Kidung Diatas Tanah Jawi episode 6

Gatra 6

Dalam keadaan kedua tangan terikat di belakang Ki Dadap dipapah dan didorong ke balik semak belukar itu. Hujan masih turun menyisakan rintik-rintik. Empat orang lelaki mengelilinginya. Yang pertama berkumis melintang berbadan tinggi besar yang bukan lain adalah Demang Wiryoboga. Di sebelah kanannya berdiri Jagabaya Lampitan. Dua orang lainnya adalah anak buah Lampitan.

“Ki Demang,” terdengar suara Ki Dadap. “Mengapa kau membawaku ke pekuburan malam-malam begini?”

“Diam! Tutup mulutmu! Kalau tidak aku suruh bicara jangan berani bersuara!” bentak Demang Wiryoboga. Lalu disepaknya betis Ki Dadap hingga lelaki ini hampir roboh, jika saja lelaki setangah baya itu tidak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya.

Demang Wiryoboga memandang ke depan lalu berpaling pada Lampitan. “Dimana kau lihat anak itu…?” dia bertanya.

“Sebentar lagi Ki Demang. Sabar saja, Ki Demang kita harus masuk lebih ke tengah lagi…” jawab Lampitan.

Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari jauh terlihat sesosok tubuh kecil, duduk bersimpuh dengan pandangan kosong tanpa menghiraukan tubuhnya yang basah kuyup dan kotor terkena percikan lumpur.

“Dia Sulastri Ki Demang…” bisik Lampitan.

Demang Wiryoboga mengangguk. Sepasang matanya tidak berkedip. Dia memandang dengan rasa hampir tak percaya. Anaknya, Sulastri malam-malam gelap gerimis serta angin dingin yang bertiup cukup kencang, mendatangi pekuburan itu seorang diri. Sebelumnya Lampitan telah memberikan laporan. Namun dia tak mau percaya begitu saja kalau tidak melihat sendiri. Dan saat itu dia benar-benar menyaksikan apa yang dikatakan oleh Lampitan bahwa Sulastri datang ke pekuburan.

“Ki Dadap!” desis Demang Wiryoboga. “Kau lihat sendiri anakku seperti kemasukkan setan! Datang ke pekuburan malam-malam. Ini semua gara-gara keponakanmu yang keparat itu!”

“Ki Demang, saya tidak mengerti dan tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi…” jawab Ki Dadap yang menyaksikan semua yang terjadi itu dengan bulu tengkuk merinding. Anak celaka itu telah aku usir sore tadi…”

“Kurang ajar! Kalau begitu keponakan mu telah menyeret hingga dengan terpaksa dia datang ke tempat ini!”

“Saya tidak tahu menahu mengenai persoalan itu Ki Demang…”

“Kau dusta!”

“Plakkk!” Demang Wiryoboga menampar pipi kanan Ki Dadap hingga orang ini terpekik kesakitan.

Suara pekikannya itu mengejutkan Sulastri. Anak ini berpaling. Demang Wiryoboga segera memerintahkan Lampitan untuk menangkap anak itu. Ketika Lampitan keluar dari balik semak-semak dan Sulastri melihatnya, anak perempuan ini sementara melarikan diri. Tapi sebentar saja dia segera terkejar dan dipegang oleh Lampitan. Sulastri berteriak-teriak ketika dipanggul dan dibawa ke tempat ayahnya.

“Ki Demang… anak ini sepertinya kerasukan dedemit penghuni Lemah Cengkar. Saya merasakan Sulastri keluarkan keringat dingin. Pertanda memang ada roh jahat yang masuk dalam tubuhnya…” berkata Lampitan.

Padahal keringat dingin itu adalah karena rasa takut yang kemudian ditambah pula dengan air hujan rintik-rintik yang membasahi Sulastri. Demang Wiryoboga percaya saja pada kata-kata jagabayanya itu.

“Manusia bernama Dadap ini tidak ada gunanya dibiarkan hidup. Hutangnya tak pernah dilunasi sejak tiga bulan ini. Lebih dari itu dia ikut menjadi biang kerok keanehan yang dialami anakku, bunuh dan kuburkan dia disini”

“Apa yang hendak kalian lakukan, terhadapku?!”

Sebagai jawaban Demang Wiryoboga mendorong tubuh Ki Dadap hingga orang ini jatuh terkapar di tanah. Ki Dadap berteriak keras. Dalam keadaan kedua tangan terikat tidak mungkin baginya untuk melarikan diri. Apalagi saat itu Demang Wiryoboga telah menghunus kerisnya. Lalu dengan cepat menikam dada Ki Dadap. Ujung keris itu menikam dengan telak lalu menggapai jantung. Tubuh Ki Dadap mengejang, matanya membeliak liar. Darah muncrat dari luka di dadanya. Menyembur keluar bercampur dengan air hujan yang menggenang.

Tanpa rasa berdosa sedikitpun Demang Wiryoboga mencabut keris dari dada ki Dadap. Lalu menyeka darah yang belepotan di keris menggunakan ujung baju. Sulastri yang ketakutan melihat kejadian itu jatuh pingsan dalam dukungan ayahnya!

“Gali lubang dan masukkan mayat Dadap. Timbunkan tanah cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum ada orang datang!” perintah Demang Wiryoboga.

Dua anak buah Lampitan segera menimbun liang kubur. Tak lama kemudian orang-orang itu lompat meninggalkan pekuburan menaiki sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda.

Hanya beberapa saat setelah orang-orang itu berlalu dan lenyap di kegelapan malam, tiba-tiba dari balik serumpunan semak belukar melompat keluar sesosok tubuh. Yang melompat ini ternyata seorang remaja tanggung dan bukan lain adalah Gading, keponakan Ki Dadap.

“Paman…! Paman…!” pekik Gading seraya lari menghambur menuju gundukan tanah merah dimana pamannya dibunuh secara keji lalu ditimbun.

Gading jatuhkan diri di atas tanah merah, menangis terisak memanggil pamannya. Panggilannya yang mengenaskan itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Suaranya lenyap ditelan hembusan angin sementara hujan gerimis mulai deras. Gading tak menyadari berapa lama dia berada di pekuburan itu. Ketika pakaian dan tubuhnya basah kuyup dan rasa dingin mencucuk tulang-tulangnya, perlahan-lahan anak ini berdiri lalu melangkah pergi sambil terus menangis.

Keesokan paginya Kademangan Kedungtuban menjadi gempar. Di dalam dan di luar rumah Ki Dadap banyak orang berkerumun. Istri Ki Dadap menangis sambil memeluk keponakan lelakinya yang kelihatan berwajah pucat dan pakaian kotor penuh lumpur serta basah. Pada orang-orang yang ada di situ diceritakannya apa yang telah terjadi yakni sesuai dengan apa yang dilihat Gading.

“Kakang Dadap dibawa! Sampai saat ini tidak kembali! Berarti apa yang dikatakan keponakanku ini benar. Kakang Dadap dibunuh dan dikubur di Lemah Cengkar…! Dibunuh oleh Demang Wiryoboga dan pembantu-pembantunya…!” Begitu istri Ki Dadap berucap diantara tangisnya yang memilukan.

Seorang lelaki separuh baya mendekati perempuan itu. Dia mengusap kepala Gading sesaat lalu berkata, “Nyai, cerita anak ini perlu diselidiki dulu. Apa yang dikatakannya memang begitu. Aku tak habis pikir bagaimana anak ini malam-malam pergi ke pekuburan lalu katanya dia…”

“Gading tidak dusta. Anak ini tidak pernah berdusta!” menyahuti istri Ki Dadap. “Malam tadi Lampitan dan dua orang anak buahnya datang kemari. Dia bicara membentak-bentak lalu memaksa Kakang Dadap mengikutinya mereka. Ternyata Kakang Dadap dibawa ke rumah Ki Demang Demang Wiryoboga. Disitu dia dipukuli lalu dibawa ke pekuburan Lemah Cengkar. Anak ini kemudian menyaksikan pamannya dibunuh, ditikam dengan keris lalu dikubur…!”

Lelaki separuh baya itu menundukkan kepalanya lalu bertanya pada Gading, “Gading kau tidak berdusta. Benar bahwa kau melihat pamanmu dibunuh dan dikubur…?” Gading menganggukkan kepala lalu memeluk bibinya erat-erat. Keponakan dan bibi itu kemudian sama-sama bertangisan.

Seorang lelaki berpakaian biru gelap menyeruak diantara orang banyak. Dia adalah Suto Lumpang bekel kademangan Kedungtuban. Melihat kemunculan bekel itu tangis Nyai Rukmi semakin keras.

“Tenang Nyai… Tenang. Hentikan tangismu…” berkata Suto Lumpang. “Dari orang-orang di luar rumah aku mendengar bahwa suamimu dibawa oleh kaki tangannya Ki Demang Wiryoboga. Lalu anakmu katanya melihat ayahnya dibunuh dan dikubur di Lemah Cengkar tadi malam. Apa semua itu betul adanya, Nyai…?”

Nyai Rukmi mengangguk.

Suto Lumpang termenung sejurus. Lalu dia berkata, “Ini bukan urusan kecil Nyai. Jika kau menuduh Ki Demang Wiryoboga telah membunuh suamimu maka tuduhan itu harus ada buktinya…”

“Arya Gading yang menyaksikannya!. Dia melihat sendiri pamannya dibunuh dengan cara dipukul menggunakan kayu. Ki Demang Wiryoboga yang melakukan itu. Lalu Ki Jagabaya memendamnya dalam tanah…”

“Kesaksian anak ini sulit dijadikan pegangan. Apa lagi menurut desas desus penduduk kademangan bahwa Gading memiliki hubungan khusus dengan putri satu –satunya Demang Wiryaboga. Namun, Ki Demang tidak suka dengan hubungan itu…” ujar Ki bekel.

“Kalau tidak percaya…” tiba-tiba Gading membuka mulut, dengan gemetar “pergi saja ke Lemah Cengkar! Bongkar kuburan itu. Pasti mayat paman akan kalian temukan!”

Semua orang yang ada disitu sama tergerak hati mereka dan sama- sama mengeluarkan ucapan setuju. Mereka mendesak agar Suto Lumpang sendiri yang memimpin perjalanan dan penyelidikan ke pekuburan Lemah Cengkar.

“Ah ini urusan semakin rumit dan bisa menjerumuskan aku!” kata Suto Lumpang dalam hati sambil mengusap dagunya.

Hati kecilnya diam-diam mempercayai apa yang terjadi. Namun karena urusan ini terkait dengan nama Demang Wiryoboga. Demang kaya raya sekaligus memiliki kekuasaan besar karena hubungannya yang sangat erat dengan salah satu petinggi di Kadipaten Jipang mau tak mau bekel itu merasa tidak tenang.

Suto Lumpang berpaling pada orang banyak lalu berkata, “Baik, kalian pergi saja dulu ke pekuburan Lemah Cengkar. Aku patut memberi tahu urusan ini pada Ki Demang Wiryoboga. Aku nanti akan menyusul ke pekuburan…”


Kidung Diatas Tanah Jawi

Kidung Diatas Tanah Jawi

Score 8
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Setelah kerajaan Demak semakin suram dan tinggal menunggu tenggelam dalam timbunan sejarah. Munculah kerajaan baru di atas tanah Jawa, kerajaan itu bernama Pajang rajanya adalah menantu Sultan Trenggono sendiri. Raja Demak yang terakhir. Pada masa mudanya dia terkenal dengan nama Joko Tingkir dan setelah menjadi raja beliau bergelar Sultan Hadiwijoyo. Seluruh pusaka kerajaan Demak akhirnya diboyong ke Pajang. Wahyu keraton sudah berpindah tangan. Sebagai pembuktian dirinya sebagai raja yang besar dan kuat Sultan Hadiwijoyo mengerahkan bala pasukannya dengan kekuatan empat puluh ribu prajurit yang terlatih.Pajang mulai menyerbu kerajaan –kerajaan di Jawa Timur. Sultan Hadiwijoyo sendirilah yang memimpin pasukan. Beliau duduk di atas punggung gajah perang yang diberi nama Kyai Liman sambil tangan kanannya mencengkeram tombak pusaka Kyai Pleret. Beliau didampingi oleh para panglima perang yang tangguh seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Mertani, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilomerto, Tumenggung Cokroyudo, Tumenggung Gagak Seta dan para wiratamtama prajurit Pajang yang bilih tanding.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset