“Jadi, aku harus membereskan salah satu demit Angus Poloso itu, Abah?” tanyaku tak percaya. Pasalnya kekuatanku masih dirasa belum cukup untuk mengatasi demit2 dari Angus Poloso itu.
“Iya, Mam. Ku tahu kalau kau mungkin agak terbebani dalam misi kali ini. Tapi, bukankah sudah merupakan kewajiban bagi keturunan Kyai Marwan untuk menyegel para demit2 itu?” jawab Abah Nadjib yang sedikit berharap padaku. Jujurnya, aku yang sebagai seorang nice guys takkan mampu menolak permintaan dari orang yang sedang membutuhkan, walaupun permintaannya aneh2.
Aku menghela napas panjang sebelum menjawab permintaan dari Abah Nadjib itu. “Ya udah, Abah. Akan saya coba. Tapi kalau hal ini bersinggungan dengan demit Angus Poloso, saya tidak bisa menjamin saya bisa menyelesaikannya sendiri.”
Setelah itu, aku pun bergegas untuk pulang. Aku minta waktu sehari untuk menyiapkan hal2 yang diperlukan dan menyiapkan mentalku dengan melakukan amalan2 yang ditujukan kepada Allah SWT. Sementara untuk hal2 yang diperlukan untuk pengusiran, aku serahkan semua pada rekan adikku yang bernama Ryan dan Farkan, dan tanpa menolak mereka pun setuju asal mereka dikasih uang di muka. Dasar matre!
[SKIP TIME]
Keesokan harinya, tepat pada malam jum’at kliwon, kami bertiga, aku, Ryan, dan Farkan sudah siap berada di ruang bawah tanah sekolah SMA Indratama, di mana segel Angus Poloso berada. Setelah pintu menuju Angus Poloso dibuka oleh Abah Nadjib, Abah Nadjib pun bergegas meninggalkan mereka, karena ia tahu, aura hitam yang mendiami Angus Poloso dan sekelilingnya itu teramat besar, bisa2 tanpa pelindung batin, Abah Nadjib bisa termakan dan mati, paling ringannya cuma jadi gila.
“Oke, Temon. Pasang pager gaib ini di setiap pojok Angus Poloso!” kataku memerintah. “Kau Farkan, buatlah pelindung gaib, karena sebentar lagi demit itu akan muncul,” tambahku.
“Temon? Kau pikir aku orang aneh di acara televisi itu, Mam. Enak aja!” Ryan membantah. Farkan tertawa terbahak2 mendengar Ryan disebut Temon olehku.
Kami bertiga pun mengambil beberapa rokok dan roti yang tersedia di meja sembari menunggu waktu pukul 00:00 datang. Karena menurut penerawangan gaib Danang, demit yang muncul dan membuat ulah di sekolah tiga hari lalu hanyalah sesosok prajurit demit yang menampakkan dirinya sebagai Demit Kepala Kambing. Dan bagi penghuni Angus Poloso, demit ini cuma prajurit bawahan.
“Mam, lo ada kenalan cewek cantik gak di sana?” tanya Temon mendadak. Sepertinya rokok kretek itu sudah membuatnya halu.
“Nggak, Kalau lo mau cewek gendut yang bohay aku ada banyak stok,” jawabku ringan, sembari menawarkan salah satu teman perempuanku yang namanya Ika.
“F^ck! Emang gue cowok apaan! Masih mending Marta ketimbang cewek yang kau tawarkan itu, Mam!” jawabnya mengelah. Kami bertiga tertawa.
Sejam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul 00:00. Ini berarti sudah waktunya bagi kami untuk beraksi. Ada sedikit hal yang perlu kalian tahu dari Demit Kepala Kambving. Yaitu, mereka gemar merasuki tubuh orang2 yang kosong, dan target utamanya adalah wanita. Begitu kulihat Viona masuk ke dalam ruang terlarang, aku tahu kalau Viona sedang dirasuki oleh Demit Kepala Kambing itu. Dasar Kambving…!! batinku.
Aku sudah tahu dari kemaren kalau Viona tengah di awasi oleh sesosok makhluk demit dari kemaren. Buktinya ia tak mau berjabat tangan denganku kemaren, mengetahui kalau dalam tanganku sudah kulafadzkan lantunan2 ayat2 Al-Qur’an.
“Apa maumu, anak muda? Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Viona datar, seraya memunculkan rupa yang begitu mengerikan. Bahkan matanya memancarkan cahaya merah. “Apa kau datang ke sini karena menginginkan sesuatu? harta? tahta? wanita? aku bisa mengabulkan semua permintaan itu!”
Dengan nada geram, akupun bicara lantang, “Aku tak mau apa-apa darimu! aku tahu kalau demit yang menepati tubuh Viona adalah Ki Cokro Suryo, demit rendahan dari Angus Poloso. Makhluk rendahan yang mempunyai tubuh manusia kera, berekor ular, dan berkepala kambing. Cepat keluar dari raga temanku atau aku akan menghancurkanmu!”
Mendengar ancamanku, Viona pun tertawa terbahak-bahak, mengejek kemampuanku. Dia pun bergegas menyerangku, namun pelindung sukma yang telah ditanamkan pada diriku dan kedua teman2ku, membuat Viona langsung terbaring gemulai, dan roh demit pun berhasil keluar dari tubuh Viona.
“Kau! Kau pasti keturunan dari Kyai Marwan!?” ujar Ki Cokro Suryo itu kaget. Tak mau mengambil resiko, demit itu pun melarikan diri ke dunia gaib, di mana ia akan aman, pikirnya.
“Ayo kita bertiga meraga sukma, dan kita kirim demit itu kembali ke Angus Poloso.” perintahku kepada kedua teman2ku. “Kalau dia tak bisa dinetralisir, maka bakar dia sampai habis!”
Kami bertigapun akhirnya meraga sukma untuk mencari keberadaan Ki Cokro Suryo. Berharap dari kami bisa menetralisir demit itu dan mengirimnya balik ke Angus Poloso. Sesampainya di dunia gaib, kami menghadapi banyak sekali demit2 yang bertubuh manusia kera dan berekor ular, bawahan dari Ki Cokro Suryo, tapi berkat ilmu kanuragan yang kami miliki, mengatasi kroco2 itu mudah2 sulit. Sulitnya cuma mereka terlalu banyak, sehingga menguras lebih dari separoh energi spiritual kami.
“Keluar kau, Demit Kambving! Anak buahmu sudah kami bakar habis. Sekarang tinggal kau seorang!!”
“Kau terlalu sombong untuk ukuran seorang manusia rendahan. Dengan senang hati, akan kuhancurkan kalian!” suara Ki Cokro Suryo dari suatu tempat.
Tanpa kami sadari, ada sebuah percikan kilat kecil yang langsung menghantam punggung kami, dan seketika kami terpental dan memuntahkan darah. Setelah itu, di depan kami Ki Cokro Suryo muncul sembari tertawa terbahak2 menghina kami.
Mengetahui kami bertiga belum mati, Ki Cokro Suryo pun mengeluarkan sebuah tombak, yang sering disebut sebagai Tombak Darah. Tombak itu bagaikan sebuah mimpi buruk di siang bolong. Setiap kali tombak itu menancap di tubuh kami, darah kami akan berkurang dan begitu seterusnya. Dan rasanya lebih dari seratus kali tombak.
“Bagaimana manusia? Apa kau sudah mau berlutut di hadapanku?” tanya Ki Cokro Suryo itu bahagia. “Jika iya, maka aku akan mengampunimu dan membiarkan kau untuk hidup dengan hidup sebagai manusia yang hina-dina!”
Ki Cokro Suryo pun menyiksa kami secara bertubi2, sampai tiada makhluk di dunia ini yang pernah menyaksikan penyiksaan seburuk itu. Untunglah siksaan itu hanya menyiksa batin kami, bukan raga kami, kalau tidak, pasti kami sudah mati sedari tadi. Belum puas cukup sampai di situ, Ki Cokro Suryo mengeluarkan salah satu organnya dan langsung meleparkan organ menjijikan dan beraroma busuk itu ke arah kedua teman2ku.
Kulihat kedua temanku sudah tergeletak tak sadarkan diri.
“Biadab! Aku bukanlah manusia rendahan yang bisa kau budak, Ki Cokro Suryo. Setelah ini, aku akan benar-benar menghabisimu jikalau kau tidak mau kembali ke Angus Poloso sekarang juga!” bentakku dengan keras.
Aku pun menarik tombak Darah yang menancap di perutku, dan langsung melemparkannya tepat mengenai dada Ki Cokro Suryo. Belum puas, aku merapalkan ajian2 Reksadara yang langsung membuat demit itu bergidik ketakutan. Ajian Reksadara adalah sebuah ajian turun temurun di keluarga Kyai Marwan yang berfungsi sebagai penghukum. Jikalau Arwah itu baik, maka Ajian ini takkan berarti, namun apabila arwah itu jahat, maka dia akan hancur.
“Ajian itu!? Ajian Reksadara!?” katanya yang sepertinya nyalinya sudah menciut seketika. “Bagaimana anak bau kencur sepertimu sudah mampu menguasainya??”
Kini gilaranku tertawa terbahak-bahak.
“Kau terlalu meremehkanku, Ki Cokro Suryo!” kataku yang menatap demit Kepala Kambving itu dengan tatapan mengerikan. “Sebenarnya aku tidak mau menggunakan ajian ini lagi setelah peristiwa beberapa tahun lalu, tapi melihat teman2 adikku kau siksa secara bengis, membuatku tidak tahan ingin menghancurkanmu!”
Karena Ki Cokro Suryo adalah demit yang jahat, tidak sulit buat ajian Reksadara untuk memutuskan. Ki Cokro Suryo pun terbakar dengan api warna hitam. Pelan-pelan dia pun memohon untuk diampuni, namun aku tak mau. Menyaksikannya sampai ia habis terbakar oleh api itu. Sempat dia menjerit-jerit meminta pertolongan kepada kaum dedemit Angus Poloso yang lain, namun karena sudah tidak berguna buat penguasa Angus Poloso atau jauh dari pancarannya, tidak ada demit apapun yang mau menolongnya.
Setelah berhasil membakar demit itu, ada perasaan puas muncul dari hatiku. Melihat darahku yang mulai bercucuran, aku pun berusaha mengendalikan diriku supaya tidak kehilangan kewarasanku. Setelah diriku sudah mulai tenang, aku pun kembali ke jazad kasarku. Dan misi pertama dari Abah Nadjib telah selesai.
Ketika membuka mata, aku dan kedua teman2ku langsung memuntahkan darah dari luka yang kami terima di alam gaib sana. Kedua temanku masih pingsan, dan aku bingung bagaimana menyembuhkan luka mereka. Untunglah saat itu, dari belakang, datanglah Danang yang langsung membantuku untuk mengobati luka-luka mereka dan aku.
“Kau memang payah, kak! Seharusnya kau keluarkan ajian Palasada untuk langsung memasukkan Ki Cokro Suryo kembali ke Angus Poloso. Tapi kau memang payah, jadi aku memaklumimu, sampai membuat kedua temanku terluka parah!” kata Danang ketus. Menghinaku yang sebagai kakaknya tak mampu mengeluarkan ajian Palasada itu. “Tapi, mengetahui kalian bertiga selamat, itu sudah cukup buatku,”
Setelah menyembuhkan luka-luka kami, aku dan Danang bergegas mengendong Viona dan Farkan. Untung saja waktu itu Ryan sudah sadarkan diri, sehingga kami tak perlu menggendong anak gembul macam dia. Hihi
Dalam perjalanan, kami mengobrol ini dan itu. Lumayan guna menghilangkan rasa canggung antara diriku, Ryan, dan juga Danang.
“Mam, siapa gadis yang kau gendong itu? Dia cantik banget yah!” kata Ryan menerawangi bodi Viona. “Kalau sudah sadar, kenalin gue sama dia yah?”
“Boleh, tapi kau harus berurusan dengan pacarnya dulu! Pacar gadis ini adalah salah satu preman di sini lo!” jawabku sekenanya sambil masih menggendong Viona.
“Temon… temon?? sifat playboymu kapan sih sembuhnya?” ejek Danang yang masih menggendong Farkan.
“Hidup tanpa wanita itu tidak enak, plez! (Toples)” jawab Ryan singkat. Dan mereka pun kembali tertawa.
***
Sesampainya di ruang Abah Nadjib, kami pun ditolong oleh beberapa santri pondok pesantren. Setelah itu, kami bertiga segera menghadap ke hadapan Abah Nadjib untuk memberitahukan kalau misi pertama ini telah selesai, dan Abah tak perlu takut lagi apabila demit2 itu membuat ulah di sekolah ini.
“Astaga! Apa yang sudah terjadi pada kalian berdua?” tanya Abah Nadjib khawatir.
“Tenanglah, Abah. Demit yang bernama Ki Cokro Suryo itu takkan mampu buat ulah lagi di sekolah ini, aku pastikan itu!” jawabku mantap, meyakinkan Abah Nadjib.
“Ki Cokro Suryo?? Makhluk macam apa itu?” tanya Abah Nadjib penasaran.
“Demit yang mempunyai badan manusia kera, ekor ular, dan kepala kambing jantan, Abah!” jelasku. “Untung saja aku melawannya tidak sendirian, Abah. Kalau tidak, pasti aku sudah mati saat ini. Walaupun tadi harus menghadapi situasi sulit saat menghadapinya dengan tiga orang saja.”
Abah Nadjib menelan ludah. Dia terbayang-bayang akan seberapa kuatnya demit itu sampai tiga orang saja hampir kalah melawannya, padahal itu cuma demit rendahan ketimbang demit2 lain penghuni Angus Poloso.