Pelet Hitam Pembantu episode 11

Chapter 11

“Hehehe….itulah balasan bagi orang yang melawanku. Hehehehe…” gumam Bi War seraya berkacak pinggang. Sementara sebilah boneka jerami tergenggam cantik diantara jari-jarinya.

Tampak senyuman itu secara perlahan berubah menjadi seringai. Ya. Sebuah seringai kejam, dengan dipadu sorot mata merah haus darah.

“Bi War? Apa yang kamu lakukan Bi?” tanya Bu Medi seraya beringsut mundur. Tangannya berpegangan pada kaki meja. Masih nyeri dirasakannya akibat terjatuh tadi. Sementara gelas pecah tadi menyisakan luka sayat pada tangan kanannya.

Sosok itu, yang tak lain adalah Bi War, hanya tersenyum sinis, seraya tangannya terus saja menarik-narik ikatan tali pada boneka jerami ditangannya. Dan, semakin keras ia menarik tali itu, dirasakannya juga semakin sesak nafas dokter Sutawijaya.

“Ahkhkhkh! Tolong…tolong…jangan kau teruskan lagi. Aku tak kuat.” kata dokter Sutawijaya lemah.

“Hehehehe…. Tuan dan Nyonya. Kalian masih mau bermain-main denganku?” tanya Bi War seraya tetap menyeringai. Sesekali ditariknya sedikit kencang untuk memberi efek cekikan yang lebih dahsyat pada dokter itu.

“Ahkhkhkh!” jerit dokter itu lagi. Tampak semakin kesakitan.

“Jadi, apa yang bisa kalian lakukan lagi tuan-tuan?” tanya Bi War dengan suara datar.

Bu Medi beringsut mundur. Kecut nyalinya menyaksikan senyum Bi War. Senyum yang membawa aura buruk. Sementara di tangan kanannya, tampak berkali-kali disiksanya boneka jerami dengan jari jemarinya yang kasar.

“Apa kau mau juga nyonya? Merasakan kepala dipatahkan seperti ini?” ujar Bi War mengancam Bu Medi seraya memutar-mutarkan kepala boneka, membuat dokter Sutawijaya pun melakukan hal yang sama.

“Tidak! Tidak! Tolong ampuni kami! Tolong hentikan siksaan itu.”

Bi War mendekat. Disunggingkannya satu seringai dengan lebih lebar. Ditatapnya mata Bu Medi lekat-lekat.

“Hmmmm…. Jadi begitu ya?”

Dipalingkannya pandang pada dokter Sutawijaya yang tengah tergeletak tak berdaya seraya memegangi leher.

“Jadi, apa ada penawaran yang menarik untukku menghentikan siksaan ini?”

Keduanya diam. Tak tahu arah pembicaraan Bi War.

“Aha! Aku punya ide bagus. Bagaimana kalau kita berganti peran saja. Aku menjadi tuan rumah dan kalian menjadi pembantu?”

Tak ada jawaban.

“Sepakat?”

Bu Medi dan suaminya saling pandang. Sepertinya ada sesuatu yang disampaikan Bu Medi pada suaminya, namun berkali-kali suaminya menggeleng.

“Tidak Bu. Tidak!” ucap suaminya bersikeras.

“Tapi bagaimana lagi pak?” ucap Bu Medi cemas.

Bi War mondar-mandir di ruangan itu.

“Jadi bagaimana? Sudah ada kesepakatan di antara kalian?”

“Aku tidak sudi ada dibawah pengaruhmu! Wahai orang picik tak tahu balas budi!” hardik dokter Sutawijaya.

“Cuih!”

“Hmmmm… Jadi kau lebih memilih ini ya?” ujarnya seraya memelintir boneka jerami hingga hampir patah.

“Ahkhkhkh…..” kembali terdengar jerit kesakitan dokter itu.

Tiba-tiba Bu Medi maju dan bersujud dihadapan Bi War. Kedua tangannya tertelungkup di hadapan pembantunya.

“Ampun Bi. Ampun. Baiklah. Akan kami turuti semua permintaanmu. Tapi tolong, lepaskan suamiku. Tolong.” ucap Bu Medi memelas.

“Bu!” ucap dokter Sutawijaya lemah.

Bi War mengangkat dagu dengan pongah.

“Nah, begitu dong. Bukan dari tadi saja. Kan gampang. Tidak perlu aku menyiksa suamimu terlalu lama. Menyebalkan!” ujar Bi War senang, dan melemparkan boneka jerami itu di meja, membuat dokter Sutawijaya membentuk tembok hingga pingsan.

Namun, bersamaan dengan itu, sekonyong-konyong ditubruklah tubuh Bi War dengan sekuat tenaga oleh Bu Medi hingga tubuhnya terjungkal jatuh. Dan bukan hanya itu saja, kepalanya membentur lantai begitu keras hingga mengakibatkan pendarahan hebat.

“Brakkkk!”

“Aduh!” jerit Bi War keras seraya memegangi kepalanya yang bocor. Dirasakannya pening dan berkunang-kunang.

“Kurang ajar! Berani-beraninya kalian mempermainkan aku.” ujarnya geram seraya bersiap bangkit. Diambilnya sebatang balok kayu.

Dengan tertatih-tatih Bi War bangkit dan berniat untuk membalaskan dendamnya.

Namun terlambat. Dokter Sutawijaya sudah bangkit lebih dulu dan mengambil sepotong besar balok kayu, dan serta merta dihantamkan pada kepala Bi War sehingga tubuhnya kembali terjatuh.

“Bukk!”

“Brakk!”

Dan pingsan.

“Ambil tali Bu. Kita umat dia!” kata dokter Sutawijaya pada istrinya, yang bergegas menuruti perintah suaminya.

“Halo!” ujar Andri sepulang dari taman dengan Melati menggelayut manja pada pundaknya.

Namun tak ada jawaban. Masing-masing diam dengan pikirannya.

Melati kaget mengetahui kondisi rumah yang berantakan. Apalagi dengan kondisi ibunya yang dalam keadaan terikat ke kursi kayu dalam keadaan pingsan.

“Ambu? Apa yang terjadi Ambu?” tanya Melati seraya menghambur ke pelukan ibunya. Kondisinya saat ini dengan didudukkan di kursi jati dengan tangan terikat ke belakang. Tampak benar seperti seorang pesakitan.

Bi War terbangun mendengar suara Melati. Matanya terbuka sedikit. Ditatapnya kondisinya yang menyedihkan.

“Ada apa Ambu? Ada apa?”

Dengan wajah marah, Bi War berseru.

“Tanya saja pada mereka Melati?” ujar Bi War ketus.

“Ada apa ini pak? Bu? Kenapa Ambu diikat sedemikian rupa? Apa kesalahan beliau?!” tanya Melati marah. Air matanya tumpah.

Bu Medi mendekat, dan dengan sedikit pelukan dia berkata,

“Nggak apa-apa Melati. Biarkan nanti hukum yang berbicara.”

Dienyahkannya tangan Bu Medi dari punggungnya. Lalu ia berseru dengan galak,

“Kalian jahat! Kalian berusaha memisahkan kami. Apa kesalahan kami? Ada apa?!”

“Ada apa Ambu? hiks hiks hiks…”

Melati kembali terisak-isak. Matanya sembab oleh air mata.

“Biarkan Melati! Kali ini kita kalah. Tapi jangan harap kalian bisa hidup tenang.” ucap Bi War tegas. Tetap pongah dalam kondisinya.

“Ambuuu…huhuhuuuu…ambuuu….” Isak Melati seraya terus memeluk ibunya.

“Kau dengarkan Sutawijaya! Biarpun aku nanti kalah dan mati, namun anakmu tetap milikku. Tak kuizinkan ia menikah dengan orang lain. Andri milik Melati anakku!” kata Bi War tegas dengan mata berapi-api, sementara dokter Sutawijaya hanya tersenyum saja menanggapinya.

Disaat yang sama, datang setombongan polisi untuk menjemput Bi War. Dokter Sutawijaya sudah melaporkan perihal kejadian yang menimpa tukang-tukang itu.

“Selamat sore Pak!”

“Kami dari pihak kepolisian sudah menerima laporan bapak. Dan siap menjemput tersangka.” ujar kepala polisi.

“Baik pak. Tersangka sudah diikat. Silakan dicek kondisinya.” ujar dokter Sutawijaya menunjukkan kondisi Bi War.

“Untuk barang bukti silakan dicari. Korban ada di teras depan.”

“Jadi, kita bawa sekarang ya pak. Biar terduga pelaku dan barang bukti kami amankan di kantor polisi. Terima kasih atas kerjasamanya.” ucap kepala polisi itu ramah.

“Iya pak. Sama-sama. Terima kasih juga atas bantuannya.

Dilepaskannya ikatan Bi War pada kursi kayu, dan siap untuk dibawa ke kantor polisi. Namun, disaat Bi War dilepaskan dari tali, tiba-tiba saja direbutnya pistol dari pinggang polisi itu dan ditembakkan membabi buta ke segala arah.

” Dar, Dar, Dar!”

Total enam peluru diedarkan ke segala arah.

Tak urung petugas kepolisian yang tak menyadari kejadian itu langsung tewas tertembus peluru senjatanya sendiri. Begitu juga dokter Sutawijaya yang terkena tepat di pelipisnya, hingga tewas saat itu juga, setelah mengejang beberapa kali.

Namun untung, dengan satu gerakan sempurna, sebelum petugas itu roboh, dia dengan sigap sudah menendang kaki Bi War dengan keras, sehingga tubuhnya terpelanting menghajar tiang besi dan tewas seketika dengan luka besar menganga akibat tertimpa pecahan kaca dari almari yang pecah terkena tembakan Bi War.

“Pak! Pak! Bangun Pak!” ujar Bu Medi seraya memeluk tubuh suaminya yang bersimbah darah. Sementara suaminya hanya tergeletak lemah dengan dada berlubang.

“Panggil ambulans!” seru petugas polisi lainnya.

“Ambu!” Melati berseru melihat kondisi ibunya yang tewas mengenaskan. Kepalanya pecah. Darah berhamburan. Sekujur tubuh ibunya penuh berlumuran darah.

“Kalian! Kalian kejam! Kalian telah membunuh ibuku. Kalian harus merasakan pembalasanku.” ucap Melati dengan air mata mengalir deras.

Cepat diambilnya pistol yang tergeletak di samping ibunya.

Disaat itu, tiba-tiba Andri muncul dari pintu depan. Baru pulang dari rumah temannya. Dia heran dengan kondisi rumah yang berantakan. Ditambah beberapa mayat di teras. Juga rombongan polisi.

“Ada apa ini pak?” tanyanya heran.

Didekatinya Melati yang berdiri memegang senjata api.

“Melati! Ada apa ini?”

Menyadari kehadiran Andri, membuat Melati makin kalap.

“Kebetulan kau datang Andri! Nah, bersiaplah untuk kalian mati sekarang!”

Andri terhenyak dengan kata-kata Melati.

“Melati?!”

Apa yang akan dilakukan Melati? Apakah dia akan melakukan pembunuhan juga seperti ibunya?


Pelet Hitam Pembantu

Pelet Hitam Pembantu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Sekonyong-konyong sebuah tas pakaian besar sarat isi menimpa tubuh mungil wanita berambut sebahu itu. Tak dikancingkannya retsleting dengan benar, hingga sebagian isinya berhamburan keluar."Aduh!"Wanita itu urung menutup wajah dan tubuhnya dari lemparan tas besar, hingga sempat mengenainya dan membuat tubuhnya tampak sesaat limbung, dan kemudian terjatuh duduk dengan lutut menghantam aspal jalanan.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset