Hujan yang turun sejak tadi membuat lelaki 40-an tahun itu makin resah. “Entah mengapa air dari gumpalan awan di langit tak kunjung berhenti mengguyur bumi,” rutuk hatinya.Suasana semakin sunyi dan mulai gelap. Motor tuanya sudah pasti akan mogok kalau dia paksakan menerjang hujan.
“Pak saya duluan ya.” Kata sorang pria yang juga meneduh bersamanya lalu melaju menerobos hujan yang masih lebat. Kini dia sendirian bertebuh di sebuah gubuk reyot. Ada banyak sampah rokok dan beberapa sampah bungkus mie instan. Mungkin dulunya tempat itu sebuah warung.
Tiba-tiba seorang kakek basah kuyup, membawa cangkul muncul dari arah belakang warung. Sontak kedatangan kakek itu membuat kaget lelaki itu.
Si kakek tersenyum ramah tapi terasa creepydi matanya. Lelaki itu bergegas hendak menerjang hujan. Rasa takutnya membuat dia tidak perduli kalau motornya akan mogok dan mati di perjalanan.
“Masih hujan, tunggulah sebentar lagi.” Kata si kakek sambil menggantung cangkulnya pada sebuah paku. Dari sakunya dia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada lelaki itu.
“Maaf saya tidak merokok kek,” tolaknya halus.
“Motor kau itu motor tua, kondisi hujan begini hanya akan membuatmu kerepotan mendorongnya,” si kakek melanjutkan percakapan setelah mengepulkan asap tebal dari mulutnya yang keriput.
“Kakek, sore-sore hujan lebat seperti ini membawa cangkul, mau kemana?” tanya lelaki itu memberanikan diri. Padahal hati dan pikirannya sudah gelisah diliputi pikiran buruk tentang kakek-kakek itu.
Mungkin kakek itu kakek cangkul seperti di film yang sering di ceritakan oleh anaknya, atau bisa saja dia salah satu anggota dari begal yang memang lagi marak pemberitaanya akhir-akhir ini.
Si kakek tertawa sambil mengelu-ngelus cangkulnya, “Kakek habis benerin parit di belakang sana. Airnya meluap ke perkampungan kami.” Katanya tenang menikmati rokok.
Mendengar jawaban si kakek tidak membuat lelaki itu lebih tenang, pikiran buruk terus bergema di kepalanya.
“Tidak akan pernah bahagia hidup seseorang yang buruk hati dan pikirannya,” lirih kakek itu berkata entah di tujukan kepada siapa.
Lelaki itu tersentak kaget, apakah kakek itu mengetahui isi hati dan pikirannya yang berprasangka buruk terhadapnya.
“Saya pikir disini jauh dari pemukiman warga, soalnya sepi.” Akhirnya laki-laki itu berusaha menenangkan hatinya dan mencoba berpikir positif tentang si kakek.
Si kakek tersenyum creepy, betul-betul creepy. “Kau hanya tidak bisa melihatnya, kau tau betapa serakah dan eogisnya manusi-manusia yang tidak beriman. Mereka membuat dunia ini hancur perlahan. Banjir akibat sampah-sampah mereka membuat kami kehilangan rumah-rumah kami yang nyaman di dalam lubang-lubang tanah dan pepohonan. Kau termasuk manusia yang tidak beriman itu apa bukan?” belum menjawab pertanyaan si Kakek, si lelaki itu berlari terbirit-birit tidak perduli dengan motor tuanya.
“Itu pasti jin, Allahu Akbar, Astaghfirulla ….” cerocosnya sambil terus berlari sekuat tenaga menerjang hujan yang semakin lebat.