Yes, I am D.I.D episode 12

Chapter 12 : Break Up Dinner

“Dilan!” panggil rafa.

“Apa?” jawab dilan.

“Hayo ikut!” ajak rafa.

“Gak ah” tolak dilan.

“Ayo kasian syafira!”

“Dia itu lagi bersedih ngerti gak sih!?” teriak rafa kesal.

“Aku disana pun gak akan bisa balikin ibunya balik lagi kan?” ucap dilan.

“Dia itu butuh kita buat hibur dia!” rafa tidak sependapat dengan dilan.

“Ya udah kalau kamu mau hibur dia kamu aja yang berangkat sana”

Bukan aku gak mau…

Tapi yang bisa ngehibur syafira itu kamu rafa…

Aku hanya bisa membuatnya kesal, marah bahkan menangis…

Sekarang dia pasti nangis disana, aku harus gimana? Aku gak tau…

Cuma kamu yang bisa ngehibur dia, pergilah…

“Kamu kok gitu banget sih dilan!?”

“Kamu lupa baiknya ibu syafira ke kita?”

“Sekarang ibunya syafira udah gak ada! Kamu gak pengen liat dia buat terakhir kalinya!?”

Gimana aku bisa lupa?

Karena itu aku makin gak mau kesana sekarang…

Kalau aku kesana sekarang aku cuma bakal teringat dia…

Aku pasti bakal nangis kalau ngeliat dia buat terakhir kalinya…

Kalau aku nangis aku cuma bakal ngebuat syafira tambah sedih…

Pergilah rafa…

Pergilah tanpa aku…

“Tolong syafira dilan” kali ini rafa meminta dengan nada memohon.

“Aku janji gak akan minta bantuan kamu kaya gini lagi, tapi kali ini aja aku mohon…”

“Iya deh”

“Tapi kalau dia lagi gak mau diganggu kita pulang ya!?” ucap dilan.

“Beres”

Saat itu adalah saat dimana ibunya syafira dimakamkan. Ibu syafira meninggal setelah tidak bisa diselamatkan ketika sedang dalam meja operasi. Bagi kami ibu syafira sama seperti ibu kami. Beliaulah yang lebih banyak menjaga, merawat dan mencoba memberikan perhatiannya kepada kami semenjak ibu kandungku dan rafa meninggal.

Ibu kandung kami meninggal setelah melahirkan kami. Iya, aku dan rafa adalah saudara kembar. Ibu kami meninggal karena kehilangan banyak darah dan karena memang dari awal sebelum persalinan kondisi beliau sudah sangat lemah.

Ibu lebih memilih melahirkan kami berdua dibandingkan keselamatan dirinya sendiri.

Ibuku hebat kan?

Ibu, engkau memang pahlawan untuk setiap anak-anak yang engkau lahirkan.

Ibu, jika ada orang yang ingin kupeluk ketika aku lahir kedunia ini, maka orang itu adalah dirimu.

Ibu, jika seandainya aku bisa dengan mudah menukarkan nyawaku, maka akan aku tukarkan nyawaku untukmu agar engkau masih bisa bernafas di dunia ini.

Ibu, aku belum sekalipun sempat besar dan tumbuh dewasa bahkan membuatmu bangga, tapi kenapa engkau sudah percaya kalau aku kelak akan begitu?

Ibu, tanpa pernah melihat bagaimana diriku, wajahku, suaraku, senyumanku tapi kenapa engkau selalu bilang kalau aku kelak akan menjadi orang yang sempurna di seisi dunia?

Ibu, tanpa pernah mendengar apalagi melihat aku menangis untukmu, kenapa engkau selalu menangis untukku agar aku bisa sehat selalu sampai aku tiba waktunya aku keluar nanti?

Kenapa ibu, engkau begitu mencintaiku?

Karena engkau ibuku? Atau lebih dari sekedar itu?

Ibu, sekarang juga aku ingin bilang padamu…

Aku ingin bilang terima kasih padamu…dan…

Aku…juga mencintaimu…

Setelah ibu kami meninggal kami diasuh oleh ayahku bersama nenekku, ibu dari ayahku. Namun ketika kami berumur 5 tahun nenek meninggal dunia. Selebihnya ayahlah yang mengasuh kami meski sesibuk apapun dia saat itu sebagai dokter.

Sampai ketika kami berjumpa dengan teman baik ibu, dan dia adalah ibu syafira.

“Dengar dilan, rafa” ucap ayah.

“Iya ayah?” jawab rafa.

“Dilan?” ayah bertanya padaku.

“Iya, aku dengar”

“Ibu syafira adalah teman baik dari ibu kalian”

“Dan semenjak ada dia, dia lah yang membantu ayah mengasuh, menjaga, memperhatikan kalian”

“Dia mencoba memberikan kasih sayang seorang ibu pada kalian sebisa dia”

“Kalian tau itu?” tanya ayah.

“Iya ayah” jawab rafa.

“Dilan!?” tanya ayah lagi padaku yang cuma diam dari tadi.

“Iyaaaa, aku denger yah” jawabku.

“Sekarang beliau sudah pergi”

“Dan sekarang syafira yang akan merasakan rasanya kehilangan seorang ibu”

“Kalian tahu rasanya gimana kan? Jadi kalian berdua harus hibur dia ya”

“Iya ayah” jawab rafa.

Iya…

Saat itu, saat pertama kali bertemu dengan ibu syafira…

“Wah ini ya si kembar!”

“Lucuuu yaaaaa!” ucap ibu syafira sambil mengelus-ngelus kepala kami.

“Ah iya ini anak ibu”

“Syafira! Hayo kenalan” ucap ibu syafira pada anaknya.

“Syafira” ucap syafira sambil menawarkan diri untuk berjabat tangan denganku.

“Dimas” ucap ibu syafira.

“Ya?” jawab ayahku.

“Gimana kamu ngurus dua anakmu ini?”

“Ya sebisanya wulan” jawab ayahku.

“Repot pastinya ya? Lagipula kamu masih sibuk di rumah sakit kan?”

“Iya, apalagi setelah ibuku meninggal mereka lebih banyak berdua dengan pembantu di rumah”

“Hmmm dimas?”

“Ya, kenapa?”

“Gimana kalau dilan sama rafa selagi kamu sibuk di kantor mereka biar denganku di rumah?”

“Aku bisa jagain mereka, lagipula biar syafira ada temennya, gimana?”

“Hmmm, gimana ya?” jawab ayahku bingung.

“Ayolah, semenjak alfurqan dalam keadaan seperti ini aku kehilangan sosok anak laki-laki dirumah”

“Jadi alfurqan sampai sekarang masih depresi?”

“Iya, kasian syafira kehilangan sosok kakaknya”

“Ya udah, kamu tanya ke dilan sama rafa aja mereka mau apa gak”

“Mereka pasti mau! He he he”

Jujur saja pada kalian awal aku kenal padanya, aku tidak suka dengannya. Dia itu sok akrab, sok pinter, sok nasihatin dan paling ngeselin dia itu berisik!

“Dilan dilan dilan!” teriak syafira.

“Apa apa apa” jawabku tanpa melihat langsung dirinya.

“Ih kalau aku manggil itu liat aku juga dong jangan cuma jawab aja”

“Iya iya iya” jawabku tanpa masih memperhatikan dirinya.

“Iiiihh!” karena kesal syafira menggigitku.

“Aaaaaarrgghhhhhhhhhhh!” aku berteriak kesakitan.

“Kenapa kenapa kenapa?” ucap ibu syafira yang berlari dari dapur ke ruangan tengah karena kaget mendengar teriakanku.

“Sakit sakit sakit!” ucapku sambil mengelus tanganku yang digigit syafira.

“Syafira, kamu kenapa gigit dilan!?” tanya ibu syafira.

“Habisnya dia itu ngeselin!”

“Mamah juga ikut-ikutan ngeselin ih!” ucap syafira yang kemudian pergi berlari meninggalkan kami.

“Dia kenapa sih dilan?”

“Gak tau” ucapku masih mengelus tanganku.

“Rafa mana?”

“Keluar”

“Keluar? Keluar mana?”

“Angkasa”

“Angkasa? Keluar angkasa?”

“Huum”

“Ngapain?”

“Beli pulpen”

“Beli pulpen di luar angkasa?” (angkasa itu adalah nama jalan tempat rumah syafira)

“Iya”

“Ngapain beli pulpen jauh-jauh?”

“Syafira yang nyuruh”

“Syafira? Ih syafira ini nakal nyuruh rafa aneh-aneh”

“Huum” ucapku cuek sambil meneruskan gambarku.

“Syafira gak nyuruh kamu keluar angkasa juga?”

“Nyuruh”

“Terus? Kamu gak mau?”

“Iya”

“Kenapa?”

“Gak papa”

“Hhhmm, nanti syafira deketnya ke rafa lho”

“Biar”

“Oh gitu, jangan nyesel ya nanti kalau udah gede syafira lebih milih rafa”

Kemudian aku beranjak dari tempat dudukku dan berlari keluar.

“Eh kamu mau kemana dilan?”

“Pipis”

“Pipis kok diluar? Kan di rumah juga ada”

“Mau nyobain pipis di luar angkasa”

“Haha dasar”

Kalian tahu? Saat itu aku berbohong kalau aku ingin pipis, padahal aku juga berniat beli pulpen di luar angkasa sama dengan yang rafa lakukan saat itu.

Cemburu itu menarik ya jika suatu saat kalian menyadarinya…

Kembali ke waktu pemakaman ibu syafira, disitu kami melihat syafira, ayahnya dan juga kak alfurqan yang terlihat sangat bersedih. Terutama syafira yang sedari tadi menangis tersedu-sedu disamping ayahnya.

Apa yang bisa kulakuin?

Tanpa menunggu lama, rafa maju mendekati syafira, meninggalkanku yang saat itu hanya bisa terdiam melihat syafira di kejauhan.

Rafa memeluk syafira dan berkata…

“Menangislah sekuatmu syafira”

“Tapi habis ini kamu gak boleh nangis lagi, gak boleh lagi”

“Gak boleh pokoknya”

Seseorang tiba-tiba menyeberang ketika mobil kami akan melintas, kemudian dengan refleks ayahku membanting setir ke arah sebaliknya namun sayang tiba-tiba truk besar datang dengan kecepatan tinggi dari belakang dan menabrak mobil yang kami tumpangi.

“Ay..aah aayaa…aahh” ucapku ke ayahku.

“Ayaahhh, ayaaahhh” ucapku kemudian sambil menggoyang-goyangkan badannya.

Aku mencoba melakukannya beberapa kali namun tetap saja ayahku tidak bergeming. Aku kemudian menjadi ketakutan, sangat ketakutan dengan kondisi ayahku saat itu yang benar-benar dipenuhi darah.

“Ayaahh, bangun yaah”

“Ayyaaah”

“Dilaaann” ucap rafa pelan.

“Rafaa! Rafa kamu gak papa?”

“Sakit banget…” ucap rafa.

“Dilaan, syafira…syafira…” ucap rafa lagi sambil terbatuk-batuk.

“Kamu ini syafira, syafira aja!” ucapku kesal.

“Kalau…kamu ketemu dia…bilang padanya jangan nangis lagi…”

“Gak mau! Kamu aja yang bilang sendiri!” ucapku sekarang yang sudah menangis.

“Ayah…ayah” kali ini ini rafa mencoba memanggil ayahnya.

“Ayah gak mau bangun-bangun rafa…daritadi aku udah nyoba bangunin ayah” ucapku lagi.

“Dilaan, tolong aku dilan, sakit…”

Sesaat kemudian rafa tak sadarkan diri lagi.

“Fa, fa! Rafa! Rafa!”

“Rafa bangun rafa! Jangan tinggalin aku sendiri juga!” ucapku sambil menggoyangkan tubuhnya. Posisi kami saat itu ayah dan rafa berada di kursi depan dan aku yang di kursi belakang.

“Rafaaaaa!”

Sabtu, 19 Maret 2016

“Dilan, aku gak nyangka kamu berbuat sejauh ini…”

“Kenapa dilan?”

“Kenapa katamu? Kamu lupa kamu bilang apa padaku terakhir kalinya ketika malam itu?”

“Aku bilang sesuatu?”

“Iya”

“Memangnya aku bilang apa?”

“Kamu bilang padaku: tolong aku dilan”

“Saat itu aku masih kecil dan dalam keadaan terluka sama sepertimu, tidak ada yang bisa aku lakukan”

“Jadi itu yang membuatmu menjadi seperti ini?”

“Mencoba menghidupkan aku lagi dari dirimu sendiri!?”

“Jangan konyol dilan, kamu pikir aku senang jika kondisinya seperti ini?”

“Kamu tau gimana rasa kehilangan?” ucap dilan sekarang. Iya, proses co-consciousness itu sedang terjadi lagi saat ini.

“Kamu dan ayah sama-sama meninggalkanku sendirian malam itu…”

“Kalau kamu jadi aku saat itu kamu ngerti rasanya gimana?”

“Pernah bayangin rasanya mencoba membangunkan orang tuamu yang saat itu sudah meninggal didepanmu? Berharap dia mendengar panggilanmu?”

“Tau gimana rasanya hah!?”

“Pernah bayangin rasanya ketika saudara kembarmu, saudara kembarmu minta tolong padamu menjelang kematiannya?”

“Ibu,,,ibu syafira pernah bilang padaku: dilan, jika kamu sedang marah atau kesal sama rafa bayangin deh waktu kalian dalam kandungan ibu kalian. Kalian ditakdirkan bersama sejak dalam kandungan ibu kalian, tersenyum bersama bahkan berpegangan tangan, kalian sudah berbagi kasih sayang semenjak kalian dalam kandungan ibu kalian. Kalian juga berjuang bersama-sama buat lahir kedunia ini. Jadi jika masalah kecil sekarang saja sudah membuat kamu marah padanya itu gak sebanding dengan semua yang sudah kalian lewatin bersama.”

“Kamu tau rasanya gimana ketika kamu bilang sakit banget dan aku gak bisa ngapa-ngapain?”

“Kamu tau gak rasanya!? Brengsek!” teriak dilan.

“Maafin aku dilan…”

“Maaf sudah membuatmu memikul rasa itu sendirian selama ini”

“Maaf katamu?”

“Gampang banget kamu bilang maaf terus habis itu kamu mau pergi gitu?”

“Emang brengsek ya!?”

“Kamu mau aku maafin?”

“Iya”

“Kalau gitu lanjutkan semua ini sebagai penggantiku”

“Maksud kamu apa?”

“Hiduplah menjadi rafa seutuhnya dan lakukan semua yang kamu mau”

“Aku ikhlas”

“Jangan bodoh! Ini hidup kamu! Ini tubuh kamu! Semua ini milik kamu! Aku hanya karakter yang kamu bentuk secara paksa!”

“Gak usah bahas itu, toh pada akhirnya kamu bisa ketemu syafira juga kan? Kamu lupa sampai akhir juga kamu masih ingat dia di malam itu”

“Lakukanlah semua yang kamu mau, aku sudah menghidupkanmu, sekarang giliranmu meneruskannya”

“Jagalah orang yang kamu sukai”

“Dilan…”

“Apa lagi!?”

“Jika aku merasa sedih atau bahagia apa aku bakal merasa hidup lagi?”

“Jika aku mencoba, jika aku mengejar kembali syafira apa aku bakal ngerasain rasa sayang atau bahkan rasa cinta itu?”

“Seberapa banyak usaha pun aku coba, rasa itu tetap aja bukan rasa untukku”

“Emosi, perasaan itu dari tubuh kamu. Hati ini, jantung ini, otak ini yang ngerasain itu tetap saja milikmu pada akhirnya”

“Kenapa? Karena ini tubuhmu, semua punyamu”

“Kamu pernah ngebayangin rasanya jadi aku yang sekarang?”

Kamis, 17 Maret 2016

“Syafira, kamu dimana…”

“Aku harus nyari kamu kemana…”

Tak lama kemudian panggilan masuk ke handphoneku, nomor yang tidak kukenal.

“Halo?”

“Halo?” tanya balik orang itu.

“Rafa” ucapnya lagi.

Siapa dia? Kenapa dia tahu namaku? Dan lagipula aku sepertinya kenal dengan suaranya.

“Hey bocah, temui aku sekarang di …”

“Kakek?”

“Ini kakek kan!?” tanyaku padanya untuk mencoba meyakinkan diriku.

“Datanglah sekarang juga, aku menunggumu”

“Kenapa kakek masih hidup? Kakek harusnya sudah meninggal!”

“Kakek…kakek menipuku, menipu semua orang!”

“Datanglah dan akan kujelaskan semuanya”

“Dan tenang saja, syafira aman bersamaku”

“Syafira!?”

“Jadi kakek yang menculik syafira!? Kakek apain dia!?”

“Kamu datang saja dulu nanti aku jelaskan”

“Syafira!? Syafira!?” teriakku sambil berlari memasuki gedung tua itu.

“Rafa” ucap syafira.

“Selamat datang rafa, senang rasanya bisa bertemu lagi denganmu” ucap kakek.

“Kakek, maksud semua ini apa!” teriakku marah sambil berjalan cepat mendekati kakek, namun seseorang langsung menghadangku.

“Tenang dan dengarkanlah semua ini dulu”

“Kakekmu akan menjelaskan semuanya padamu”

“Joni?”

“Kenapa kamu ada disini?” ucapku.

“Joni dari awal adalah orang yang kuminta untuk mengawasimu rafa” ucap kakek.

“Apa!? Jadi kamu? Kamu juga tau semua ini dari awal dan kamu membohongiku!?”

“Dengerin aja dulu kakekmu” balas joni.

Aku kemudian langsung menampar joni tepat di mukanya.

“Brengsek!”

Baru menerima tamparanku, aku kembali menampar joni lagi.

“Itu buat tamparanmu sebelumnya brengsek!”

“Kamu selalu ngomong dilan dilan dilan, selalu percaya padanya, tapi kamu sendiri selama ini sudah menipunya!”

“Kalau dilan tau kamu udah menipunya, dia pasti udah nyesal nyelamatin kamu dari rei!”

“Aku menipu kalian? Dilan?”

“Aku gak pernah menipunya, aku hanya tidak pernah mengatakan apa-apa padanya”

“Jika dia bertanya maka akan aku jawab”

“Sebagai seorang teman, aku benar-benar menaruh respek padanya”

“Respek apanya brengsek!” ucapku kemudian mencoba menamparnya lagi, namun kali ini joni lebih sigap dan menahan tamparanku dengan tangannya.

“Aku gak akan terima jika ditampar lebih dari 2 kali darimu sekarang karena kita udah impas”

“Tapi jika dilan ingin menamparku karena ini, aku bakal nerimanya”

“Sekarang kamu mau nyari ribut denganku atau mendengar penjelasan semuanya dari kakekmu?”

“Kalau kamu masih ingin nyari ribut denganku dengan senang hati aku akan melayani”

“Sudah rafa, dengerin dulu aja semua dari kakekmu” kali ini syafira yang memintaku berhenti emosi.

Kakek kemudian menceritakan semuanya dari awal, dari siapa aku, siapa keluargaku, siapa syafira, siapa keluarga syafira sebenarnya termasuk hubungannya dengan kakek, bagaimana keluargaku dan keluarga syafira bisa kenal, kenapa kakek pura-pura meninggal, sampai kebenaran siapa yang membuatku mengalami DID seperti ini.

Ayahku, adalah seorang dokter bedah di rumah sakit tempat kakek dulu juga bekerja. Selain itu ayahku adalah junior kesayangan dari kakekku. Semakin lama hubungan ayahku dan kakek semakin dekat sampai pada akhirnya ayahku sering diajak main ke rumah kakek. Disitulah bagaimana ayah dan ibuku kenal dengan kakek beserta keluarganya (termasuk ibu syafira yang saat itu baru saja menikah dengan anak kandung kakek atau ayah syafira).

Saat itu ayahku dan ibuku memang masih belum menikah, tapi kakek lah yang sering meminta ayahku membawa ibuku setiap kali kakek mengundang ayah ke rumahnya. Lama-lama ibuku dan ibu syafira semakin dekat dan menjadi sahabat sampai ayah dan ibuku telah menikah. Ayahku sudah dianggap anak oleh kakekku seiring waktu. Dan karena itu jugalah muncul perasaan cemburu pada ayah syafira.

Meskipun pada awalnya menganggap ayahku sebagai teman dekat karena juga salah satu kolega di rumah sakit apalagi ayahku juga dekat dengan kakek yang notabene juga sebagai ayahnya sendiri. Tapi lama-kelamaan rasa cemburu itu muncul juga dibenak ayah syafira. Beliau merasa kakek lebih menyukai ayahku dibandingkan dirinya yang merupakan anak kandungnya sendiri. Apalagi saat itu ayahku sebagai dokter bedah yang beda jauh dengan dirinya dan juga kakek yang bekerja dibidang psikologis manusia.

Kakek lebih memilih ayahku sebagai dokter terbaik di rumah sakit dibandingkan dengan anaknya sendiri yang malah juga berada di bidang yang sama dengan dirinya…

Semenjak itu terjadi perubahan sikap ayah syafira pada ayahku. Menyadari hal itu, ayahku akhirnya memilih pindah tempat kerja di rumah sakit di kota lain dan membawa ibuku bersamanya. Meskipun alasan yang diberikan oleh ayahku dibuat sebisa mungkin agar kakek tidak merasa karena rasa cemburu anaknya pada ayahku lah yang menyebabkan ayah lebih memilih menjauh.

Tapi Tuhan berkata lain, hubungan keluargaku dan keluarga syafira tidak terputus sampai disitu. Tuhan memberikan kami kesempatan bertemu kembali dengan jalan yang berbeda…

Beberapa tahun setelah ibuku meninggal (setelah melahirkan aku dan rafa), ayahku kembali bekerja di rumah sakit tempat kakek dan ayah bekerja. Bukan karena murni keputusan ayahku, tapi juga karena permintaan dari rumah sakit tempat kakek pada ayahku untuk kembali kesana sementara untuk mengisi kekurangan posisi dokter bedah di sana.

Mungkin karena pertimbangan untuk mencari suasana baru setelah ibuku meninggal dan juga karena permintaan khusus dari rumah sakit sana, ayaku menyetujui permintaan itu dan membawa aku dan rafa kesana bersama nenek (ibu dari ayahku) untuk membantunya menjaga kami berdua.

Semenjak itulah ayahku kembali bertemu dengan ibu syafira. Mengetahui bahwa ibuku telah meninggal saat melahirkanku dan rafa membuat ibu syafira sedih. Sehingga ibu syafira menawarkan dirinya untuk membantu ayahku menjaga kami selama ayahku bekerja di rumah sakit. Hitung-hitung juga bisa menemani syafira dan mungkin bisa menggantikan sosok anak laki-laki di rumah mereka.

Sekarang aku beri tahukan ke kalian ada satu hal lagi, satu hal penting yang bisa menerangkan kalian salah satu sosok karakter yang terbentuk selain rafa. Sosok alfurqan, sosok karakter yang mengalami depresi berkepanjangan. Rasa depresi yang membuat dirinya ingin mengakhiri hidupnya sendiri.

Alfurqan itu adalah kakak kandung syafira, atau cucu pertama kakek. Dia sebenarnya laki-laki yang mentalnya normal, tidak ada masalah mengenai kondisi psikisnya. Sampai pada akhirnya masalah dirinya dengan pacarnya muncul. Pacarnya menipu dirinya dan meninggalkan dirinya setelah menguras semua uang hasil kerjanya selama beberapa tahun. Padahal saat itu alfurqan betul-betul sangat mencintainya dan sudah merencanakan jadwal pernikahan mereka.

Sampai pada akhirnya waktu ibu syafira datang meminta bantuan ayahku untuk mengoperasinya. Ibu syafira mengidap penyakit jantung dan satu-satunya yang bisa menyelamatkan dirinya adalah transplantasi jantung. Beruntung karena akhirnya beliau masih bisa bertahan setelah menunggu list donor jantung selama bertahun-tahun akhirnya datang juga.

Proses operasi awalnya berjalan lancar sampai dengan asisten dokter bedah saat itu melakukan kesalahan yang membuat terjadinya pendarahan hebat. Sampai pada akhirnya beliau tidak dapat diselamatkan dan meninggal di meja operasi.

Atas kejadian itu ayahku yang menjadi dokter yang mengoperasi beliau menyatakan kalau semua itu adalah kesalahannya. Kesalahan yang menyebabkan ibu syafira meninggal di meja operasi. Hal inilah akhirnya yang memicu rusaknya kembali hubungan ayahku dan ayah syafira.


Yes, I am D.I.D

Yes, I am D.I.D

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2016 Native Language: Indonesia
D.I.D atau Dissociative Identity Disorder, kalian pernah mendengarnya? Kalau kalian mengatakan belum pernah maka aku pikir kalian akan langsung mengerti dengan Multiple Personality Disorder atau kepribadian ganda , ya itulah gw.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset