Lagi-lagi mimpi ini.
Mimpi di mana saat aku di masa kanak-kanak masih bersama teman bermainku. Aku ibarat terlempar ke masa lalu yang menyaksikan dua anak kecil bermain bersama.
Aku bisa dengan jelas melihat mereka, namun tampaknya mereka berdua tak menyadari keberadaanku.
“Lihat, aku membuatkan ini untukmu!”
Gadis itu menyerahkan sebuah mahkota yang dapat dibuat dengan akar tumbuhan dan beberapa dedaunan kering.
“Apa ini?”
“Ini mahkota. Kau akan terlihat keren kalau memakai ini.”
“Benarkah?”
“Ya, tentu saja.”
Anak laki-laki itu lalu menerima mahkota pemberian gadis yang bermain bersamanya. Walau awalnya dia merasa ragu-ragu, tapi karena senyum sang gadis yang selalu memerhatikanya, ia pun mengenakanya dengan perlahan-lahan.
Setelah itu dia lalu bangkit dan menunjukan penampilanya sembari sedikit berpose.
“Bagaimana?”
“Bagus. Cocok sekali!”
“Aku juga membuat sesuatu untukmu.”
Kini giliran anak laki-laki yang memberi sesuatu dari balik sakunya. Di genggamannya ada benda yang mirip dengan mahkota yang ia kenakan.
Hampir bahan yang digunakan sama, hanya saja tak ada dedaunan kering yang menghiasi. Dan juga ukurannya lebih kecil, mungkin hanya bisa dikenakan di jari.
“Selagi kau membuat mahkota untukku, aku juga membuat cincin ini untukmu.”
“Wah, indahnya!”
Sang gadis tampak terpesona dengan benda pemberianya. Meski cincin itu tak berbahan emas dan berhiaskan berlian seperti yang gadis biasa inginkan, tapi dengan perasaan yang tulus ia mau menerimanya.
“Aku akan memakaikanya untukmu!”
Bocah laki-laki itu memegang tangan sang anak perempuan, sementara tangan sebelahnya lagi ia gunakan untuk memakaikan cincin buatannya pada jari manis gadisnya.
“Terima kasih…”
“Kita terlihat seperti raja dan ratu sungguhan. Hehe…”
Anak laki-laki itu mengembangkan senyum di wajahnya, yang membuat sang gadis menunduk malu.
“Hei…! Apakah kita akan terus berteman?”
“Tentu saja!”
Jawab sang bocah laki-laki dengan cepat.
“Benarkah?”
“Ya, meski pada akhirnya aku akan pergi dari sini. Aku takkan pernah melupakanmu! Dan aku akan kembali lagi kemari saat liburan.”
“Kalau begitu akan kupegang janji ini. Kita akan terus berteman dan lalu… saat kita dewasa nanti, maukah kau menikahiku?”
Anak laki-laki itu terdiam sejenak. Entah apa yang dipikirkanya, sesaat kemudian ia tersenyum lebar sembari berkata, “ya, aku mau.”
Berkat pemandangan yang terjadi di hadapanku, aku jadi teringat masa lalu. Memang benar aku telah mengatakan itu pada gadis yang tinggal di kampung halaman nenekku.
Aku mengangguk setuju bukan hanya asal bicara. Itu karena mungkin aku memang tertarik pada gadis itu.
***
Begitu sinar mentari pagi masuk menyusup ke dalam kelopak mataku, aku terbangun. Menatap langit-langit sembari mengusap-usap mataku beberapa kali guna menyingkirkan kotoran yang berada di sana.
Kutelengkan kepalaku ke sampingku, tempat di mana Bella biasanya berada. Namun pagi ini aku tak merasakan adanya kehangatan di sana.
Kugenggam erat sprei kasurku yang dingin semalaman.
Aku benar-benar menyesal mengatakan hal yang kasar padanya. Bukan maksudku untuk menyakitinya.
Tapi entah kenapa semuanya berubah menjadi seperti ini. Perasaan menyesal menumpuk dalam diriku. Rasanya aku ingin memutar balik waktu guna kembali ke malam sebelumnya dan menghajar diriku di waktu itu.
Harusnya aku tak membentaknya.
Harusnya aku memberinya senyuman.
Harusnya aku berterima kasih padanya atas segala kebaikan yang ia berikan padaku.
Tapi kini itu cuma angan-angan yang melayang dalam kepalaku.
“Bella, di mana kau berada?”
Aku bangun dan langsung menuju ruang tamu. Suara melodi terdengar kala aku memencet tombol-tombol yang berada di telepon.
Mungkin saja saat ini Bella ada di salah satu rumah temannya. Meski aku tak tahu dengan siapa saja ia berteman, tapi kemungkinan paling besar ia berada bersama Nia, teman dekatnya sekarang.
“Halo, ini siapa?”
“Aku Sena. Nia, apa Bella ada di sana?”
Hal yang kulakukan sebenarnya beresiko membongkar rahasia kami. Kalau aku mengatakan pada Nia Bella kabur dari rumah.
Bisa saja terjadi kesalahpahaman lagi dengan Nia. Karena itulah aku harus mencoba untuk membuat alasan yang bagus.
“Memangnya ada apa?”
“Aku cuma ingin menanyakan sesuatu padanya.”
“Dia tidak ada di sini, tuh. Kenapa tidak kau telepon saja langsung padanya.”
“Dia tak menjawab panggilanku, karena itulah aku meneleponmu.”
“Tapi dia tak ada di rumahku.”
“O-Oh, begitu. Ya sudah.“
“Daah…!”
Kututup gagang telepon dan menghempaskan tubuhku ke atas sofa panjang yang menghadap ke arah televisi.
Biasanya saat libur begini, aku menghabiskan waktu dengan menonton televisi bersamanya.
Tapi kini aku sendirian. Menatap layar kaca yang menampilkan acara komedi yang tak mampu memecah gelak tawaku.
“Tunggu dulu…!”
Mendadak aku tersadar.
Mengingat seberapa dekat Bella dengan Nia yang sudah seperti saudara kandung sungguhan.
Bella kemungkinan sudah menceritakan masalahnya pada Nia, walau aku tak tahu apakah dia mengatakan tentang pernikahan kami atau tidak.
Dan mungkin Nia sedang menyembunyikan Bella dariku.
Aku menggenggam sedikit keraguan di tanganku. Tapi untuk benar-benar memastikanya, aku harus melihatnya sendiri dengan mendatangi rumah Nia.
Tapi sebelum itu, aku harus mengisi perutku terlebih dahulu. Meski aku sedang gelisah dan khawatir, tapi aku bukan orang yang berpikiran pendenk. Situasinya akan tambah berantakan kalau aku pingsan gara-gara tak sarapan.
Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Biasanya Bella sepagi ini sudah memasakkan sesuatu untuk kami.
Entah itu nasi goreng, telur dadar, atau mie instant dia selalu menyiapkan sebelum kami berangkat sekolah. Walau masakannya tak terlalu lezat sih. Tapi akhir-akhir ini masakanya semakin membaik karena pekerjaanya sebagai koki paruh waktu di restoran.
Aku sempat tersadar, kalau aku mempunyai istri yang lumayan bisa diandalkan.
Aku jadi semakin menyesal kalau terus mengingat perbuatanku semalam. Meski begitu, aku baru tersadar setelah beberapa waktu.
Setelah sepuluh menit aku menggoreng nasi di atas penggorengan, aku langsung menyajikanya ke atas piring yang berada di meja makan. Bau harum rempah-rempah yang tercium langsung membuatku meneteskan air liur.
Ini kali pertama aku memasak sendiri. Aku mengetahui bahan-bahan dan cara memasak dari Bella. Karena setiap kali dia tengah memasak, aku selalu memandanginya dari balik meja makan.
Sesaat aku hendak melahap sarapanku. Aku terdiam sejenak. Memegang dahiku perlahan sembari menundukan wajahku.
Menatap ke arah dua piring nasi goreng yang baru saja kumasak.
“Ya ampun, aku lupa kalau dia tak ada di sini!”
Aku jadi memasak untuk dua porsi orang. Aku langsung bangkit dan mencari tutup makanan. Kupikir lebih baik menyimpannya untuk nanti daripada kubuang.
Dan dalam beberapa menit, aku sudah menyelesaikan sarapanku, mandi serta berpakaian rapi. Dengan ini aku siap untuk pergi mencari Bella.
Tujuan pertamaku adalah rumah Nia.
Aku pernah mengunjungi rumahnya sekali sewaktu kerja kelompok. Saat kelas satu, aku sekelas dengan Nia.
Walau cuma pernah sekali berkunjung, tapi aku hapal jalan ke rumahnya karena alamatnya yang berada di perumahan. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke rumahnya dari sini dengan angkutan umum.
Kini aku berada tepat di depan pintu rumahnya.
Kalau ekspresinya terkaget dan panik saat melihat kedatanganku, artinya dia memang sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
Tapi tanganku berhenti sesaat sebelum aku mengetuk pintu untuk membuat tuan rumah menyadari keberadaanku di luar.
“Kalau Bella memang ada di sini, bagaimana caraku menghadapinya?”
Meminta maaf dan membujuknya untuk kembali ke rumah? Tapi kurasa itu akan sangat sulit mengingat betapa marahnya gadis itu semalam.
Aku tak pernah melihatnya semarah itu sebelumnya. Dia juga berkata membenciku. Hatiku jadi semakin kalut dibuatnya.
Sementara aku membuang-buang waktuku dengan hati yang berkecamuk, suara pintu terbuka terdengar masuk ke dalam lubang telingaku. Menampakan seorang gadis bertubuh mungil seperti Bella, namun berdada besar.
“Sena? Apa yang kau lakukan di sini?”
“N-Nia…?”
Bukan Nia yang membuat ekspresi terkaget sekaligus panik, tapi aku. Kemunculanya yang mendadak sungguh mengagetkanku.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Wajah polosnya ia telengkan sedikit sembari menatap lurus padaku.
“M-Maaf mengganggu! Aku cuma ingin memastikan keberadaan Bella di sini.”
“Dia memang tak ada di sini, kok! Kau bisa lihat sendiri kalau kau mau.”
Nia menyingkir dari pintu seolah menyilakanku masuk ke dalam rumahnya yang terlihat rapi dan bersih. Suasana di rumah ini sangat senyap, seperti semua suara hilang ditelan kabut kegelapan.
Rak kayu yang menyimpan beberapa alas kaki di samping pintu menunjukan kalau tak banyak penghuni rumah yang berada di dalam saat ini.
“Apa keluargamu sedang pergi keluar?”
Nia menggeleng pelan.
“Tidak, rumah ini memang seperti ini. Karena aku tinggal hanya bersama kakakku di sini.”
“Oh begitu…”
“Bella memang tak ada di sini. Kalau tak percaya, mau masuk dulu?”
Aku melihat matanya semerah seperti rubi. Matanya tak berbohong. Aku tahu itu, karena biasanya mata orang yang sedang berbohong akan beberapa kali dipalingkan dari orang yang sedang dibohongi.
Tapi Nia malah memandangku lurus, seakan justru dia lah yang mencurigaiku.
“Tak perlu. Aku akan mencari ke tempat lain. Maaf sudah mengganggumu!”
Saat aku berbalik dan hendak meninggalkan tempat ini, tiba-tiba lenganku tertahan.
Aku membalikan tubuhku.
Nia memegangi lenganku seakan tak ingin membiarkanku pergi. Rasa genggamanya sangat berbeda dengan tangan Bella. Aku bisa merasakan perasaan lembut mengalir dari kulit kami yang bersentuhan.
“Apa terjadi sesuatu pada Bella?”
“T-Tidak, kok.”
Nia menguatkan cengkramanya.
“Kalau ada masalah bilang saja padaku. Bella adalah teman dekatku, jadi aku pasti akan membantu.”
“Cuma masalah sepele, kok. Jangan khawatir!”
“Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Apa ini adalah sesuatu yang tak boleh kutahu?”
Gadis berambut hitam sebahu ini kembali menambah kekuatan genggamanya pada lenganku. Saking kuatnya aku seakan terlilit oleh ular piton yang tengah menyergap mangsanya.
Dari kulit kami yang bersentuhan, aku kembali merasakan perasaanya yang mengalir. Tapi perasaan ini berbeda dari sebelumnya.
Khawatir dan takut.
Dua kata itu sudah cukup untuk menggambarkan Nia yang sekarang. Wajahnya menjadi terlihat sangat cemas.
Kalau biasanya ia akan percaya saja walau kukatakan hal yang mustahil, tapi kalau menyangkut soal Bella, ia berubah.
Nia menjadi sangat ingin tahu dan rasa penasaranya sangat besar seolah menembus jantungku. Aku baru tersadar walau mereka terlihat seperti teman biasa di depanku, Bella dan Nia memiliki hubungan pertemanan sekuat baja.
Aku melepaskan genggamanya dariku. Lalu kuarahkan kedua tanganku pada bahunya untuk menenangkanya.
Dengan memasang senyum tipis aku berkata, “semuanya baik-baik saja. Kau terlalu khawatir.”
Nia menunduk. Lalu menghela napas guna melepaskan kelegaanya.
“Baiklah, kalau kau berkata seperti itu. Tapi ingat untuk selalu meminta bantuanku kalau kau butuh.”
“Pasti.”
Aku melambaikan tanganku ketika meninggalkan rumahnya. Membelakangi wajah cemas Nia yang berdiri di ambang pintu.
Dengan ini aku kembali dibingungkan dengan Bella. Kemana lagi aku harus mencarinya?
***
Aku terduduk sembari memandangi tembok yang memantulkan cahaya jingga. Meski ini jam pulang kantor, tapi aku tak mendengar puluhan atau ratusan suara knalpot motor.
Karena aku terduduk di sebuah bangku panjang yang jauh dari jalan raya. Tumbuh-tumbuhan dan bunga terlihat lebih indah di taman ini. Memberi ketenangan pada hatiku yang sedang kalut.
Mungkin ini sebabnya banyak orang yang kemari untuk melepas penat atau hanya untuk sekedar jalan-jalan biasa.
Hingga detik ini aku sama sekali belum bisa menemukan keberadaan Bella. Mencarinya sendirian di kota yang luasnya kebangetan ini cukup gila, tapi aku juga tak bisa menyeret orang lain untuk ikut mencari gadis oranye ini.
Karena selain aku tak ingin membuat mereka khawatir, tentu saja ini akan beresiko pada rahasiaku.
Andai saja aku tak mengatakan hal yang mengerikan padanya, mungkin dia takkan pergi dari rumah. Ditinggal olehnya seperti ini sangat membuatku kesepian. Bukan berarti aku mempunyai perasaan padanya, hanya saja saat ini Bella sangat membuatku khawatir.
Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya?
Meski aku selalu bermusuhan denganya, meski aku tak menyukainya, meski aku menolak pernikahan kami…
Tapi aku tak menginginkan itu terjadi.
Aku melangkahkan kakiku ke rumah dengan lunglai seperti seorang gembel kumuh yang berjalan tanpa arah.
Selama perjalanan pulang, pikiranku selalu dipenuhi oleh Bella. Ini berbeda dengan saat kau jatuh cinta. Ini lebih seperti seorang ibu yang mencemaskan anaknya yang pergi bermain, namun tak kunjung pulang saat menjelang petang.
Aku tak tahu kemana lagi harus mencarinya. Aku sudah pergi ke banyak tempat yang kutahu, tapi ia tak ada di mana pun.
Bahkan aku sudah mencarinya di sekolah kami yang jauh dari rumah, walau aku tahu dia tak mungkin berada di sana.
Aku terus memikirkanya hingga tak sadar kalau sudah tiba di depan rumahku. Kuhela napas panjang. Bukan karena lega, tapi lebih ke penyesalan karena tak bisa menemukan batang hidungnya.
Saat ini aku hanya bisa berdo’a dan berharap agar ia baik-baik saja.
Kini aku terduduk di meja makan, berniat untuk mengisi perut yang tak terisi sejak tadi pagi. Untunglah tadi aku membuat sarapanya terlalu banyak, jadi aku tak perlu repot-repot membuat makanan di saat kelelahan seperti ini.
Kuarahkan tanganku untuk membuka tudung makanan di meja dapur.
Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku saat mengetahui piring makanan yang kutaruh di dalam sini sebelumnya telah menghilang tanpa jejak.
Padahal, aku ingat kalau menyimpanya di sini tadi pagi.
Kubuka lemari es yang berada di belakangku, berharap aku lupa dan menaruhnya di dalam sini.
Tapi… tidak ada.
Bahkan beberapa kantung cemilan dan botol minuman soda pun turut lenyap. Kugaruk-garukan kepala belakangku.
Mungkinkah ada pencuri yang masuk ke rumahku?
Tapi langsung kusangkal dugaanku dengan cepat begitu menyadari yang hilang dari rumah ini hanyalah sebagian makanan dari kulkasku.
Tapi… buat apa maling mencuri makananku?
Aku tak bisa memikirkan hal lain selain satu kemungkinan…
Dengan langkah cepat aku menuju kamarku, tapi aku tak bisa menemukan apa pun. Begitu juga dengan ruangan lainya di rumah ini. Kakiku langsung kuarahkan menuju pintu belakang, di mana terdapat taman kecil beserta bangku panjang yang biasa kugunakan untuk bersantai.
Aku bisa menemukan bungkus-bungkus kosong kudapan berserakan di teras, botol-botol minuman, juga bekas piring nasi goreng tadi pagi.
Mataku terbelalak lebar begitu melihat orang yang tengah berbaring di bangku sembari membaca komik-komik koleksiku.
Sepertinya gadis itu menyadari keberadaanku, hingga ia pun membalas tatapanku.
“S-Sena…?”
“Bella?”
Gadis oranye itu juga membelalakan matanya. Ekspresinya menunjukan keterkejutanya saat melihatku. Aku langsung memperpendek jarakku denganya. Mencengkram erat kedua pundaknya dan menatap matanya dalam-dalam.
“Bodoh!!! Kemana saja kamu!!? Aku sudah mencarimu kemana-mana seharian ini!”
Bella masih tak bereaksi. Aku pun melanjutkan perkataanku.
“Sejak semalam aku tak bisa berhenti mengkhawatirkanmu. Membayangkan hal buruk menimpamu sungguh membuatku sakit. Tapi kau malah di sini enak-enakan bersantai!!?”
Gadis cantik itu mengibaskan lengannya guna melepaskan tanganku darinya. Dia berbalik melotot padaku.
“Kau pikir itu salah siapa? Kalau saja kemarin malam ka—“
Langsung kubungkam mulutnya dengan dekapanku. Menarik tubuh mungil dan rapuhnya ke arahku. Aku sungguh tak bisa membayangkan ada gadis yang bertubuh begitu mungil sepertinya di dunia ini.
Meski aku tak tahu wajah apa yang dibuatnya saat ini. Aku bisa merasakan setiap detak jantungnya yang berdegup kencang merambat pada tubuhku.
“Maaf.”
“…!?”
“Aku sungguh minta maaf atas perkataanku kemarin. Sebenarnya aku tak membencimu saat kau bersikap baik padaku. Maafkan aku! Jadi, tolong berhentilah membuatku khawatir lagi!”
“…”
Bella tak memberikan respon. Tubuhnya bergetar. Meski awalnya dia berusaha untuk lepas dari pelukanku, tapi kini sepertinya dia merasa nyaman dalam kehangatanku.
“Apa kau mau menerima permintaan maafku?”
“…”
Gadis oranye menengadahkan kepalanya, membuat kontak mata dan tersenyum tipis untukku.
“Tentu saja. Kau bodoh!”
“Bella…”
“Aku juga minta maaf karena telah membuatmu khawatir. Maaf kalau aku sudah banyak menyusahkanmu! Sebagai gantinya aku ingin memberimu sesuatu.”
“Apa itu?”
Bella menunduk malu. Pipi kemerahanya terlihat samar walau ia berusaha menyembunyikanya dariku. Kemudian matanya kembali bertemu denganku.
“Tutup matamu…”
Ujar Bella dengan malu-malu.
A-Apa-apaan ini? Kenapa dia jadi malu-malu seperti ini?
Aku menelan ludahku. Dengan perlahan aku mulai menutup mataku walau tak tahu apa yang akan ia lakukan. Tapi dari sikapnya yang malu-malu barusan, juga perkataanya tadi…
Jangan-jangan…
Jangan-jangan dia mau memberiku sebuah ciu—
*DUAGH!
Aku langsung memegangi perutku yang mendadak sakit luar biasa. Ini bukan ciuman! Tapi—
“Hiyaaaat…!!!”
Teriakan Bella mengiringinya saat membanting tubuhku ke atas lantai dengan punggungku yang berada di posisi bawah. Mengakibatkan sakit di perutku turut menjalar ke bagian belakangku.
“Huwaaaaaaa…! Sakiiiiiittt…! Apa yang kau lakukan, sialan!!?”
Sembari memegangi punggungku, aku melayangkan tatapan tajam padanya.
“Hahaha… wajahmu sangat menjijikan tadi. Kau pikir aku akan menciummu? Jangan mimpii…!!”
Gelak tawa Bella pecah begitu melihatku kesakitan. Sepertinya dia sangat senang melihatku menderita.
“Kupikir kau sudah memaafkanku.”
“Memang, tapi aku tak pernah bilang tak akan membalasmu!”
Dengan masih terbahak-bahak, Bella memunggungiku dan kembali masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan kondisiku.
Aku mencengkram erat-erat tanganku sendiri, kalau aku sedang memegang botol minuman mungkin sudah pecah karena kekuatanya. Mungkin orang lain bisa melihat kepalaku yang sedang gusar dipenuhi urat-urat kekesalan.
“Dasar…! Cewek kampreeeeeeeeeeettttt…!!!”
***
Petang sudah lewat. Kini sang rembulan muncul menggantikan sang mentari yang sudah lelah bekerja seharian.
Aku duduk di depan televisi di ruang tamu, menatap layar kaca yang tengah menampilkan sebuah film horror tengah malam. Sekembalinya dari dapur, Bella langsung duduk di sampingku sembari membawa semangkuk besar popcorn.
“Filmnya sudah mulai?”
Ujarnya sembari meraup popcorn dengan tanganya.
“Begitulah.”
Sahutku yang masih memperhatikan adegan di layar kaca.
Aku langsung terhenyak begitu menyadari Bella menjadikan bahuku sebagai bantalnya. Dia tak merasa malu-malu seakan dia memang sudah biasa bersandar padaku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
Bella membalasku dengan tatapan lemah lembutnya.
“A-Aku sedikit takut dengan film horror. Tak apa kan kalau aku mencengkram lenganmu saat aku ketakutan?”
“Ku-Kurasa tak masalah.”
“Hehe…”