Hari itu hari terakhir hening di Yogyakarta, hening sudah mengepack semua barang-barangnya dan bersiap menuju Bandara.
Sebelum ponselnya berbunyi.
“Bima calling..”
Hening: “hello.., ya baiklah, tapi aku tidak bisa lama, oke sampai bertemu disana..”
Hening menutup ponselnya, setelah berfikir sejenak akhirnya hening melangkah keluar…
Seorang laki-laki dengan kemeja yang warnanya hampir sama dengan dahan akasia. Sore, di halte beratap warna kelabu.
Langit agak mendung, mungkin sebentar lagi gerimis.
Pria itu duduk dan menunggu, tanpa hiraukan dia sudah menunggu sejak 300 menit yang lalu.
Tangannya menengadah mengecek apa gerimis mau menyentuhnya atau tidak. Sebelum gerimis menyentuh telapak tangannya, ada yang menyentuh pundaknya, laki-laki berkemeja sewarna dahan akasia.
“ya?” pria itu menoleh.
Dan senja itu menahan gerimis turun. Daun akasia menari riang mengikuti gesekan nada-nada merdu dari angin. Mungkin Agustus sedang menyiapkan satu album kenangan untuk mereka… Entahlah… Ini pertemuan, mungkin perpisahan sedang menunggu di satu halte lainnya, di bawah akasia yang satu lagi.
Hening: “Malam ini saya pulang”.
bima: “langsung pulang ke singapore apa Canada ?”
Hening: “singapore mas”.
Bima: “Ai di halte ini, pertama aku jemput kamu ya dan kita berjanji?”.
Bima menatap nanar pada hening.
Hening: “Aku ingat mas Bim, tentu saja aku ingat perjanjian itu, tapi kita sudah harus merenggang seiring habisnya Juni tahun itu. Aku-kau takut Sang Pencipta Perasaan murka karena kita yang terburu-buru.
Sebenarnya hati ini seperti tanah basah yang takut kering seiring meredanya gerimis. Seiring selesainya gerimis tadi pagi tak ada alasan logikaku menahan namamu? Meski alasan yang kemarin menahanmu di sini membuatku sesak seperti tercekik jika kembali kubayangkan. Kadang aku jadi merasa kau benar-benar terpaksa menemaniku menghitung beberapa butir hujan. Seandainya tidak ada alasan itu apakah kau sudah tidak di sini sejak dulu? Tapi demi Tuhan, aku tidak pernah ingin kau terikat karena alasan itu.
Bima: “Seperti kau pernah bilang, “seandainya kita tidak ada perjanjian apa-apa, kau menghilang berhari-hari pun aku tidak apa-apa.” Aku tahu saat kalimat itu kauucap kau sedang marah. Tapi bagaimana jika ada sesuatu yang benar dalam kalimat itu. Ai setelah aku menyelesaikan urusanku dengan nawang, bisakah kita memulai hari baru lagi ai? kamu percaya keajaiban kan?, Ai aku masih mencintaimu’. Maafkan aku Ai atas segala kekhilafanku…
Maafkan aku masih menyimpan potongan-potongan kenangan yang kau buang. Maafkan aku Al, aku lancang karena memungutinya diam-diam di belakangmu, dan menyimpannya sendiri tanpa meminta izinmu dulu”.
Dengarkan aku Al, aku hanya ingin mencintaimu dengan tenang, suatu hari nanti, dengan restu Tuhan dan waktu yang takdir suguhkan…”.
Hening tak kuasa, tangisnya.
Hening: ” Tapi mas perasaan itu sudah menyublim jadi butir gerimis yang pecah di atas tanah. Takdir sudah dicipta sebelum kita, nama kita tidak ditulis bersamaan? Bagaimana jika di hatiku sudah tidak akan pernah bisa ada namamu lagi, aku sudah punya kehidupan lain mas.
Bima: “Ai bisa kah kita start refresh lagi ai?.
Hening: “Mas tidak relakah Anda, melihat hati yang pernah berhasil Anda hancurkan ini mulai utuh lagi? Berhentilah berbasa-basi, Tuan! Aku tahu Anda masih memegang belati yang sama, belati yang Anda gunakan untuk mencoba membunuh hatiku kemarin. Namun tidak! Aku takkan membiarkan Anda melakukannya untuk yang kedua kali, mencoba membunuh hatiku. Tidak akan! Rasa sakit yang kemarin menjadi alarm bagiku, dia akan selalu mengingatkanku untuk berhati-hati setiap Anda mendekat, dia akan selalu berbunyi untuk membangunkan hatiku setiap ia mulai lengah. Aku takkan pernah mau mengulang rasa sakit yang sama. Tidak akan!
Berhentilah mengingatku apalagi mencariku mas! Bukankah aku sudah bilang, “Jika kau mengingatku, anggap saja aku sudah mati”? Anda takkan bisa mencoba membunuh orang yang sudah mati, bukan? Ya, anggap saja begitu”.
Hening Meninggalkan Halte itu dan tidak pernah menoleh kembali…