…but lovers always come, and lovers always go
And no one’s really sure who’s letting go today…
“Aku sudah tidak sabar bertemu produser itu, Sin!”
“Waah aku tidak sabar melihatmu di televisi, menjadi selebritis!”
“Hahaha. Selebritis? Perutku mual mendengar itu. Ada-ada saja.”
“Tapi semua itu mungkin kan? Dan tinggal selangkah lagi, Mo. Bersiap sajalah.”
“Hahaha. Apa kalau menjadi selebritis nanti namaku jadi berubah ya?
“Maksudmu?”
“Nama Armo terlihat tidak keren, Sin. Kampung sekali kesannya.”
“Hahahaha. Biar kampung kalau nyanyinya bagus, tetap saja jadi keren.”
“Hahaha. Ada-ada saja. Kamu memang temanku yang terbaik, Sinta.”
Oke. Teman. Sebenarnya kata itu cukup menggambarkan perasaanmu padaku bukan? Huh, teman? Tidak rela rasanya aku mendengar kata itu keluar dari mulutmu. Aku ingin lebih! Ah, mulai lagi. Keegoisan seorang Sinta mulai tampak. Dan sifat buruk itu justru muncul pada saat hari-hari terakhir kita bersama, sebelum kamu pergi ke Jakarta dan menemui produser itu. Kemanapun kamu pergi, harus ada aku. Harus. Aku tidak mau membuang kesempatan untuk terus bersama kamu. Aku bertindak seolah-olah tidak ada hari esok. Dan, memang.
Stasiun kereta api, Minggu pagi. Rintik hujan mulai turun. Bulan ini November kedua setelah pertemuan kita pertama kali. Stasiun terlihat ramai entah karena banyaknya orang yang datang ataupun orang-orang yang akan pergi. Beberapa kuli angkut memasang mata kalau-kalau ada yang membutuhkan jasa mereka. Beberapa pedagang asongan masih setia menjaga dagangan mereka. Sementara aku gelisah. Kamu bersikeras tidak mau aku antar. Dan aku bersikeras untuk mengantarmu. Entah kenapa aku merasa sepertinya kamu tidak akan kembali. Lagipula, aku sudah memantapkan hati untuk mengatakan isi hatiku padamu. Melupakan rasa gengsi yang masih bertaut di kepalaku.
“Kenapa, Sin? Hahaha. Sedih ya? Ya ampun Sinta. Bandung-Jakarta itu tidak jauh kan?”
“Bukan itu, Mo.”
“Lantas apa? Pagi-pagi begini wajah cantikmu terlihat muram. Tidak benar itu.”
Aku tersenyum. Kamu memang pintar sekali menggodaku.
“Sebenarnya…seperti apa perasaanmu padaku?” tanyaku akhirnya.
…
Suasana hening. Aku menunduk dan tidak berani menatap cowok ini. Seketika aku menyesal telah menanyakan hal tersebut. Jangan-jangan dia mengira aku terlalu agresif telah menanyakannya pertanyaan itu.
“Memang kenapa?” tanyamu akhirnya.
“Aku…kamu pasti tau. Aku menyukaimu,” jawabku pelan.
…
Kembali hening. Tidak ada reaksi apapun dari kamu. Tiba-tiba kereta yang akan membawamu akan segera berangkat. Ah, sialan! Pikirku. Lalu tiba-tiba kamu memegang bahuku.
“Aku harus pergi. Sampai ketemu lagi ya. Nanti aku kabari sesampainya di Jakarta,” ujarmu pelan.
Hah? Itu saja? Lalu bagaimana dengan pertanyaanku?
Kereta api itu akhirnya berlalu dari stasiun. Hujan yang tadinya rintik mulai deras. Tanpa sadar aku menangis. Entah karena malu, sedih, ataupun kecewa. Mengapa dia tidak menjawabnya? Apa susahnya sih? Atau sebenarnya dia hanya menganggapku teman, dan tidak mau menyakitiku sehingga tidak bersedia menjawabnya? Hari itu, aku pulang dengan sejuta tanya.