Dia melihat sebuah kedai sushi langganannya, sudah hampir 3 tahun ini dia selalu mengunjungi kedai ini tiap akhir bulan. Dia masuk melewati kain-kain yang digantung sebagai penghias pintu masuk. Suasana di kedai tidak sedang ramai, hanya sebuah televisi yang sedang menyala dan beberapa anak perempuan seumurannya yang sedang makan juga.
“Ah…Dai-kun!” seorang pria paruh baya menyapanya ketika baru masuk.
“Bos Norita!” Daimonji menyapa balik, lalu memilih tempat favoritnya yaitu berhadapan dengan rak kaca yang menampilkan sushi-sushi segar. “acara apa itu? Meriah sekali?” tanyanya.
Perhatian Daimonji sempat teralihkan ke kerumunan anak perempuan yang duduk di dekat tembok. Mereka hanya berempat tetapi kehebohan yang mereka hasilkan membuat seisi kedai ramai. Dari seragam yang mereka kenakan, anak-anak perempuan itu merupakan anak SMA tetapi beda sekolah dengannya. Sadar diperhatian salah satu siswi perempuan melihat balik Daimonji, dirinya terkejut hingga salah tingkah.
Obrolan mereka berdua terhenti ketika perlombaan dilanjutkan, kata pak Norita ini merupakan final dan pemenangnya akan diumumkan. Daimonji hanya berpura-pura tertarik untuk menjaga perasaan pak Norita. Tidak terasa sushi yang dipesannya sudah habis, teh hangat yang disajikan juga tidak tersisa. Daimonji pamit pulang.
Daimonji berjalan perlahan menuju pintu keluar, tapi tetap saja matanya tidak bisa berhenti melirik kumpulan siswi SMA tersebut. Walaupun dia mengakalinya dengan melihat lurus kedepan dan kebawah. Dia melewati kain yang ada di pintu masuk, menadahkan tangannya untuk mengecek apakah hujannya bertambah besar atau malah sudah berhenti.
“Hm..masih gerimis,” dia mengintip lalu memadangi langit yang putih. “ya sudahlah,” baru saja beberapa langkah keluar tiba-tiba dia dikejutkan dengan sebuah tamparan keras diwajahnya “apa-apa…,” berdiri dihadapannya sosok perempuan yang tidak asing baginya
“Hentikan! Kumohon hentikan Daimonji!” didepannya berdiri Mirae, wajahnya dipenuhi dengan air mata.
“Mirae?” Daimonji melihat sekelilingnya, perempuan yang dia lihat tadi tidak ada. Tapi anehnya dia malah mengenali salah satu temannya. “pak Norita? Sejak kapan anda mempunyai karyawan?” pak Norita hanya mampu menundukan kepalanya. “eh? Bukannya televisi tadi menayangkan lomba makan itu? Kenapa diganti? Pelanggan di sini kan mau menontonnya.”
Mirae menarik kerah Daimonji, “Sadarlah Daimonji…sadar! Suzuha telah tiada! Tolong…kumohon,” tangisnya kembali pecah.
“Suzuha? Ah baru saja aku ingin kena…,” tamparan keras kembali dia terima, tamparan Mirae kali ini membuatnya sedikit bingung. “hei! Hentikanlah! Sakit tahu!” Daimonji pun dari kedai pak Norita dengan perasaan sedikit kesal.
Hujan semakin deras saja, pipinya menjadi sedikit perih akibat tamparan Mirae.
“Ada apa sih dengan Mirae, padahal aku ingin berkenalan saja dengan Suzuha,” ketika nama itu disebut memori-memori dirinya dengan Suzuha muncul dalam benaknya. “tadi itu apa? kenapa bayangan Suzuha muncul…” dirinya berhenti sejenak. “Suzuha…suzu…ha…,” perkataan Mirae barusan kembali mengingatkannya pada kejadian malam itu di café. “tidak…tidak mungkin! Tidak!!!” Daimonji pun berlari sekuat tenaga, dia tidak memperdulikan sekitar hingga akhirnya tiba-tiba pandangannya menjadi gelap semua.
Secara perlahan Daimonji membuka matanya, dia terbaring dengan banyak sekali alat medis yang menempel ditubuhnya. Lalu menggerakan kepalanya sedikit ke kanan, di sana sudah ada ibunya. Nangis ibunya kembali pecah dan mulai memeluknya.
“Syukurlah nak kamu sudah sadar,” sambil menangis.
“Sadar? Apa yang terjadi?”
“Untung saja salah satu karyawan pak Norita mengikutimu waktu itu, jika tidak…,” tangis ibunya semakin keras.
“Bu….”
Setelah Daimonji sadar di pagi hari, siangnya teman-teman sekelas sekolah Daimonji mulai menjenguknya. Tetapi seperti orang yang bingung Daimonji benar-benar tidak tahu pastinya kenapa dia bisa berada di rumah sakit dengan kondisi yang cukup parah seperti ini. Setelah teman-teman sekelas barulah pak Norita bersama karyawannya yang menjenguk, dia sampai menutup kedainya ketika tahu kalau Daimonji sudah siuman.
“Hai nak, bagaimana keadaanmu?” tanya pak Norita
“Entahlah, aku tidak merasakan sakit sedikitpun.”
“Baguslah, oh iya kamu kenal dengan orang ini?”
“Tentunya, paman Hasebe, lalu Michina-neesan dan tentunya si orang yang selalu mengantarkan makanan dengan senyuman ramah, kak Yurito…aku kenal mereka semua.”
Pak Norita sangat menjaga betul perasaan Daimonji, begitupun dengan karyawannya. Mereka hanya menceritakan hal-hal yang lucu saja, tidak sekalipun menceritakan tentang Suzuha. Apalagi Daimonji baru tersadar, pak Norita tidak ingin jika kondisinya tiba-tiba drop. Setelah selesai menceritakan hal lucu hingga membuat Daimonji tersenyum, rombongan pak Norita pulang.
“Nak, jika kamu sudah sembuh datanglah ke kedai. Tenang saja, semua gratis spesial untukmu,” ujar pak Norita.
“Benar? Mungkin aku akan memesan semua menu kalau begitu,” disambut tawa oleh yang lain lalu mereka semua pulang.
Sebelum jam besok berakhir ada satu orang lagi yang menjenguk Daimonji, dia adalah Mirae. Dia langsung membungkukan badan ketika masuk, dia masih merasa bahwa ini adalah akibat ulahnya di kedai pak Norita. Namun ibunya Daimonji yang ada diruangan itu pun tidak menganggapnya demikian, kejadian yang menimpa Daimonji merupakan takdir yang harus dia jalani.
“Nak…Mirae ini hampir setiap hari menjenguknya saat kamu koma,” kata ibunya. “kamu harus bersyukur memiliki teman sepertinya,” Daimonji tersenyum.
“Hei…bagaimana?” Mirae duduk di sebelah kasurnya.
“Ya..begini saja,” jawabnya canggung. “oh iya Mirae…”
“Aku sebenarnya tidak ingin menceritakannya lagi, tapi jika membuatmu jauh lebih tenang aku akan menceritakannya.”
Pertemuan mereka diawali dengan masuknya Daimonji ke kedai pak Norita, saat itu sedang libur dan ada acara nonton bareng perlombaan makan di kota sebelah. Mirae dan Suzuha beserta teman-teman memilih tempat dekat tembok. Awalnya berjalan biasa, pelanggan yang lain heboh ketika pertandingan mulai berlangsung. Lalu Suzuha mulai menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikannya, Mirae mencoba untuk melihat-lihat ternyata memang Daimonji sedang memperhatikan Suzuha. Saat itu Suzuha mulai kesal dan akan memberikan pelajaran kepada Daimonji.
Barulah saat Daimonji pulang, Suzuha beranjak dari bangkunya lalu menendang Daimonji dengan keras hingga tersungkur. Kejadian itu membuat heboh seisi kedai, karena malu diperhatikan banyak orang, Daimonji kabur sambil menutup hidungnya yang berdarah. Padahal salah satu karyawan pak Norita ingin memberinya pengobatan.
“Mirae….,” Daimonji melihat mata Mirae yang mulai berkaca-kaca.
Lalu kejadian waktu itu, dari pagi sekali Suzuha sudah memberitahu Mirae bahwa Daimonji mengajaknya makan malam. Sebagai sahabat tentunya Mirae memberikan masukan tentang apa yang harus dikenakan saat makan malam pertama mereka, bahkan Suzuha sempat pergi ke rumah Mirae sambil membawa beberapa pasang pakaian. Mereka mengobrol banyak saat itu, lalu saat hari mulai senja Suzuha pamit untuk pergi. Asalnya Mirae ingin mengantarnya tetapi Suzuha bersikeras bahwa dia bisa jalan sendiri ke sana. Beberapa saat kemudian dia mendapatkan kabar bahwa Suzuha telah tiada.
Saat berjalan menuju café, ada sebuah mobil berkecepatan tinggi tidak terkendali melintas. Pengemudinya adalah seorang laki-laki bersama pasangannya, diketahui mereka sedang bertengkar hebat sehingga membuat laki-lakinya mengemudi tidak karuan. Lalu pertengkaran semakin hebat dan mobil mereka tidak melihat Suzuha yang sedang menyebrang. Lalu tabrakan terjadi, dua orang dalam mobil sudah ada di kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Semenjak mengetahui Suzuha telah tiada, Daimonji sangat syok sehingga membuatnya berhalusinasi Suzuha masih ada. Dia melakukannya terus-menerus sampai 3 minggu lamanya, mulai dari kedai sushi, menunggu di depan sekolah Suzuha, hingga diam di café. Keluarga tidak sanggup melihatnya begitupun pak Norita yang merasa kasihan padanya, apalagi Mirae. Dia mencoba memberitahunya tetapi Daimonji seakan-akan tidak mendengarnya dan sampailah puncak Mirae menamparnya lalu Daimonji yang tersadar mengalami kecelakaan hingga koma hampir seminggu.
Tangis Mirae pecah, “Terima…terima kasih karena telah membuat hari-hari terakhir sahabatku sangat berarti…dia bahkan selalu tersenyum saat menceritakanmu….” Tangis Mirae sangat kencang, ibunya Daimonji datang memeluknya.
Tidak terasa air mata juga turun dari kedua mata Daimonji, jika saja dia datang menjemputnya maka semua ini tidak akan terjadi, pikirnya.
Satu bulan setelahnya, kondisi Daimonji belum sepenuhnya pulih. Dia bahkan melewatkan malam perpisahan dengan teman-teman disekolahnya Tetapi sekarang dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat, karena dulu kedua kakinya patah dan lengan kanannya juga. Dia berpakaian hitam-hitam dengan jas dan celana bahan. Dengan dua ikat bunga mawar putih di tangan kanan dan kirinya, dia berjalan menuju tempat di mana Suzuha mengalami kecelakaan. Lalu meletakan satu ikat di sisi jalan, sambil berharap Suzuha tenang di sana.
Lalu dia berjalan lagi menuju pemakaman di mana terdapat nisan Suzuha, Mirae memberitahukan di mana tempatnya. Di area makam keluarga ini ada sebuah bukit, jika naik ke atas maka pemandangan kota akan terlihat. Daimonji mengamatinya, dia mencoba untuk menahan tangisnya. Karena dia tidak ingin larut dalam kesedihan. Saat meletakan bunga dan hendak pergi dia melihat sosok Suzuha, berdiri diseberang dengan menggunakan gaun berwarna putih. Rambutnya tergerai dan dia melambai tangan kepada Daimonji.
“Suzuha…,” dia pun mendekatkan dirinya, lalu sosok Suzuha itu mengenggam tangan Daimonji. lalu dibawanya dia ke atas bukit. Daimonji merasa ini seperti tidak nyata, “apa penyakit halusinasiku kembali muncul? Tetapi tangan ini..begitu lembut dan hangat…,” mereka pun sudah sampai di atas bukit. Lalu Suzuha melepaskan tangannya kemudian berlari ke ujung tepian, dan duduk di sana. Melambaikan tangannya lagi dan Daimonji menghampirinya lagi, “sebenarnya apa yang ingin kamu sampaikan?” Daimonji duduk lalu melihat sebuah pemandangan yang indah, kota di mana dia tinggal. Kota dengan penuh memori indah didalamnya, Suzuha menyenderkan kepalanya ke dada Daimonji. “hangat….,” saat malam sosok Suzuha mulai hilang, tangis Daimonji pecah. “maaf…maafkan aku…”
Pak Norita sudah siap-siap untuk menutup kedainya, karyawannya sudah pulang semua hanya tinggal dirinya saja. Saat ingin menutup pintu masuk dia melihat Daimonji dari kejauhan.
“Anak itu,” dengan sigap dia kembali membukanya. “datanglah nak, sushi spesial gratis untukmu!” Daimonji tersenyum lalu mempercepat langkahnya, sebuah sushi diharapkan mampu membuat perasaannya membaik.