Pendekar Cinta dan Dendam episode 11

Chapter 11

Melihat sekelompok pria bertopeng yang mengincar Li Jia membuat Lian segera menghunuskan pedangnya. Dengan gerakan secepat kilat, Lian melompat dari atas kuda dan menghadapi sekelompok orang itu.

“Tetaplah di belakangku. Jangan khawatir aku akan menghadapi mereka,” ucap Lian pada Li Jia yang terlihat panik.

Dengan lincahnya, Lian menghunuskan pedangnya ke arah orang-orang itu. Walau sendirian, tetapi dia mampu mengimbangi mereka dan berhasil membunuh beberapa orang dari mereka.

“Cepat bunuh wanita itu!” perintah salah satu dari mereka sambil menunjuk ke arah Li Jia. Mendengar perintah itu, beberapa orang dari mereka kemudian berlari ke arah Li Jia dan mulai menyerangnya.

Melihat Li Jia akan diserang, Lian segera memutar badan dan menangkis pedang yang mengarah ke tubuh gadis itu.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Lian pada Li Jia yang sudah berdiri di belakangnya.

“Aku tidak apa-apa. Berhati-hatilah, aku tidak ingin kamu terluka,” ucap Li Jia khawatir.

“Jangan khawatir, tetaplah di belakangku.” Lian kemudian maju dan bertarung dengan mereka. Suara dentingan pedang memecah kesunyian di tempat itu.

Sekelompok orang bertopeng yang berjumlah lebih dari sepuluh orang itu lumayan kelabakan saat menghadapi Lian. Mereka tidak berpikir kalau gadis yang menjadi incaran mereka itu ternyata mempunyai seorang pengawal yang cukup tangguh.

Lian yang hanya seorang diri mau tidak mau harus menghadapi orang-orang itu. Dia tidak menyangka kalau Li Jia menjadi target pembunuhan mereka. “Kalau aku harus mati untuk melindungimu, aku rela,” batin Lian yang masih bertarung sekuat tenaga.

Pertarungan yang tidak seimbang itu cukup menguras tenaga. Orang-orang itu terlihat seperti sudah terlatih, hingga Lian cukup kewalahan menghadapi beberapa di antara mereka. Sementara itu, ada salah seorang di antara orang-orang itu yang hanya memerhatikan mereka bertarung tanpa melakukan apa pun.

Sementara Lian sedang bertarung, lelaki itu mulai mengangkat busur dan mengarahkan anak panah ke arah Li Jia. Melihat hal itu, Lian kemudian berlari ke arah Li Jia dan dan melindungi tubuh gadis itu dengan tubuhnya. Anak panah seketika melesat dan menancap di lengan pemuda itu.

“Lian!” pekik Li Jia ketika melihat lengan kekasihnya yang sudah mengucurkan darah segar.

“Cepat naik ke atas kuda!” perintah Lian pada Li Jia.

“Tidak! Aku tidak akan pergi tanpamu. Aku tidak mungkin meninggalkanmu seperti ini,” ucap Li Jia dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

Tanpa berpikir panjang, Lian kemudian menaikkan tubuh Li Jia ke atas punggung kuda dan menepuk punggung kuda itu. “Tunggu aku di sana, aku pasti akan datang menemuimu!” seru Lian ketika kuda itu mulai berlari meninggalkannya.

“Cepat! Kejar wanita itu!!” perintah lelaki yang tadi memanahnya.

“Jangan harap kalian bisa lolos dari tempat ini!” pekik Lian sambil berlari ke arah tiga orang lelaki yang ingin mengejar Li Jia. Wajah pemuda itu menyeringai. Wajah teduhnya perlahan berubah bagaikan seorang pembunuh. Dengan gerakan yang cukup lincah, Lian menghunuskan pedangnya dan menghalau langkah mereka.

“Kalian bertiga hadapi dia. Biar aku yang akan menghabisi wanita itu,” ucap pemimpin mereka sambil melompat ke atas kuda dan pergi mengejar Li Jia.

“Tidak akan aku biarkan!” seru Lian yang terlihat semakin marah dan menghantam ketiga orang itu dengan pedangnya hingga membuat ketiga orang itu tersungkur dengan luka tebasan di punggung mereka.

Dengan menaiki salah satu kuda yang tadi ditunggangi orang-orang itu, Lian kemudian mengejar lelaki yang sedang mengejar Li Jia.

“Li Jia, aku mohon tetaplah bertahan. Tunggu aku,” gumam Lian yang terus memacu kudanya dengan cepat. Walau darah segar mengucur dari lengannya tidak membuatnya merasakan sakit.

Li Jia masih berlari di depan dengan perasaan was-was karena mengkhawatirkan Lian. Sementara di belakangnya, terlihat lelaki bertopeng sedang mengejarnya. Hanya berjarak beberapa meter, lelaki itu kemudian mengangkat busur dan mengarahkan anak panahnya ke arah Li Jia.

Lian yang berada di belakang laki-laki itu kemudian menepuk-nepuk punggung kudanya agar berlari lebih cepat, hingga akhirnya dia bisa mendekati lelaki itu dan melompat ke arahnya. Seketika mereka berdua terjatuh ke tanah. Anak panah yang sempat diarahkan ke arah Li Jia tampak melesat dan menyerempet lengannya yang perlahan mengeluarkan darah. Li Jia yang merasa kesakitan terpaksa menghentikan laju kudanya. Sambil memegang lengannya yang berdarah, Li Jia kemudian membalikkan tubuhnya dan melihat Lian yang sedang bertarung dengan lelaki bertopeng itu.

Melihat darah yang mengucur dari lengan Li Jia membuat Lian semakin marah. Dia tidak peduli dengan sakit yang saat ini dialaminya. Sakit yang dia rasakan tidak sebanding dengan rasa sakit karena melihat orang yang sangat dicintainya terluka.

Lian yang semakin marah lantas mengambil sebuah batu yang tergeletak di atas tanah saat dirinya sedang bertarung dengan lelaki itu. Dengan sekuat tenaga, Lian menghempaskan batu ke arah kepala lelaki bertopeng itu, tetapi lelaki itu sempat menangkis dengan busur yang masih dipegangnya.

“Siapa yang menyuruhmu, hah?” tanya Lian dengan emosi pada lelaki itu. Lelaki itu hanya menyeringai, topeng yang tadi dipakainya sudah terlepas dari wajahnya.

“Kenapa kamu membelanya? Gadis itu hanya seorang pelacur. Apa pantas kamu melindungi gadis seperti itu?” ucap laki-laki itu yang membuat Lian semakin naik darah. Lian kemudian mengangkat pedangnya dan mengarahkannya ke arah laki-laki itu.

“Akan aku potong lidahmu itu!” pekik Lian sambil menghunuskan pedangnya ke arah laki-laki itu, tetapi tidak mengenainya. Dengan gesit, laki-laki itu.melakukan gerakan menghindar.

Melihat Lian yang cepat emosi karena kata-kata yang menghina kelasihnya membuat laki-laki itu terus memprovokasinya dengan kata-kata hinaan yang membuat Lian semakin membabi buta.

“Lian, jangan pedulikan kata-katanya!” seru Li Jia yang mencoba menenangkannya. Lian sadar kalau emosinya hanya akan membuatnya semakin lelah karena tidak fokus pada gerakannya yang mudah ditebak lawan.

“Bicaralah sepuasmu karena aku tidak akan peduli, matilah!” seru Lian sambil mendorong laki-laki itu ke belakang hingga tersandar ke sebuah pohon dengan pedang yang menusuk di perutnya. Lian kemudian menarik kembali pedang itu dan menebas batang leher laki-laki itu hingga terlepas dari tubuhnya.

Lian termundur ke belakang beberapa langkah. Perlahan, dia terduduk dengan sebilah pisau yang sudah menancap di perutnya.

“Lian, kamu tidak apa-apa?” pekik Li Jia yang berlari ke arahnya. Dan betapa dia terkejut ketika melihat darah segar keluar dari perut Lian. Rupanya, saat Lian menghunuskan pedangnya ke perut laki-laki itu, saat itu juga laki-laki itu meraih sebilah pisau yang disematkan di sela-sela sepatunya dan menancapkan pisau itu ke perut Lian.

“Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Lian yang masih sempat mengkhawatirkan keadaan Li Jia.

“Aku tidak apa-apa, jangan khawatirkan aku,” jawabnya dengan tangis yang mulai terdengar.

“Bertahanlah, aku akan mengobatimu.” Li Jia kemudian merobek bagian bawah bajunya dan membalut luka di perut Lian yang terus mengeluarkan darah segar. Setelah itu, dia menarik tubuh Lian yang mulai tidak bertenaga dan menyandarkannya ke batang pohon.

“Tunggu di sini, aku akan mencari tanaman obat untuk mengobati lukamu itu,” ucap Li Jia sambil berdiri, tetapi langkahnya terhenti saat Lian meraih tangannya.

“Tetaplah di sini. Aku tidak ingin kamu pergi jauh dariku,” ucap Lian dengan menahan sakit.

Li Jia menggenggam tangannya erat dan menciumnya. “Aku tidak akan pergi meninggalkanmu. Kita akan pergi dari sini dan membangun rumah di padang bunga, kamu ingat ‘kan dengan janjimu itu?” ucap Li Jia dengan air mata yang coba ditahan.

Lian mengangguk pelan dan melepaskan genggaman tangannya. Li Jia kemudian berlari kecil mencari tanaman obat untuk mengobati luka pendarahan di perut Lian. “Bertahanlah, aku mohon.”

Tak lama kemudian, Li Jia kembali dengan membawa beberapa tanaman obat di tangannya. Dengan cekatan, dia mulai menumbuk daun-daun itu hingga halus dan menempelkannya ke perut Lian dan mengikatnya dengan kain.

Lian yang setengah sadar hanya bisa melihatnya dengan pandangan yang mulai nanar, hingga dia kemudian pingsan dan tidak sadarkan diri.

Melihat Lian yang jatuh pingsan membuat Li Jia semakin khawatir. Dilihatnya kembali sekelilingnya dan mendapati tanaman ubi yang bisa dimakan. Dia kemudian mencabut ubi tersebut dan mengumpulkannya di atas daun.

Li Jia kemudian mengambil ranting-ranting kering dan mengumpulkannya. Untung saja tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah anak sungai. Tanpa memikirkan lengannya yang juga terluka, Li Jia kemudian berlari ke sungai itu dan membawa air dengan bantuan daun ubi.

Selang beberapa jam kemudian, Lian mulai tersadar dan memandangi Li Jia yang sedang membakar ubi di api unggun yang sudah dibuatnya.

“Berbaringlah, kamu jangan bergerak dulu,” ucap Li Jia sambil mendekati Lian dan memangku kepalanya. “Minumlah, kamu pasti haus.” Li Jia kemudian meminumkan air ke mulut Lian yang terlihat kering dan pucat.

“Bagaimana dengan lenganmu?” tanya Lian pelan.

“Aku sudah mengobatinya. Aku juga sudah mengobati lukamu dan sebaiknya kamu beristirahat saja dulu, jangan banyak bergerak.”

Lian tersenyum. Dia tidak menyangka masih bisa diberi kesempatan untuk bisa merasakan perhatian gadis itu lagi. Bahkan, saat pertarungan tadi dia sempat berpikir kalau mungkin saja dia akan terbunuh.

Li Jia mengambil ubi yang sudah matang dan menyuapi Lian. Dengan telaten, Li Jia merawat luka-luka Lian dan juga lukanya, hingga dua hari kemudian, Lian mulai bisa duduk. Luka tusukan di perutnya perlahan mulai membaik.

“Terima kasih karena sudah merawatku,” ucap Lian yang masih duduk bersandar di batang pohon.

Li Jia kemudian mendekatinya dan duduk di sampingnya. Dengan mesra, Li Jia meraih tangan kekasihnya itu dan menciumnya. “Terima kasih karena kamu masih bertahan. Hiduplah lebih lama karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau kamu pergi meninggalkanku,” ucap Li Jia dengan air mata yang jatuh di pipinya. Melihat gadis itu menangis Lian lantas menghapus air matanya.

Sudah tiga hari Lian terbaring. Setelah kondisinya mulai membaik, Lian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. “Sebaiknya kita pergi dari sini. Aku sudah muak melihat bangkai yang sudah mulai membusuk itu,” ucapnya sambil memandangi jasad laki-laki tanpa kepala itu.

Setelah dibujuk oleh Lian, Li Jia akhirnya setuju untuk pergi dari tempat itu walau sebenarnya dia tidak ingin karena khawatir dengan kondisi Lian. Akhirnya, mereka kembali melanjutkan perjalanan ke padang bunga yang memerlukan waktu beberapa jam lagi.

Hampir tiga jam mereka melakukan perjalanan, hingga hamparan padang bunga terlihat di depan mereka. Li Jia tersenyum karena mereka akhirnya tiba di tempat itu. Namun, senyumannya itu berubah ketika melihat Lian tiba-tiba terjatuh dari atas kuda.

“Lian, kamu kenapa?” tanya Li Jia panik ketika melihat wajah Lian yang mulai membiru. Bukan hanya itu, tiba-tiba saja pemuda itu memuntahkan darah hitam dari mulutnya. Sontak saja Li Jia semakin panik saat melihat Lian yang sudah penuh dengan darah.

“Obati lukamu. Sepertinya panah dan pisau itu telah dibubuhi racun,” ucap Lian pelan, hingga membuatnya tidak percaya.

“Tidak mungkin. Kamu akan baik-baik saja. Lian, kita sudah sampai di padang bunga. Kita akan membangun rumah di sini. Kita akan hidup dengan anak-anak kita di sini,” ucap Li Jia dengan tangis yang kian menjadi.

Lian meneteskan air mata dan menatap Li Jia dengan pasrah. Dia tahu hidupnya tidak akan lama lagi, tetapi setidaknya dia bisa melindungi gadis itu walau kebersamaan mereka harus berakhir dengan tragis.

“Li Jia, jaga dirimu baik-baik. Maaf, aku tidak bisa menepati janjiku untuk tinggal bersamamu di tempat ini. Aku mohon, kuburlah jasadku di sini agar arwahku bisa tenang.” Lian kembali memuntahkan darah hitam yang membuat dirinya tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

“Lian, aku mohon bertahanlah. Aku akan mencari obat untukmu,” ucap Li Jia sambil berdiri, tapi langkahnya terhenti karena Lian yang tidak ingin melepaskan tangannya.

“Tetaplah di sini. Temani aku karena tubuhku terasa dingin,” ucap Lian yang terlihat menggigil walau sebenarnya tubuhnya sepanas api.

Li Jia menuruti permintaannya. Diangkatnya tubuh Lian dan menyandarkannya ke tubuhnya sambil duduk bersandar di sebuah batu. Hari yang mulai malam terlihat begitu indah di tempat itu. Langit hitam yang bertabur bintang dengan cahaya bulan purnama di malam itu terlihat sangat indah.

“Li Jia, kamu harus tetap bertahan. Kalaupun aku harus pergi, setidaknya aku akan pergi dengan tenang. Aku mohon, tetaplah hidup,” ucap Lian yang membuat Li Jia menahan tangis. “Berhati-hatilah karena ada orang yang ingin membunuhmu. Jangan mudah percaya pada siapa pun. Li Jia, maafkan aku karena tidak bisa lagi menjagamu. Aku sangat mencintaimu,” ucap Lian dengan air mata yang jatuh di sudut matanya.

Li Jia berusaha tegar walau air matanya tak mampu dibendung. Dia mengenggam tangan Lian yang mulai terasa dingin dan memeluk tubuh kekasihnya itu dengan erat. “Aku juga mencintaimu dan selamanya akan selalu mencintaimu. Terima kasih karena sudah menjaga dan mencintaiku,” ucap Li Jia lembut di belakang telinga Lian. Pemuda itu tersenyum seiring air mata yang jatuh. Tangannya di genggaman Li Jia perlahan melemah dan akhirnya terlepas. Tubuhnya tidak lagi bersandar.

Menyadari hal itu, Li Jia menangis. Dipeluknya tubuh Lian yang sudah tidak bernyawa. Air matanya tak mampu mengembalikan kekasihnya itu. Sekuat apa pun dia meminta pada semesta, nyatanya Lian telah pergi untuk selamanya. Kini, semesta telah merenggut orang yang sangat dicintainya. Lelaki yang selalu membuatnya bahagia. Lelaki yang sudah membuatnya jatuh cinta.

“Lian, maafkan aku. Aku pasti akan membalaskan dendammu.” Li Jia memeluk tubuh yang telah kaku itu. Kembali dia harus merasakan luka karena kehilangan orang-orang yang dia cintai. Luka yang diakibatkan oleh seseorang yang tidak menginginkannya. Entah dulu ataupun di masa yang akan datang.


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset