbok Tum apapun yang terjadi. Sudah 3 tahun belakangan ini kami saling melengkapi dan hidup bersama. Mbok Tum yang hidup seorang diri karna ditinggalkan suaminya, dan aku yang hidup sendiri karna ditinggalkan orang tuaku.

*****

Pagi subuh, kami berjalan sedikit menuju pinggir jalan raya,

“Mbok nanti malam mau dimasakan apa?” tanyaku sambil berdiri disamping Mbok Tum menunggu bis yang biasa dia naiki menuju ke makam suaminya.

“Yang hangat – hangat saja ya ndok dan berkuah”  jawab Mbok Tum. Sup wortel memang menjadi favorit Mbok Tum sepulang perjalanan jauh.

Malam hari ini sudah menunjukan pukul 23.00, tidak biasanya Mbok Tum pulang selarut ini. Aku duduk didepan warung dengan kopi setengah panasku sambil menunggu Mbok Tum pulang. 10 menit kemudian dari kejauhan, aku melihat taxi berhenti disebelah rel kereta, Mbok Tum turun perlahan sambil melihatku dari kejauhan dan tersenyum ke arahku.

“Kamu pulang terlambat, Mbok”  jawabku dengan nada khawatir
“Macet sekali, mbok juga gatau kenapa semacet itu” sambil tersenyum tipis.

Sambil makan bersama, malam itu aku melihat Mbok Tum seperti bukan Mbok Tum yang biasanya.

“Ndok, maafkan simbok kalau ada salah ya”
“Kok bicara gitu mbok? bikin aku takut aja”
“Yo opo sih, cuma mau bilang itu aja. Pokok e harus inget pesenku 3 tahun lalu, kamu di dunia ini tidak sendiri. Ada Gusti Allah yang menjagamu dan aku.”  ujarnya sambil memegang tangan kananku erat.

Aku hanya bisa mengangguk senyum membalasnya, sambil menghabiskan sup dimangkuk. Tak lama Si Mbok melanjutkan pembicaraan,

“Oiya minggu depan, temeni simbok beli cat tembok yo. Kita cat barsama warung ini, warnanya sudah lesu” ajaknya dengan nada bersemangat.

“Mbok, tapi kan kita akan pindah. Warung ini sudah terlalu tua dan hampir roboh, sebaiknya kita buka usaha lain”  jawabku dengan keras kepala.

“simbok cuma mau minta tolong karo koe jangan pernah meninggalkan gubug warung ini. Syukur2 kalau kamu ada rejeki, ya tolong diperbagus warungnya biar ga roboh.” lanjutnya.

Aku hanya terdiam heran, dan bersikap pasrah karna Mbok Tum mungkin tidak akan pernah mau diajak pindah.

*****

Hari ini Mbok Tum sangat sumringah, setelah kami pulang dari membeli cat dan beberapa keperluan bahan baku untuk memperlengkap warung karna stock makanan
dan minuman yang hampir habis. Terlihat dari jauh temanku bernama Sekar, sahabatku disatu pekerjaan. Kami sudah lama berteman semenjak aku diterima bekerja menjadi karyawan swasta disalah satu perusahaan ternama. Aku memang sengaja menghubunginya lewat telfon untuk bisa ikut menghias gubug warung kami hari ini.

“Raniii…” teriaknya dari kejauhan.
“Mbok Tumkuuuu”  sambil memeluk Mbok Tum.
“Eh, ada dek sekarr”  jawab Mbok Tum riang.
“Sudah lama ga ketemu. Hari ini aku bantu mengecat warung yah”  lanjut sekar.

“Walah ndokk, maaf ngerepoti makasih banyak yah”  Ujar Mbok Tum tulus dan sambil tersenyum ke arahku.

Sekar memang sering main ke warung kopi Mbok Tum sekalian mengantarkanku pulang dari pekerjaan. Anaknya baik sekali dan perhatian ke Mbok Tum.
Tak jarang setelah pulang kerja ia membelikan makanan kesukaan Mbok Tum.

Kami bertiga menghiasi warung kopi gubug ini dengan perlahan tapi pasti, tidak terasa sudah menjelang sore. Aku dan sekar larut dalam canda tawa, sambil menyiapkan makan malam untuk kami bertiga, Mbok Tum tertawa juga mendengarkan gurauan canda kami berdua.

Sudah larut malam, Sekar memutuskan untuk menginap dirumah sewa ku.
Karna rumah sekar yang bisa terbilang jauh, cukup bahaya apabila perempuan mengendarai motor larut malam. Di malam itu, Mbok Tum memutuskan untuk tidur di warung kopi miliknya, walaupun kami sudah membujuknya lagi tapi Mbok Tum tetap kekeh untuk bermalam di warung.

“Ya sudah lah” pikirku. Mbok Tum memang sering menolak ajakanku, dia memang lebih nyaman untuk menghabiskan waktu di warung kopinya lagian warungnya
juga baru selesai dibenahi dan kami hiasi, terlihat wajahnya yang lega saat kami selesai mengerjakannya. Aku dan sekar merapikan sekali lagi tempat tidur yang dipakai Mbok Tum diwarung dan menyalakan obat nyamuk yang biasa Mbok Tum pakai.

“Ran, besok pagi kesini lebih awal yah untuk menyiram tanaman didepan” suruh Mbok Tum dengan nada senang.

“siap mbok” jawabku.

Entah kenapa malam itu aku begitu berat meninggalkan warung, tapi aku tidak mungkin meninggalkan sekar tidur sendirian di rumah sewa pasti Mbok Tum juga tidak memperbolehkan.

Sampainya dirumah, kami tertidur pulas karna sangat lelah.
Sekitar tengah malam menjelang subuh, aku tiba – tiba terbangun mendengar suara hansip menggendorkan pintu dengan sangat keras dan panik. Sontak kami kaget dan langsung membuka pintu, aku kira ada maling tertangkap di sekitaran rumah kontrakan.

“Mbak RANI…MBAK!! BUKA MBAK !!”

“Kenapa pak malam malam gini, kaget aku” jawabku panik

“SIMBOK MBAK!! MBOK TUM!” teriaknya

Aku langsung lemas, aku tatap muka hansip itu. Tanpa mendengar penjelasan hansip dan banyak bicara, aku langsung berlari menuju warung. Pikiranku kosong, aku hanya berlari kencang untuk bisa sampai menuju warung melihat simbok.

Kakiku lemas, dan kaget melihat Mbok Tum tidak sadarkan diri di tempat tidurnya. Aku melihat Mbok Tum mengeluarkan darah dari mulutnya.
Sekar yang terhela – hela karna ikut berlari mengejarku dari belakang, sontak kaget dan membantuku untuk menyadarkan mbok tum. Sekar membantuku untuk menelfon ambulance. Aku bertanya dengan Pak Hansip sambil menangis apa yang terjadi,

“Saya lagi berjaga mbak, tiba tiba Mbok tum minta tolong dari dalam warung. Pas saya ketok sudah tidak ada respon lalu saya dobrak pintunya”

Ketika ambulance datang, kami bergegas masuk membantu Mbok Tum. Aku memegang erat tangannya selama perjalanan menuju rumah sakit. Sekar mencoba menenangkanku dengan mengelus pundakku berkali – kali seraya berkata kalau semua akan baik baik saja. Mbok Tum masuk ke ruang UGD, kami menunggunya diluar seraya cemas dan takut.

“RANI, lihat kakimu !! berdarah ran”  ujar sekar yang kaget sembari melihat ke arah kaki kiriku.

Aku lari kencang sekali tanpa memakai sandal sampai – sampai tidak terasa sepertinya aku menginjak sesuatu yang tajam sangking takutnya dengan keadaan Mbok Tum. Sudah hampir satu jam kami menunggu, sekar yang sibuk memakaikan perban dikakiku mencoba menenangkanku melihat kondisiku yang panik dan melamun karna takut.

5 menit kemudian, suara langkah kaki seorang laki-laki yang memakai baju dokter menghampiri kami secara perlahan kemudian berdiri tepat didepan kami.
Penjelasan dokter tersebut membuatku tertegun dan membuatku diam seribu bahasa, sekar menangis dan memelukku dari samping membantu menguatkanku.
Rasanya seperti tersambar petir, aku harus menerima kenyataan bahwa Mbok Tum sudah tiada. Mbok Tum menyimpan segala rahasianya, dia menderita kanker hati
stadium D, 1 tahun terakhir ini. Aku menghampiri Mbok Tum dengan hati yang tersayat – sayat, melihat wajahnya yang sudah kaku dan dibersihkan. Aku hanya bisa
terjatuh lemas disamping jenazahnya, sambil berteriak teriak tidak menyangka.

