My Beautiful Angel episode 31

Chapter 31

POV ROEL
“Roel, bangun. Kok kamu tidur disini? Kenapa nggak tidur di kamar?” tanya Mama mertua. Aku langsung bangun sambil mengucek mata. “Gimana nggak mau tidur disini? Anak Mama liat Roel bawaannya kaya mau dimakan,” jawabku masih sambil mengucek mata. Mana badan juga terasa sakit. Rani … oh … Rani … nggak hamil-hamil, sekalinya hamil ngidam-nya hal yang paling berat. Biasa tidur meluk dia, ini harus meluk dengkul sendiri. Nasib ….”Maksud kamu apa, Roel?” tanya Mama lagi.

“Ma, Rani ngidamnya nggak mau dekat-dekat sama Roel. Padahal badan Roel bau wangi. Pake minyak wangi kesukaan dia itu. Eh, malah muntah-muntah.”

“Coba jangan pake minyak wangi,” ujar Mama lagi.

“Justru karena mualnya parah, maka Roel kasih minyak wangi. Biasa orang ngidam itu kan mual-mual, nggak doyan makan, maunya yang asam-asam. Rani, anak Mama … ngidam benci sama suami. ‘Kan kelewatan,” keluhku sambil tersenyum simpul.

“Halah, nggak usah lebay kamu, Roel! Dulu juga waktu Mama ngidam kamu, Mama benci banget sama Papamu! Sudah terima nasib saja. Ini memang bawaan bayi. Kamu rasain deh, apa yang Papamu rasain,” Mama yang baru saja keluar dari kamar menimpali. Mertuaku itu langsung terkekeh.

“Yang sabar ya, menantu idaman, Mama,” ujar mertuaku seraya berlalu ke dapur. Sepertinya mereka ingin membuat sarapan. Hari ini aku tidak tahu akan pergi ke kantor atau tidak. Eh pasar maksudnya. Pasar Tanah Abang buat buka toko. Biar saja Dino lagi yang suruh buka. Dino itu anak konveksi, tapi dia selalu kuminta jaga toko kalau aku sedang tidak ingin ke pasar. Sudah coba cari karyawan baru untuk di toko belum dapat. Kebanyakan mereka tidak betah karena tokonya terlalu rame. Padahal aku tidak pelit sama karyawan. Sudah sejak Anton berhenti bekerja, Sampai sekarang, susah sekali cari karyawan yang bersungguh-sungguh.

“Woe! Bengong pagi-pagi,” ujar Dita menepuk pundakku.

“Mikirin apa Bang? Kasiman amat tidur di sofa. Wkwkwk.”

“Kasian, bukan Kasiman. Dit kamu ikut Dino buka toko ya? Hari ini lumayan rame.”

“Gimana, Abang? Hari ini kan ada acara syukuran sama santunan buat ucapan syukur karena Kak Rani hamil. Aku mau bantu Mama lah!” tolaknya ketus.

“Eh, Abang lupa. Ya sudah biar Dino saja,” ucapku.

“Oke ….” Segera aku pun gegas ke kamar untuk mengambil kunci toko dan memberikannya pada Dino.

Klek!

Kuputar knop pintu dan pintu pun langsung terbuka. Ternyata istriku itu tidak mengunci pintunya. Nampak dia masih tertidur mengenakan lingerie berwarna merah. Perlahan tapi pasti kuhampiri dia secara diam-diam. Aku berasa seperti maling mengendap-endap masuk kamar sendiri.

Perlahan aku mulai berjalan ke arahnya. Jujur saja aku sangat merindukannya. Aduh … pusing kepala kalau begini.

Cup!

Berhasil kucium juga pipinya. Masih belum puas, aku pun berusaha mengecup keningnya.

“Abang! Mau ngapain?!” sentak Rani sambil menutup bibirku yang hampir menempel dengan tangannya. Seketika saja aku pura-pura cari kunci.

“Abang cari kunci toko,” ujarku berkilah.

“Kunci toko di atas nakas itu, Bang. Bukan di kening aku,” kesalnya memandangku sinis. Udah sana keluar!” usirnya.

“Abang mandi dulu. Baru keluar lagi.”

“Terserah!” Dia kembali menarik selimut dan menutupi tubuhnya tak mau menatapku. “Pasti kuat Roel, baru dua hari… sisa 118 hari lagi. Sebentar lagi itu,” batinku menghibur diri. Segera aku pun meraih handuk dan gegas ke kamar mandi.

*****

Selesai mandi, aku lihat Rani sudah rapi juga dengan pakaiannya. Tapi kali ini terlihat sangat berbeda, dia terlihat seksi dengan pakaian dasternya dan juga rambut panjangnya yang basah terurai. Aku memang laki-laki yang paling suka melihat istri mengenakan daster di rumah. Ya Tuhan, ingin sekali kuhampiri dia dan memeluknya. “Sayang.” Tak tahan kuhampiri juga dia.

“Apa sih, Bang, dekat-dekat? Aku mual! Jangan nempel! Jaga jarak!” sungutnya memelototkan mata.

“Ya Tuhan, Sayang … boro-boro nengokin Dede malamnya, mau pegang aja perutnya dikit, nggak boleh?”

“Nggak ada pegang-pegang! Apaan sih!” Dia pun berlalu keluar kamar membawa tumpukan daster. Mungkin mau diberikan pada Mbak Winda. Mama dan yang lain kalau singgah di rumah, pulangnya memang akan banyak membawa daster. Apalagi dekat dengan konveksi, mana yang sudah rapi, mereka bisa pilih sendiri dibagian pemekingan.

****

“Dino!” panggilku saat aku sampai di bagian konveksi.

“Ya, Bang,” jawabnya sigap.

“Kamu buka toko lagi ya? Ini kuncinya.” Dino menganggap dan dengan sigap dia mengambil kunci dari tanganku.

“Beres, Bos! Oh iya, Bang. Kemarin ada yang ngelamar kerjaan, terima nggak ya?” tanyanya.

“Interview dulu, jangan langsung diterima. Usahakan yang berpengalaman dan lincah.”

“Beres itu Bang. Satu cowok satu cewek? Atau?”

“Dua cowok satu cewek. Satu khusus jadi tukang panggul. Apa kamu mau di toko?” Aku balik bertanya.

“Ya udah, Bang. Dino di toko aja mulai besok.”

“Sip. Lanjut kerja. Saya masuk dulu,” ujarku.

*****

Hari ini semua orang di rumah disibukkan dengan membungkus makanan semacam snack. Untuk nasinya, sudah dipesan catring dan akan tiba pada pukul tiga sore, karena pukul empat acara pengajian dimulai. Kehamilan Rani begitu antusias disambut semua orang. Mama juga sangat memanjakannya. Terbukti ketika ingin melakukan hal kecil pun tidak boleh. Mama menyuruh Rani ke kamar untuk beristirahat saja sampai acara dimulai. Aku jenuh, dan ingin sekali menggodanya.

Lama aku termenung di pinggir kolam renang bermain game di ponsel, ada rasa jenuh juga. Mulai aku pun berselancar di efbee. Sama, tidak ada yang menarik juga. Hingga akhirnya mataku beralih pada pesan messenger. Banyak pesan yang belum kubaca. Entah dari siapa saja pesan itu.

[Roel, apa kabar? Masih ingat aku?] tulis seseakun. Aku lihat ternyata sudah lama dia mengirim pesan itu. Iseng, aku pun coba berselancar di profilnya. Melihat-lihat siapa perempuan yang mengirim pesan untukku ini. Cantik memang perempuan itu.

Tidak lama kau berselancar di akunnya, nampak kalau dia itu ternyata Ana, gadis culun jelek hitam dan gendut dulu waktu SMP. Perubahannya sangat berbeda. Aku pun tertarik untuk membalas pesannya.

[Ini Ana yang sekolah di SMP Harum dulu?] balasku bertanya.

[Iya, benar. Kamu apa kabar?] balasnya lagi. Sigap sekali dia membalas pesanku.

[Alhamdulillah baik, jauh sekali perbedaannya. Cantik kamu] pujiku.

[Ah, biasa aja kok. Roel kamu sudah nikah]

[Sudah. Kamu sendiri?]

[Sudah Roel, tapi lagi ada masalah sama suamiku]

[Semoga cepat kelar masalahnya]

[Roel]

[Iya]

[Aku minta nomor wa kamu ya? Buat tambah kontak saja. Lagian kamu ‘kan teman lama] Aku pun segera memberikan nomor Wa ku padanya.

[Makasih Roel, kita sambung wa ya]

[Oke] balasku.

******

“Bang! Bantuin ayo? Di dalam lagi pada sibuk. Itu Mama lagi bagi-bagi amplop, Abang malah bengong sendirian disini,” sentak Dita. Ternyata aku habiskan waktu seharian di pinggir kolam renang. Terlalu, Rani sama sekali tidak menghampiri. Biasanya sehari tidak melihatku, pasti dia nyariin.

“Kamu sajalah ya, Abang malas. Nanti saja Abang masuknya kalau acara sudah kelar. Abang lagi nggak enak badan ini,” kilahku.

“Nggak enak badan kok di pinggir kolam renang?”

“Iya, ini mau masuk,” ujarku berlalu lewat pintu samping yang arah ke dapur supaya tidak perlu lewat ruang tamu.

Tung!

Sebuah notif wa masuk di ponselku. Aku yakin pasti Ana yang mengirim pesan. Segera kututup pintu kamar dan membaringkan tubuh di ranjang.

[Roel save nomor aku] Emot senyum ia tambahkan.

[Oke aku save ya]

[Mana istri kamu?]

[Lagi ada acara santunan di rumah. Dia sibuk bantu-bantu. Alhamdulillah, menyambut kehadiran anak pertama]

[Wah kamu nggak bantu-bantu?]

[Hehehe … tanggung jadi di kamar saja nih]

[Oh oke. Maaf kalau ganggu. Nggak ada maksud apa-apa ya? Hanya berkabar saja sama teman lama]

[Nggak apa-apa santai aja] Akhirnya, kami pun terus berbalas pesan. Tidak ada maksud lain, hanya untuk mengusir kejenuhan saja. Lagi pula Ana orangnya juga sopan dan ramah. Sangat enak memang dijadikan teman.

Klek!

Aku tersentak ketika Rani tiba-tiba saja masuk. Segera aku pun menghapus pesan dari Ana. Takut kalau sampai Rani salah paham.

“Lagi ngapain kamu?” tanyanya.

“Biasa lagi Main ponsel sama kirim-kirim gambar buat langganan,” jawabku. Pada akhirnya aku pun melakukan sebuah kebohongan. “Percayalah, aku pun tidak ada maksud apa-apa atau niat lain. Lagi pula Ana itu hanya teman,” tegasku dalam hati.

*****

Malam menyapa, Rani sibuk dengan membaca majalah, sementara aku kembali berkirim pesan dengan Ana. Ada saja kelakuan perempuan itu yang membuatku tertawa. Sekali lagi kutekankan, Ana hanya teman.

[Suami kamu nggak marah kamu kirim-kirim pesan sama laki-laki lain sekalipun hanya teman?] Aku coba memberanikan diri juga bertanya. Bukan apa, aku pun takut kalau suaminya salah paham.

[Nggak kok, kami menjalani hubungan jarak jauh. Dia nggak peduli sama aku. Entah, disana dia masih setia apa mendua] emot sedih ia tambahkan.

[Yang sabar. Selalu berpikir positif aja. Selagi belum ada bukti, jangan berpikir negatif. Justru kamu harus doakan suamimu]

[Enak ya Roel, kalau punya suami kaya kamu. Udah ganteng, sukses, pengertian pula. Jadi bikin aku ngiri] Entah kenapa aku tersenyum melihat pesan darinya.

“Bang! Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?” tanyanya. Aku meletakkan ponsel kemudian beranjak mendekatinya.

“Jaga jarak! Aku nggak suka bau badan kamu! Mual!” ketusnya. Perasaan setelah mandi tadi sengaja aku tidak pake minyak wangi. Masih saja bikin mual. Ya Tuhan, kuatkanlah imanku. Ini ujian ….

“Sayang, aku boleh nanya?”

“Apa?”

“Kamu cinta sama aku?” Entah pertanyaan macam apa ini.

“Cinta… kalau kamu nggak ada ya kangen. Tapi nggak tahu, kalau udah dekat-dekat gini bawaannya pengin muntah, terus kesel gitu sama kamu. Aku nggak tahu deh… pokoknya akhir-akhir ini saja. Mungkin juga bawaan Ibu hamil. Tapi aku kayagini kamu jangan tersinggung sama sikap aku. Kamu harus bisa ngertiin dan jangan macam-macam,” ujarnya. Setelah berbicara perempuan itu langsung berlari ke kamar mandi.

“Hhooekk … hoeekkk …. Hhhoooeeekk,” terdengar suaranya muntah-muntah. Aku pun dengan segera menyusulnya.

“Bang! Jangan dekat-dekat!” ujarnya.

“Hhooeek … hooeekk … hooeekk ….!”

“Abang keluar deh dari kamar kalau emang sayang sama aku,” ujarnya sembari menangis. Aku pun beranjak. Kemudian mengambil ponsel dan selimut lalu kembali ke ruang keluarga. Saat keluar nampak ruangan sudah sepi. Padahal saat melirik jam di tangan baru pukul 21.00 malam. Dengan sedikit lemas, aku pun menjatuhkan badan di sofa.

Hah! Aku mendesah. Menarik nafas dalam kemudian mengeluarkannya. Benar-benar ujian sebagai seorang suami.

Tung!

Kembali notif di ponselku berbunyi.

[Sudah tidur Roel?] Perempuan itu rajin sekali mengirim pesan.

[Belum nih. Kenapa?]

[Lagi ngapain kamu. Nggak tahu kenapa, suka aja chatan sama kamu. Kamu asyik orangnya]

[Bisa aja. Lagi tiduran aja nih di sofa]

[Kok nggak di kamar?]

[Istriku lagi ngidam. Ngidamnya nggak mau dekat-dekat pula sama aku. Mual katanya]

[Hahahah … kasihan banget. Sabar ya Roel? Tahan … tahan ….]

[Apanya yang tahan?]

[Itunya] Sebuah emot tawa ia selipkan. Ada-ada saja perempuan ini. Aku pun tak lagi bernafsu untuk membalasnya. Kuletakkan ponsel di meja, kemudian menutup kepala dengan bantal dan coba memejamkan mata.

‘Dek, udah dong siksa Papanya. Jangan lama-lama ….’


My Beautiful Angel

My Beautiful Angel

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kisah seseorang yang menikahi karyawannya tanpa sepengetahuan sang istri pertama, Anton yang baru saja membawa pengantin baru ke rumahnya harus berhadapan istri pertama dengan celotehan tanpa henti dari Rani, yang sejatinya sangat judes dan tidak peka dengan keadaan disekitarnya , tetapi bagaimana pun Anton akan tetap mempertahankan pengantin barunya ,Vina dengan meminilasir masalah sekecil mungkin, tapi sayang karena tiga-tiganya edan mungkin ini akan jadi rintangan yang tidak mudah untuk mereka. Dapatkah Anton menjalani hidup sekaligus mempertahankan keluarganya ? Yuk dibaca kisahnya lebih lanjut...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset