My Class Must be Perfect ! Episode 2

what a wonderful class ! suck !

“Selamat Pagi anak – anak !!!” aku mencoba menyapa murid – murid ku dengan suara yang cukup lantang saat pertama kali masuk ke kelas. Tapi ternyata, hanya ada dua anak di dalam kelas. Sisa 28 anak kemana? Aku langsung terdiam. Aku langsung teringat kata – kata pak Kirun saat memberi tugas ini kepadaku.

“tugas kali ini lumayan berat, dek. Karena kelas yang akan kamu ajar bukan kelas dengan anak – anak yang biasa.” Ujar Pak Kirun sambil memegang pundakku. “usahakan yang terbaik. Tapi memang kalau kamu menyerah, tolong kabari bapak.”

Menyerah? Tidak ada dalam kamusku kata “menyerah.” Bahkan hidup di penjara selama 15 tahun tidak membuatku menyerah. Tidak mungkin sekelompok anak – anak SMA dapat membuatku menyerah. Saat dulu pertama kali aku mengajar, Pak Kirun sudah memperingatkan untuk tidak terlalu keras kepada anak – anak yang aku ajar. Pak Kirun tahu tentang latar belakangku sebagai mantan narapidana. Ia sedikit khawatir jika sifat pemarahku muncul saat aku menangani anak – anak didikku yang bermasalah. Aku sendiri belum yakin apa bisa aku mengendalikan amarahku. Bayang – bayang kejadian pembunuhan kakak iparku olehku sendiri muncul secara tiba – tiba di pikiranku. Saat itu amarahku memang sedang memegang kendali penuh atas tubuh dan pikiranku. Untungnya, selama ini aku masih bisa mengatur amarahku. Jika ada anak yang memang sangat susah untuk diatur atau dinasehati, yang bisa kulakukan hanya tersenyum. Setelah kelas berakhir, aku masuk ke dalam kamar mandi dan menghantamkan tinjuku pada dinding kamar mandi yang tak bersalah.

“nama kalian berdua siapa?” tanyaku kepada dua anak yang ada di dalam kelas tersebut. “teman – teman yang lain kemana?”

“nama saya Riska kalo dia, Meidi. Anak – anak yang lain belum datang, Pak.” Ujar dua anak tersebut. Aku sangat terkejut dengan keadaan kelas ini. Sudah pukul setengah delapan dan hanya dua anak yang masuk kelas. Aku sendiri, selama mengajar di SMP, tidak pernah sekalipun mengunjungi gedung SMA karena memang letaknnya lumayan jauh dari gedung SMP. Selain itu, aku juga tidak punya urusan sama sekali di SMA. Jadi, sangat wajar kalau aku buta tentang aturan – aturan di SMA ini.

“apa memang aturannya longgar seperti ini? Sepertinya, hanya kelas ini yang berbeda. semua kelas sudah terisi penuh dan siap menerima pelajaran.” Pikirku dalam hati. Entah kenapa aku jadi sedikit emosi. Saat aku berusaha untuk tepat waktu, malah murid – murid yang tidak tepat waktu.

“ya sudah, kita tunggu saja.” Ucapku pada kedua anak yang ada di kelas tersebut. Mereka hanya mengangguk lirih.

Tak lama kemudian, beberapa anak masuk ke kelas. Kebanyakan dari mereka adalah laki – laki. Tapi, aku kesulitan untuk membedakan jenis kelamin mereka karena hampir semuanya berambut panjang. Ada yang berambut pendek, tapi hanya satu atau dua orang. Dari dandanan mereka, aku bisa menyimpulkan kalau mereka adalah pembuat onar, entah hanya di kelas ini atau di seluruh sekolah. Semua anak itu tidak ada yang menggunakan atribut sekolah lengkap. Seragam mereka tidak ada yang rapi masuk ke dalam celana. Yang mereka bawa hanya lah tas kecil yang mungkin hanya muat untuk satu buku. Jumlah mereka, tepat 12 anak. Jadi sekarang sudah ada 14, tinggal 16 anak lagi. Aku hanya memandangi mereka tanpa berbicara satu katapun. Kelas ini berisi orang – orang yang hampir sama dandanannya dengan orang – orang yang kutemui di penjara. apa – apaan ini? Kelas macam apa ini? Saat 12 anak tersebut melewatiku, mereka semua menatapku dengan tatapan sinis. Mereka sepertinya tidak suka dengan adanya aku sebagai guru mereka disini. Mungkin juga mereka dipaksa masuk oleh seseorang di luar karena aku sudah masuk kelas. Kemungkinan besar, mereka marah padaku. Sempurna!

“oke, kenalkan nama saya Sandy, saya guru bahasa inggris untuk persiapan ujian nasional kalian.” Ujarku lantang setelah semua anak duduk pada tempatnya masing – masing. “saya sebenarnya sedikit kecewa dengan kalian yang datang terlambat.”

Pandanganku beredar dari satu anak ke anak lainnya. Tampaknya, mereka sama sekali tidak mendengarkan apa yang aku katakan. Mereka sibuk dengan teman mereka, aksesoris – aksesoris pada tubuh mereka, dan juga ponsel mereka. Tidak ada yang melihat ke arahku kecuali dua orang, Riska dan Meidi. Sabar, itu yang harus kulakukan. Aku selalu mencoba mengingat kata – kata Pak Kirun tentang larangan untuk terlalu keras pada murid. Aku mencoba berjalan menuju ke salah satu murid laki – laki.

“siapa nama kamu?” tanyaku pada anak laki – laki yang rambutnya panjang sebahu. Matanya tertutup sebelah karena poninya terlalu panjang.

Aku ulangi sekali lagi pertanyaanku. tetap dengan nada yang datar. “siapa nama kamu?”

“apa?? Saya pak?? Bapak tanya siapa nama saya?” tanyanya sambil tertawa kecil. Ia menyibak poni yang menutupi matanya. Wajahnya penuh dengan luka bekas jerawat. Tidak terlalu sedap dipandang. “nama saya Ali, Pak.”

“oke Ali…teman – temanmu yang 16 anak dimana?” tanyaku lagi. aku pikir mereka pasti tahu dimana teman – teman mereka yang lain, yang mungkin tidak kalah menjengkelkannya berada.

Ali hanya diam. Poni rambutnya yang panjang kembali menutupi wajahnya. Aku sedikit salah tingkah saat pertanyaanku tidak dijawab olehnya. Aku pun kembali ke depan kelas. Aku mencoba melihat daftar absensi kelas ini. Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Waktuku sudah habis dan aku bahkan belum memberikan materi apapun. Tiba – tiba, muncul beberapa anak yang dandanannya tidak jauh berbeda dari yang sebelumnya. Seragam mereka lusuh dan beberapa ada yang copot kancingnya. Lebam terlihat hampir di seluruh wajah anak – anak tersebut. Ada beberapa anak yang pada seragamnya terdapat noda – noda merah kehitaman. Darah? Aku bahkan tidak berani membayangkan kalau itu darah.

Di penjara, aku terbiasa melihat darah dan juga luka lebam karena memang setiap hari di penjara selalu ada perselisihan. Tapi itu penjara, aku tidak mengerti kenapa anak – anak ini membuat kelas yang aku ajar sekarang menjadi seperti penjara. ada apa dengan anak – anak ini? Seorang anak perempuan yang rambutnya berantakan mendatangiku. Ia terakhir masuk ke kelas. Wajah manisnya juga penuh dengan lebam disana – sini. Di beberapa bagian di lengannya ada sedikit luka robek yang terlihat masih mengucurkan darah, namun Ia tutupi dengan jaket yang ia bawa. Seragamnya penuh dengan kotoran dan bercak merah kehitaman.

“maaf pak, kami terlambat!” ujarnya dengan suara yang sedikit lantang. Ia langsung menuju ke tempat duduknya. Aku mencoba memandang mereka yang baru datang satu persatu. Aku mencoba memahami keadaan mereka dalam diam. Tak ada senyum di wajah mereka. Yang ada hanya lah pendar amarah yang masih belum reda. Beberapa anak memandang balik diriku dengan tatapan yang sinis. Ada juga beberapa yang memandangku dengan tatapan yang meremehkan.

“saya sebenarnya bingung dengan apa yang kalian telah lakukan. Ada yang bisa menjelaskan?” aku mencoba mengorek tentang apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. Ribuan pertanyaan melayang – layang di pikiranku. Setelah ini, akan banyak sekali pertanyaan yang akan aku tanyakan kepada Pak Kirun. Apa ini yang Ia maksud? Kelas yang berat?

Perempuan yang tadi meminta maaf kepadaku langsung menyahut, “mending bapak gak usah tahu, deh. Nggak penting, Pak.”

Ia berkata seperti itu tanpa memandang wajahku. Ia hanya sibuk dengan luka – luka di lengannya. Kata – katanya membuatku sedikit marah, namun aku tetap harus sabar. Aku mendatangi tempat duduk anak perempuan tersebut.
“bisa lebih sopan sedikit?” ujarku kepada anak perempuan tersebut. Ia masih saja sibuk dengan luka – lukanya. Ia menganggap aku tak ada. Saat mengajar kelas di SMP, tidak ada satupun muridku yang seperti ini. Walaupun mereka rata – rata sangat menjengkelkan, tapi mereka masih bisa menghormati guru mereka. Paling tidak, mereka menganggap guru tersebut ada di kelas.

“oke…” aku berusaha menahan emosiku. “saya tidak tahu apa yang terjadi dengan kalian. Yang jelas, waktu saya sudah habis disini tanpa memberikan materi apa – apa kepada kalian. Saya hanya menunggu kalian selama dua jam ini.” Ujarku dengan nada yang sedikit tinggi. “saya berusaha tepat waktu tapi kalian malah terlambat. Ditambah lagi sikap kalian yang sangat tidak sopan.”

Tampaknya, kata – kataku tadi tidak ada yang berpengaruh untuk anak – anak tersebut. Walaupun tidak terlalu gaduh, tapi mereka juga tidak memperhatikanku. Mereka sibuk dengan kegiatan mereka sendiri.

“oke kalau begitu, sampai ketemu minggu depan. Semoga kalian tidak terlambat lagi.” aku sedikit berharap walaupun mungkin itu hanya harapan kosong. Setelah ini, aku harus bertemu dengan Pak Kirun. Kelas ini membuatku gila!


My Class Must be Perfect !

My Class Must be Perfect !

Status: Hiatus Tipe: Author: Dirilis: 2013 Native Language: Indonesia
Namaku Sandy, lebih lengkapnya Sandy Pratama. Tapi orang lebih mengenalku sebagai Sandy si sadis atau Sandy pembunuh. Aku memang belum lama ini keluar dari penjara setelah harus mendekam di dalam tempat yang mengerikan tersebut selama hampir 15 tahun. Kejahatan yang kulakukan? Membunuh kakak iparku sendiri. Keluar dari penjara aku langsung menemui istriku, atau lebih tepatnya mantan istriku; Yurika. Kami sudah menikah cukup lama tapi belum juga dikarunai momongan sampai akhirnya kegiatan membuat momongan pun terhenti selama aku berada di penjara. Yurika sangat jarang menjengukku saat aku masih di penjara,entah karena malu atau alasan lainnya."kamu mau jadi guru, San? Kamu sarjana kan?” tanya Pak Parjo saat kami berdua dan beberapa orang lainnya sedang melakukan ronda keliling kampung.“kalau memang ada, ya saya mau, Pak. Tapi…apa ada yang mau sama mantan narapidana seperti saya ini?” aku sedikit kurang percaya diri. Dalam banyak kasus, mantan narapidana sangat susah untuk mendapatkan tempat kembali di tengah masyarakat.Yuk baca kelanjutan keseruan kisah Sandy si pembunuh yang akan menjadi guru.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset