Hari itu keputusan hening sudah bulat, dia ingin kejelasan bagaimana hubungannya.
Hening menekan tombol hijau diponselnya.
Terdengar bunyi telepon terangkat, Hening menghela napas berat, mengumpulkan semua cadangan rasa sabarnya. Rasa cintanya terlalu besar hanya untuk marah karena Bima tak menyapanya duluan di telepon.
“Hallo?” Suara Hening bergetar, menahan gemuruh dengan rasa yang bertabrak-tabrakan dalam hatinya.
Bima: “Ya ai,”
Hening: “Kamu sehat mas?”
Bima: “Iya sehat, kamu ai”
Hening: “saya ingin bicara mas bertiga sore nanti?”
Bima: “Aku sedang dikampus! Nanti aku tlpon lagi yo ai !”
Dan telepon terputus dari seberang sana. Hening masih memegang handphone-nya sambil agak bergetar, matanya mulai hangat. Handphone masih di telinganya, belum bergeser.
“Aku kirimkan ‘rindu’. Sepertinya tidak sampai, tidak akan sampai. Mungkin kurir rindu itu kesasar entah di mana. Mas, aku kirim rindu. Untukmu.”
Telepon masih belum bergeser masih di telinga gadis dengan gaun biru muda itu berharap kalimatnya tadi kedengaran sampai seberang sana, meski tanpa sinyal. Apa rindu perlu sinyal? Atau rindu perlu alamat dan perangko?
Rindu Hening itu tidak sampai pada Bima, katanya. Hening harus kehabisan air mata untuk menangisi semua hal yang terpaksa dia simpan sendiri. Hubungannya dengan Bima sudah berantakan sejak perempuan berambut sebahu itu menyelinap di antara mereka. Hening yang harus terus bepura-pura tidak tahu kalau hatinya sudah remuk-redam. Hening sudah hampir kehabisan cara untuk tetap bisa tertawa bersama bima, yang terlalu dia cintai. Itulah kebodohan yang tak juga Hening sadari, dia bodoh! Bodoh karena mencintai tanpa jeda.
Sudah lewat tiga hari dari kejadian itu Bima hanya mengucapkan maaf dan berjanji akan menyuruh wanita itu menghapus fotonya dengan bima.
@@@@
Beranjak senja hening berjalan di sisi trotoar memutuskan menemui bima dan nawang . Tapi belum sampai di taman kota, dadanya tersedak seperti dihujani ribuan duri beruntun. Matanya kelu menatap Bima dan perempuan itu duduk di bangku taman tempat biasa dia dan bima menghabiskan hari dengan membaca di sana. Sesak, sambil masih menahan air matanya merembas ke pipinya.
Hening mengembangkan senyuman getir. Kenangan manis dulu, mungkin parung-patung di sana masih ingat, jadi saksi bisu.
Mungkin rasa yang mereka gantungkan di hati masing-masing dalam tatapan-tatapan prasasti bisu senja itu berbeda. Hening merekatkan jaketnya, melipat tangannya di dada, dia kedinginan. Mungkin debaran yang mereka sembunyikan dalam kenangan kedinginan senja itu dan senja ini pun berbeda. Seandainya bima tahu jika hening masih sangat mencintainya, masih sama bentuk debarannya saat pertama Bima membuatnya tergugu, dulu.
Tapi perpisahan selalu ikut terjadwalkan tiap ada pertemuan. Aku tahu, tapi aku masih saja berdoa pertemuan kali ini tak menjembatani perpisahan. Sejenak Hening duduk di bangku besi warna hijau di bawah pohon angsana yang rindang..
Hening menulis di secarik kertas putih meletakkannya di bangku pertama dulu dia dan bima pertama kali saling menyapa. Dia sudah tak peduli ‘rindu’ ini akan sampai atau tidak akhirnya pada bima. Tapi tanpa dia sadar di bangku besi hijau itu dia masih selipkan harapan.
Mungkin setelah ini aku tak boleh memaksa kalender di dinding kamarku membulatkan satu tanggal lagi untukmu-untukku. Aku sudah lelah mengurung logikaku, aku sudah lelah mencintaimu dengan bodoh. Berjalan bersamamu beberapa jam itu sangat menyenangkan, banyak debaran yang diam-diam aku simpan. Ingin terus melihat ke dalam bola matamu, ingin terus mencari jawaban pertanyaan tak terjawabku di sana, tapi gemetar. Apa kau masih mencintaiku, Sayang?Aku hilang saja, mungkin kau juga tak kan menyadarinya.
–Hening melangkah dengan pasti kearah bima dan nawang yang sudah menunggu. Hening sudah siap dengan hal buruk sekalipun.
Hening: “haii…”.
Hening menyapa mereka dengan rekahan senyuman sesegar mungkin.
Bima: “Ai..”.
Bima menyentuh tangan hening, tapi dengan sigap hening melepaskan tangan bima.
Nawang: “Mbak arin”.
Wajah nawang tampak gugup melihat hening.
Hening: “apa kabar kalian hari ini?..” Oh pasti kalian baik kan ?”.
“Bisa jelaskan pada saya tentang yang sudah terjadi”.
Hening to the point pada bima dan nawang.
Bima: “Ai aku sama nawang ga ada hubungan apa-apa ai, dia salah faham ai”.
Suara bima sedikit meninggi.
“Dan foto itu aku itu aku ga ingat dia ambil kapan ai,”.
Nawang: “mas bima bohong, mas bima lupa ngomong dengan saya, kalau mas bima itu minder sama mbak arin, mas bima itu minder karna mbak arin itu orang kaya, orang hebat, Berpendidikan tinggi, sekolah di luar negeri. Dan mas juga bilang kalau mas itu ga cocok sama mbak arin!”.
“Mbak arin tahu mas bima sudah melakukan itu pada saya mbak !!”.
Suara nawang begitu lantang di antara sedu sedannya.
Hening benar-benar terhenyak mendengar ucapan nawang itu. Tubuhnya gemetar menahan emosinya.
Bima: “Ai maafkan aku ai, aku ga sengaja ai”.
Bima meraih tangan hening yang gemetar. Tapi hening masih tak bergeming.
Hening: “Bahagiakah Anda, Mbak? Berhasil merenggangkan saya dan mas bima? Bahagia? Cinta memang boleh dimiliki siapa saja, boleh. Semoga kalian bahagia? Kupikir itu doa klise yang tetap harus kuucapkan untuk kalian,
Silahkan lanjutkan kisah cinta kalian…
“.
Hening melangkah meninggalkan mereka berdua. Bima menahan hening tapi hening sudah benar-benar tak bisa lagi menahan emosinya, Hening terus melangkah matanya semakin panas ternyata perih rasanya menoleh ke belakang melihat kalian, sama perihnya aku melangkah ke depan meninggalkan perasaan cintanya pada bima.
“Aku menyerah, hari ini aku menyerah, seiring selesainya Juni…”
Dan bulir hangat itupun merembas dipipi hening..
Hening Resmi Patah Hati hari itu 30 Juni.
1001 lagu patah hati malam itu menemani hening. Malaikat-malaikat menyanyikannya dengan suka rela. Aku tahu Tuhan pasti kirim jawabannya. Waktu selalu tahu detik terbaik untuk mengantar jawabannya, meski aku merasa belum siap. Meski kadang terdengar menyakitkan dan terburu-buru. Bahagia yang sangat singkat, entah kau rasakan juga atau tidak. Harusnya saat pertama aku memutuskan jatuh hati padamu saat itu juga aku siapkan ribuan karung kosong utk menampung patah hatiku. Jatuh cinta dan patah hati selalu berjodoh. Pertemuan dan perpisahan pun tak pernah bermusuhan. Teriris saat harus mengikhlaskan rasa ini dibawa angin begitu saja. Hanyut bersama hujan enam hari berturut-turut. Tapi aku lega setidaknya aku sudah bisa memerintah hatiku untuk behenti mempertahankanmu.
Ah…. Seandainya kau mau bersabar sedikit saja setelah bertemu denganku, karena beberapa waktu kemudian kau bertemu dengannya. Seandainya kau mau bersabar sedikit saja untuk tidak buru-buru menyatakan cinta padaku, namun kau menyatakan cinta padanya saja. Rasa sakit yang seperti ini pasti takkan pernah sampai ke hatiku. Dan aku takkan pernah berpikir bahwa kau benar-benar mencintaiku selama ini, lalu pelan-pelan aku pun belajar mencintaimu, namun akhirnya kau paksa aku untuk menelan rasa sakit yang bertubi-tubi saat kau mengatakan kau tidak bisa bersama ku.
Apakah kau tahu kelopak mataku seluruhnya adalah benih air mata? Apakah kau tahu jika hati ini bahkan lebih rapuh dari awan-awan di musim penghujan? Kau pasti tidak tahu, jika kau tahu kau takkan tega menyakitinya…