“Mbok, apakah kamu menahan sakit? apakah rasanya sakit sekali mbok? maafkan aku mbok”  ujarku sambil menangis lirih disampingnya.

Sekar membantuku untuk berdiri dan bangkit, sambil kutolak dan terus menangis disamping jenazahnya. Aku berdiri dan berjalan tanpa alas kaki menuju warung Mbok Tum, dengan hati yang sesak dan pikiran kosong aku berjalan melewati hujan yang lebat. Aku tidak sanggup untuk melihatnya sudah tiada, dengan rasa penyesalanku karna tidak tau penyakit yang dia deritanya selama ini.

Aku masuk ke warung kopi dengan menangis tersendu – sendu, melihat pajangan foto kami berdua dan setumpuk mangkuk bekas sup wortel yang baru kami santap bersama. Disela-sela pajangan foto Mbok Tum, aku menemukan sepucuk surat dengan bercak darah yang terjatuh dibawah lemari kunonya.

Rupanya, surat ini ditulis Mbok Tum untukku. Sebuah pesan yang dibuat dari tulisan tangannya sendiri sebagai bentuk rasa sayangnya kepadaku. Isi surat yang membuat hatiku sakit dan tidak berhenti mengeluarkan air mata sambil kutepuk – tepuk kepala ini menyesal.

Ndok, rani sayang…

Mbok tidak tau harus memulai darimana, semenjak Mbok ditinggalkan suami. Kamu adalah orang yang menemani simbok selama ini.
Sepertinya Tuhan memang mengirimkanmu kepada simbok atas jawaban doa simbok selama ini, hidup sendirian di warung kopi sederhana ini membuat simbok
tertekan sampai akhirnya simbok menemukanmu, wanita sebatang kara yang senasib dengan simbok yang terbujur kaku dikamar kostmu tanpa ada pertolongan.
Simbok sudah menganggapmu seperti anak sendiri, lega sekali ketika melihatmu sudah menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani seperti sekarang.
Akhir – akhir ini Mbok bangga padamu, dari hasil jerih payahmu kamu berusaha mengajak simbok untuk hidup yang lebih nyaman.
 Maafkan simbok yang 1 tahun belakangan ini sudah membohongimu, simbok pergi setiap hari kamis untuk terapi penyakit yang simbok sudah derita selama 5 tahun. Simbok terpaksa menyembunyikan penyakit ini dan berbohong supaya kamu tidak kehabisan biaya untuk pengobatan simbok.
Ndok, dari warung kopi ini Mbok banyak belajar sesuatu. Maafkan simbok karna keras kepala padamu agar warung kopi ini tidak dibongkar, warung kopi ini simbok bangun berdua dengan suami tercinta. Kami berdua datang jauh untuk merantau, kerja serabutan dan akhirnya bisa membangun warung kopi tua ini. Warung ini menjadi saksi bisu perjuangan simbok dan suami untuk bisa berjuang hidup disini. Dengan membangun warung disini, simbok menjadi lebih dekat dengan anak anak jalanan, pengemis, dan orang – orang kecil seperti simbok. Tidak jarang tiba tiba ada yang menemani simbok di depan warung karna ada yang kehujanan tidak punya rumah, dahaga dan kelaparan. Dengan menjadi kuli cuci dan membuka warung kopi ini, simbok bisa membantu mereka semua. Simbok berharap kamu bisa mengembangkan warung kopi ini dan meneruskan apa yang sudah simbok dan suami jalani selama ini. Ingat ndok, kamu tidak sendiri…. Simbok menjagamu, jadilah orang yang menyebarkan kasih untuk orang lain.

** TAMAT **


Warung Kopi Mbok Tum

Warung Kopi Mbok Tum

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2020 Native Language: Indonesia
Cuaca hari ini sangat panas, aku termenung dimeja kerjaku sambil meratapi antrian orang diluar jendela yang sedang mengantri es kopi susu dan roti gratis. Oh ya, aku hampir lupa. Hari ini hari kamis tanggal 13 oktober, hari rutinku dimana aku membagikan es kopi susu ciptaanku sendiri untuk orang - orang yang hidup dijalanan. Melihat mereka... aku teringat sesuatu. Sesuatu hal yang mengantarkanku ke tahap ini.

Komentar

  1. Tikamj says:

    Gak sengaja nemu cerpenku disini. Thank you uda upload ya 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset