Pendekar Cinta dan Dendam episode 10

Chapter 10

Dengan mesranya, Lian menatap wajah kekasihnya itu. Walau belum puas menikmati kecantikan wajah Li Jia, tetapi dia harus menutupi wajah cantik kekasihnya itu agar orang tidak mengenalinya.

“Aku harap wajahmu tidak akan kamu perlihatkan pada lelaki lain. Cukup aku saja yang menikmati kecantikan wajahmu ini,” ucap Lian sambil mengelus lembut wajah kekasihnya itu. Gadis itu tersenyum dan segera menutup kembali wajahnya.

Li Jia menyandarkan punggungnya di dada bidang kekasihnya saat kuda yang ditunggangi perlahan meninggalkan tempat itu. Sementara Lian, hanya bisa tersenyum melihat tingkah kekasihnya yang manja.

Setelah berjalan beberapa meter, mereka tiba di area pasar yang terlihat ramai. Dari atas kuda, Lian memerhatikan setiap para pedagang yang menjual anting dan tusuk rambut yang menarik perhatiannya, hingga dia berhenti di depan salah satu pedagang.

“Kamu mau apa?” tanya Li Jia saat melihat Lian melompat turun dari atas kuda. Lian hanya tersenyum padanya dan melangkah menuju pedagang itu. Dilihatnya sepasang anting serta tusuk rambut dan menunjukkannya pada Li Jia. Gadis itu mengangguk sembari tersenyum. Setelah membayar, Lian kembali naik ke atas punggung kuda dan memberikan sepasang anting dan tusuk rambut itu kepada Li Jia.

“Pakailah anting dan tusuk rambut ini saat kita berjalan-jalan nanti,” bisik Lian lembut. Li Jia menerima pemberiannya itu dengan perasaan haru.

“Terima kasih. Aku pasti akan memakainya untukmu,” ucapnya dengan senyum. Mereka lantas kembali ke Rumah Pelangi.

Baru saja sampai di Rumah Pelangi, mereka bertemu dengan Liang Yi yang sudah menunggu sejak tadi. Dia datang atas perintah Pangeran Wang Li.

“Liang Yi, apa maksud semua ini?” tanya Li Jia saat melihat pemuda itu datang dengan membawa beberapa hadiah dari Pangeran Wang Li.

“Ini hadiah dari pangeran dan kamu diminta datang ke paviliun sekarang juga,” jawab Liang Yi.

“Baiklah, aku akan ke sana dan meminta penjelasan darinya. Ah, aku tidak butuh hadiah darinya.” Li Jia lantas masuk ke kamar untuk bersiap.

Waktu itu, Li Jia sempat berpikir untuk dekat dengan pangeran agar bisa meminta tolong mencari tahu tentang pembantaian di desanya. Namun, seiringnya waktu dia sudah tidak memikirkan hal itu lagi. Dia akan melanjutkan hidupnya bersama Lian.

Dari balik tirai jendela kereta, Li Jia menatap Lian yang menunggangi kuda di sampingnya. Melihat pemuda itu, Li Jia tersenyum.

Sementara Lian, tidak pernah berpikir sedikit pun untuk meninggalkan Li Jia. Namun, kini hatinya tengah gundah karena Li Jia akan kembali di istana.

Melihat kedatangan Li Jia, Pangeran Wang Li tersenyum, tetapi tidak bagi gadis itu. “Pangeran, apa maksudmu membawakan hadiah sebanyak itu untukku? Aku tidak membutuhkannya,” ucap Li Jia tegas.

“Apa aku tidak bisa memberikan hadiah pada temanku sendiri? Li Jia, aku hanya ingin mengajakmu tinggal di sini dan menjadi pelayan pribadiku. Apa kamu keberatan dengan hal itu?”

Mendengarnya, Li Jia tidak terkejut karena hal itu sudah beberapa kali disampaikan oleh pangeran dan dia selalu menolak.

“Apa kamu serius hingga nekat mengajakku tinggal di istana dan menjadikanku sebagai pelayanmu?” tanya Li Jia yang membuat Pangeran Wang Li mengernyitkan alisnya.

“Kenapa? Apa kamu tidak mau tinggal di istanaku ini?”

“Aku berterima kasih karena kamu sudah berbaik hati padaku, tetapi aku tidak bisa menerima permintaanmu itu karena aku sudah mencintai seseorang dan dia tidak mungkin aku tinggalkan,” jelas Li Jia yang membuat Pangeran Wang Li merasa kecewa.

“Maksudmu, sekarang kamu sedang berhubungan dekat dengan seorang lelaki?” tanya Liang Yi yang seakan tidak percaya. Li Jia mengangguk pelan dan membuat Liang Yi tersenyum seakan tak percaya.

“Apa aku boleh tahu siapa lelaki yang sudah merebut hatimu itu?” tanya Liang Yi yang membuat Pangeran Wang Li memandanginya seakan itu adalah pertanyaan yang juga ingin dia tanyakan.

“Kalian tidak perlu tahu siapa dia. Namun, bagiku dia adalah lelaki yang baik. Lelaki yang mau menerimaku tanpa berpikir kalau aku hanyalah seorang wanita penghibur.”

Terlintas raut kekecewaan di wajah Pangeran Wang Li. Dia tidak menyangka, kalau Li Jia akan menolak permintaanya hanya karena seorang lelaki. Dan dia penasaran dengan sosok lelaki yang sudah membuat Li Jia jatuh cinta. Apa kehebatan lelaki itu hingga membuat Li Jia luluh padanya? Semua pertanyaan itu seakan mengganggu hatinya.

“Li Jia, apa kamu tahu hukuman bagi orang yang membantah perintah Pangeran?” tanya Liang Yi dengan wajahnya yang terlihat serius.

“Aku tahu. Karena itu, aku akan siap kalau Pangeran mau menghukumku. Aku akan terima,” ucap Li Jia sambil menundukkan kepalanya.

Mendengar perkataan Li Jia membuat Pangeran Wang Li mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak menyangka kalau gadis itu nekat menerima hukuman hanya karena seorang lelaki yang dicintainya. Rasa penasaran akan lelaki itu semakin mengganggunya dan membuatnya gelisah.

Dengan meminta Li Jia tinggal di istana, Pangeran Wang Li berharap bisa membuatnya semakin dekat dengan gadis itu karena dia merasa nyaman jika bersamanya. Namun, harapannya itu seketika musnah karena penolakan.

“Apa kamu tidak akan meyesal dengan keputusanmu itu?” tanya Pangeran Wang Li yang mencoba untuk membujuknya.

“Aku tidak akan menyesal karena aku sudah mempunyai tujuan hidup bersamanya. Kami akan tinggal di suatu tempat yang sangat indah dan kalian akan aku sambut jika nanti berkunjung ke sana.”

“Baiklah kalau itu maumu. Aku tidak akan memaksa. Seringlah mengabari kami dan semoga kalian berdua hidup bahagia,” ucap Pangeran Wang Li yang terlihat sedih.

“Terima kasih. Aku berhutang budi pada kalian berdua. Aku tidak akan melupakan kalian, karena kalian adalah sahabat-sahabatku,” ucap Li Jia sungguh-sungguh.

“Pergilah sebelum aku berubah pikiran,” ujar Pangeran Wang Li yang segera memalingkan wajahnya ke tempat lain.

Li Jia kemudian duduk bersimpuh di depan Pangeran Wang Li dan memberi hormat padanya. Setelah itu, dia pun pergi menemui Lian yang sudah menunggu di depan pintu ruangan itu.

“Aku tahu kamu diam-diam mencintainya. Walaupun kamu memaksanya untuk tetap tinggal di istana, ayahmu pasti tidak akan mengizinkan karena kamu akan menjadi raja dan akan memilih permaisuri yang sudah ditentukan olehnya,” jelas Liang Yi yang mencoba mengingatkan sahabatnya itu.

Mendengar perkataan Liang Yi membuat Pangeran Wang Li marah. Walau begitu, dia tidak melampiaskan kemarahannya pada sahabatnya. Dia marah karena dipaksa untuk memilih seorang istri untuk dijadikan permaisurinya dan itu pun atas pilihan ayahnya. Dia marah karena tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya pada Li Jia, tetapi malah membiarkannya pergi dengan lelaki lain.

Melihat sikap Pangeran Wang Li membuat Liang Yi paham. Dia tidak lagi bersuara dan memilih untuk diam. Walau dia tahu, hati sahabatnya itu sedang terluka.

Sementara Li Jia dan Lian telah meninggalkan istana. “Apa yang kamu katakan pada pangeran?” tanya Lian yang belum tahu apa-apa.

Li Jia menatapnya. “Aku menolaknya karena aku ingin tinggal denganmu,” jawab Li Jia. Sontak, Lian tersenyum.

“Apa itu benar?” tanya Lian ingin memastikan. Li Jia mengangguk. Lian lantas memeluk kekasihnya itu.

“Kita akan kembali ke Rumah Pelangi dan mengambil beberapa perhiasan yang bisa kita jual untuk membangun rumah di padang bunga. Nyonya juga tidak akan keberatan jika kita menikah,” ucap Li Jia.

“Apa itu benar? Apa Nyonya tahu hubungan kita?”

“Aku akan segera memberitahukannya,” ucap Li Jia yakin.

Benar saja. Saat Li Jia mengutarakan maksudnya pad Yi Wei, wanita itu terlihat bahagia. “Li Jia, aku harap kamu bahagia dan lupakan kenangan burukmu di masa lalu. Aku akan selalu berdoa untukmu.” Yi Wei lantas memeluknya. Wanita itu menangis karena gadis yang dirawatnya sejak kecil akan pergi.

“Terima kasih karena Nyonya sudah menjagaku selama ini. Aku berhutang budi pada Nyonya.” Kembali mereka berpelukan.

“Ambillah perhiasan ini. Anggaplah ini hadiah dariku. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk datang padaku. Rumah Pelangi akan selalu terbuka untukmu.”

Li Jia tersenyum dan menerima pemberian Yi Wei.

“Lian, berjanjilah padaku untuk menjaga Li Jia. Kamu pasti sudah tahu tentang masa lalunya, kan? Karena itu, jangan biarkan siapa pun menyakitinya. Aku percayakan dia padamu,” ucap Yi Wei pada pemuda itu.

“Aku berjanji akan menjaganya. Jangan khawatirkan hal itu. Nyonya, terima kasih.” Wanita itu mengangguk.

Dengan sedih, Yi Wei melepas kepergian mereka. Dia turut bahagia karena nasib baik ternyata masih berpihak pada gadis itu.

Dengan berbekal sekotak perhiasan pemberian Yi Wei dan sekotak perhiasan miliknya dirasa sudah cukup untuk membangun sebuah rumah.

“Lian, sebelum kita ke padang bunga, apa boleh kita ke desaku untuk melihat kuburan orang tuaku?” tanya Li Jia.

Lian tersenyum dan mengangguk. Walaupun mereka sudah pergi dari Rumah Pelangi, tetapi Li Jia belum membuka penutup wajahnya. Dia akan membukanya jika sudah tinggal berdua dengan Lian.

Hari hampir gelap ketika mereka sampai di desa. Desa itu itu terlihat hancur dan ditumbuhi rumput-rumput liar yang mulai meninggi. Li Jia berjalan menyusuri rumput-rumput liar dan mendapati gundukan tanah yang mulai ditumbuhi ilalang.

Di depan gundukan tanah itu, Li Jia duduk berlutut. Perlahan, air matanya jatuh. Dia teringat kembali masa-masa indah bersama orang tuanya dulu.

“Ayah, ibu, maafkan aku karena baru datang menemui kalian. Jangan khawatirkan aku karena aku tidak akan sendiri lagi. Aku janji akan hidup bahagia,” ucapnya dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. Lian kemudian mendekati gadis itu dan memeluknya.

“Aku akan membuatmu bahagia, aku janji,” ucap Lian sambil memeluknya. Li Jia bersandar di dadanya dan menangis di sana.

Mereka meninggalkan desa saat hari mulai gelap. Jarak dari desa ke padang bunga setengah hari perjalanan. Karena sudah malam, mereka memutuskan untuk bermalam di salah satu goa yang ada di dekat desa itu.

“Makanlah. Setelah itu, kamu harus tidur karena besok kita akan melanjutkan perjalanan.” Lian memberikan sepotong ubi jalar yang sudah dibakarnya pada Li Jia.

“Baiklah.” Li Jia menerima ubi jalar itu. Dia pun melahapnya.

Malam makin larut membuat Li Jia tidak mampu menahan rasa kantuk yang mulai mengganggunya. Dengan tubuh yang bersandar di bahu Lian, membuat gadis itu merasa nyaman dan terbawa ke alam mimpi.

Melihat Li Jia tertidur pulas, Lian tersenyum. Perlahan, kepala gadis itu diletakkan di atas pangkuannya. Dengan mudahnya, Lian melihat wajah Li Jia yang tidak tertutup penutup wajah. Wajah cantik gadis itu telah mengalihkan dunianya. Dia begitu terpesona dengan wajah cantik yang selalu tertutup itu. Dan betapa beruntungnya dia karena bisa mencintai dan dicintai oleh gadis itu.

Angannya perlahan mulai bermain di benaknya. Betapa dia akan sangat bahagia jika angannya itu menjadi kenyataan. Sebuah angan untuk bisa hidup bersama dan memiliki keluarga kecil yang membuat hidupnya lebih sempurna.

Lian mengelus lembut wajah Li Jia yang masih tertidur. Wajah yang sudah membuatnya tergila-gila. Wajah yang membuatnya rela walau harus bertarung nyawa. “Aku akan membuatmu bahagia, itu adalah janjiku padamu,” gumam Lian yang perlahan menutup matanya.

Suara ayam hutan berkokok seiring matahari pagi yang mencuat dari ufuk timur. Sementara Li Jia masih tertidur di atas lantai goa yang beralaskan dedaunan.

Api unggun sisa semalam masih menyala walau hanya tinggal arang. Embusan angin di pagi itu terasa begitu dingin hingga membuat Li Jia membuka matanya. Di depannya hanya ada tumpukkan arang sisa api unggun dan sekantong barang bawaannya.

“Lian, kamu di mana?” Li Jia seketika panik karena tidak menemukan Lian di tempat itu.

“Lian!” seru Li Jia sambil berlari keluar dari goa.

Karena panik, Li Jia berlari dan memanggil-manggil nama kekasihnya itu. Tanpa sadar, air matanya jatuh karena tidak melihat pemuda itu.

“Aku di sini!” Melihat Lian, Li Jia berlari kearahnya dan memeluknya.

“Kamu kenapa menangis? Aku pergi berburu kelinci untuk makan pagi kita,” ucap Lian sambil menenteng seekor kelinci di tangannya.

“Jangan pernah tinggalkan aku sendiri. Aku takut kalau kamu pergi dariku,” ucap Li Jia yang menangis dalam pelukan kekasihnya itu.

“Aku tidak akan pernah pergi meninggalkanmu. Aku minta maaf, karena sudah membuatmu khawatir,” ucap Lian sambil menghapus air mata gadis itu.

Perlahan, terbesit rasa bersalah di hatinya karena sudah membuat Li Jia khawatir dan menangis. Dia tidak menyangka kalau kepergiannya telah membuat gadis itu begitu mengkhawatirkannya. Karena sikap Li Jia itulah telah membuat Lian jatuh cinta berkali-kali padanya karena perhatian dan cinta Li Jia yang begitu besar untuknya

“Li Jia, apa aku seberharga itu bagimu? Apa jadinya jika aku sudah tak ada lagi di sisimu? Apa yang akan terjadi jika kita dipisahkan oleh kematian?” batin Lian yang membuatnya menitikkan air mata.

“Lian, berjanjilah kamu tidak akan pergi tanpa diriku. Aku mohon, kemana pun kamu pergi bawalah aku bersamamu,” pinta Li Jia yang terlihat sedih.

Lian mengangguk sambil menggandeng tangan gadis itu dan menuntunnya masuk ke dalam goa. Api unggun yang hampir padam, dinyalakan kembali. Kelinci hasil berburu lalu dipanggang dan menjadi sarapan pagi mereka.

“Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Kalau tidak ada masalah, kita akan sampai di padang bunga tengah hari nanti,” jelas Lian sambil membawa barang bawaannya keluar dari dalam goa. Li Jia tersenyum sambil mengikutinya dari belakang.

Setelah persiapan selesai, Lian kemudian menaikkan Li Jia ke atas punggung kuda dan berjalan di sampingnya.

“Ayo, naik. Kenapa kamu berjalan kaki?” tanya Li Jia karena melihat Lian yang berjalan sambil memegang tali kekang kuda.

“Sebentar lagi aku akan naik. Kasihan kudanya sudah membawa kita berdua sejak kemarin,” ucap Lian dengan senyum di wajahnya dan Li Jia hanya bisa menatap kekasihnya itu.

Sudah hampir dua jam mereka berjalan menyusuri hutan. Dan selama dua jam itu, Lian hanya berjalan kaki dan itu membuat Li Jia kasihan padanya. “Kita beristirahat saja dulu, kamu pasti lelah karena sudah berjalan sejauh ini,” ucap Li Jia sambil berusaha untuk turun dari atas punggung kuda.

“Sini,” ucap Lian sambil membentangkan kedua tangan padanya. Li Jia tersenyum dan membiarkan Lian menurunkannya.

Setelah beristirahat sebentar, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Karena sudah hampir tengah hari dan tidak ingin membuat Li Jia khawatir, akhirnya Lian memutuskan untuk naik ke atas punggung kuda.

Baru saja mereka berjalan beberapa langkah, di depan sudah berdiri beberapa orang lelaki yang menutupi setengah wajah mereka. Gerombolan lelaki itu mencoba menghalangi jalan mereka.

“Mau apa kalian? Jangan menghalangi jalan kami!” seru Lian dari atas kuda.

Tanpa menjawab, orang-orang itu kemudian merangsek maju ke arah mereka dan menghunus pedang ke arah Li Jia seakan ingin membunuhnya. Melihat Li Jia akan diserang membuat Lian menghunuskan pedangnya dan menangkis pedang yang hampir saja mengenai leher kekasihnya itu.


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset