Pelet Hitam Pembantu episode 51

Chapter 51

Pemakaman Isma dilakukan sangat sederhana. Jauh dari kata mewah sebagaimana biasanya ia selama masih hidup dulu. Tak ada saudara, tak ada kerabat yang mengantar. Juga tak ada do’a pelepasan sebagaimana layaknya seorang muslim dikuburkan. Hanya tiga orang berpakaian APD dari rumah sakit. Memakai baju anti bakteri, lengkap dengan maskernya. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, tak sedikitpun di makamnya tertulis nama lengkapnya, Isma Almayanti. Nama yang begitu indah akhirnya harus dilupakan begitu saja tanpa sedikitpun kenangan.

“Hhhhhhhhhh….” desah Wisnu seraya mengusap air mata dengan punggung tangannya yang kotor oleh debu.

Wisnu hanya bisa mengintip dari kejauhan. Sungguh pun ingin ia melepas kepergian kekasihnya untuk yang terakhir kalinya, tapi urung dilakukannya. Perbuatannya tempo hari di rumah sakit membuatnya menjadi buron. Ia telah menyebabkan banyak orang tewas mengenaskan; dokter Joko yang terlepas jantungnya, beberapa polisi yang tewas dengan dada geroak menyeramkan, juga ada yang patah lehernya, bahkan hilang alat kelaminnya.

Dan yang lebih parah lagi, itu semua dilakukan bukan atas kesadarannya. Tapi akibat mahluk yang bersarang pada tubuhnya. Sebenarnya ia tahu bahwa ia yang melakukannya, namun ia sama sekali tak punya kuasa atas dirinya. Semua terjadi begitu saja tanpa bisa ditahan olehnya. Seolah kesadarannya sia-sia saja.

“Astaghfirullah hal adziim…” kepalanya pening memikirkan itu. Pikirannya kali ini benar-benar buntu. Permasalahannya kali ini sungguhlah pelik.

Ratusan polisi setiap hari menyisir keberadaannya selama dua puluh empat jam. Setiap sudut kota Jakarta menjadi sasaran pencarian. Tak ada tempat yang terlewat. Rumahnya yang biasanya menjadi tempat ternyaman baginya kini tak lagi aman. Begitu juga rumah Isma ataupun tokonya. Tak sekalipun ia berani mendekati ataupun menyentuhnya. Kedua tempat itu akan menjadi neraka baginya jika saja ia berani menampakkan diri. Entah sampai kapan.

Memang, dalam keadaan berubah, ia sama sekali tak terpengaruh atas tajamnya peluru maupun panasnya api. Bahkan tak ada sedikitpun rasa sakit maupun luka yang bakal menderanya. Namun berbeda dengan kondisi normal seperti saat ini. Ia masih berlaku sebagaimana manusia normal lainnya. Mudah terluka dan berdarah.

Kini, untuk menghindar dari kejaran mereka, terpaksa Wisnu harus hidup berpindah-pindah tempat. Selalu dipilihnya tempat yang sunyi sepi agar terhindar dari incaran mereka. Kuburan salah satunya. Atau kadang kala terpaksa ia menyamar menjadi gembel agar tetap aman selama persembunyian.

Namun kini, rasa itu tak dapat lagi dipendamnya. Ia ingin untuk terakhir kalinya bisa melihat wajah cantik kekasihnya. Ingin untuk terakhir kalinya menyaksikan tubuh itu. Ia telah siap untuk mengorbankan segalanya. Bahkan jika nyawa sekalipun sebagai pembayarannya.

Dan ia sudah menyiapkan strategi jitu untuk itu.

Maka, tepat malam hari setelah penguburan itu, dengan mengendap-endap Wisnu masuk komplek pekuburan setelah sebelumnya sudah dipastikan kondisi aman. Ditengoknya kanan kiri untuk memastikan keadaan, sebelum akhirnya ia beranjak masuk dengan hati-hati.

Namun, belum juga lima langkah kakinya masuk, ia terperanjat saat dilihatnya sesosok mahluk mengerikan sedang mengawasinya seraya duduk di salah satu pemakaman. Rambutnya panjang riap-riapan. Matanya bulat dan menyala merah. Sementara tubuhnya yang besar tinggi tampak menyeramkan dengan seluruh tubuhnya yang berbalut bulu lebat berwarna hitam kelam. Sesekali terdengar gerengan lirih dari mulut lebarnya.

“Drap drap drap!”

Wisnu terus saja melangkah dengan hati-hati. Saat ini baginya keberadaan manusia jauh lebih mengerikan daripada keberadaan mahluk lain. Ia harus betul-betul menjaga jarak dengan manusia. Ia tak ingin terlibat dalam kejahatan lagi. Ia tak ingin ada nyawa orang lain melayang lagi karenanya.

Tak dipedulikannya mahluk itu, yang terus saja mengawasi tanpa berkedip. Ia hanya punya satu tujuan; menemukan makam Isma dan membawanya pulang.

Sesaat ditengoknya areal pemakaman yang lebar itu. Dalam situasi malam begini, tak mudah baginya menemukan lokasi pemakaman yang tepat. Semua tampak sama.

Terus saja ditelusurinya areal pemakaman itu, hingga akhirnya dia kelelahan dan kebingungan mencari lokasi yang tepat.

Namun, begitu akhirnya dia ingat bahwa makam Isma terletak tak jauh dari pohon flamboyan yang miring ke kiri dengan dua cabang besar membentuk huruf ‘Y’, maka tak perlu ragu baginya untuk segera menuju lokasi yang tepat.

“Nah, ini dia.” gumamnya dengan suara optimis.

Ditengoknya kanan kiri untuk mencari alat penggalian yang tepat. Siapa tahu masih ada sekop atau cangkul yang berguna untuknya menggali makam.

Namun, sejauh matanya memandang, tak juga ditemukannya alat yang tepat. Hingga akhirnya …

“Ah, hanya ada rerumputan disini. Terpaksa…”

Digulungnya lengan baju hingga ke siku. Lalu dengan semangat empat lima segera saja tangannya menggaruk-garuk gundukan tanah merah yang berisi jasad Isma.

Mula-mula hanya pelan saja garukannya. Namun, semakin lama terasa semakin cepat dan bertenaga. Bahkan kecepatannya melebihi standar ukuran orang normal. Hingga akhirnya dalam waktu kurang lebih setengah jam, selesailah sudah kuburan Isma dibongkar. Sebuah kuburan berukuran dua ratus kali enam puluh sentimeter.

“Hhhhhhhhhh…”

Disekanya peluh yang membanjiri seluruh badannya. Sekujur badannya penuh oleh basahnya keringat dan kotor hitam tanah.

Tampak barisan papan coklat berbaris miring membentuk sudut enam puluh derajat menutup jasad mati yang terbujur kaku dibawahnya.

“Akhirnya…..” ucapnya seraya tersenyum puas.

Diangkatnya papan penutup jasad Isma satu persatu. Namun, belum juga selesai papan itu diangkat semua, tiba-tiba dirasakannya ada ‘sesuatu’ yang berbeda.

“Astaga…..”

Dilihatnya tubuh mati itu tertelungkup di bawah papan coklat kayu. Tak biasanya keadaan mayat begitu rupa. Biasanya mayat akan miring ke kanan. Namun tidak dengan mayat Isma. Seolah tubuhnya memang tidak diterima bumi. Tubuhnya tertelungkup mencium tanah, menyebabkan wajah itu kotor penuh tanah.

Dan lebih menyesakkan lagi, karena dari jenazah Isma itu tercium busuk dan bacin yang luar biasa. Bau busuk yang berasal dari lengan kirinya, yang mengeluarkan belatung menari-nari.

Terlihat noda basah dan anyir mengotori lengan kirinya. Tembus hingga kafan lapisan terluar, menyebabkan anyir dan busuk yang menyeruak hebat.

Wisnu membalikkan posisi tubuh Isma, yang terlihat meringis menahan sakit. Seolah memang sebelum kematiannya itu, Isma mengalami sakit yang begitu mendera. Sesaat Wisnu tak tega melihat kondisi kekasihnya itu.

“Bagaimana bisa wajahnya menahan sakit sampai begini? Apa karena lukanya? Atau karena darahnya yang berkurang banyak tanpa pasokan sebagaimana mestinya?” gumamnya pelan seraya menggeram.

Sesaat kemudian kembali dia teringat akan dokter itu.

“Ah, ini semua pasti gara-gara dokter itu. Kalau saja dokter itu tidak terlalu pelit memberikan darahnya, tak mungkin Isma akan mengalami nasib sedemikian rupa.”

“Dia membutuhkan pasokan yang cukup. Tidak cukup hanya lima ratus mili. Bagaimana mungkin ia tega memberi donor hanya segitu sedangkan ia tahu kebutuhannya lebih dari itu.”

“Tak bisa dibiarkan. Orang zalim dan orang jahat harus mendapatkan hukumannya. Ia harus ikut merasakan penderitaan itu. Harus!”

“Sumber kematian Isma adalah karena dokter itu kurang memberikan darahnya, sehingga Isma harus menanggung semua penderitaan ini.”

Tampak kemarahan menguasai dirinya. Rahangnya menggembung, seluruh jari tangannya terkepal.

“Brakkk!!”

“Dia harus mendapatkan hukuman setimpal!”

“Arghghgh!” geramnya seraya memamerkan barisan gigi runcingnya.

Seketika tubuhnya menegang. Membesar tinggi, dan mulai menampakkan tanda-tanda bertransformasi.

“Dokter! Khaaaauuuu…haruuussss merhashakhann akhibhatnyhaaaaaahhhh…..”

“Arghghgh!”


Pelet Hitam Pembantu

Pelet Hitam Pembantu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Sekonyong-konyong sebuah tas pakaian besar sarat isi menimpa tubuh mungil wanita berambut sebahu itu. Tak dikancingkannya retsleting dengan benar, hingga sebagian isinya berhamburan keluar."Aduh!"Wanita itu urung menutup wajah dan tubuhnya dari lemparan tas besar, hingga sempat mengenainya dan membuat tubuhnya tampak sesaat limbung, dan kemudian terjatuh duduk dengan lutut menghantam aspal jalanan.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset