Pendekar Cinta dan Dendam episode 12

Chapter 12

Li Jia masih memeluk tubuh Lian yang mulai terasa dingin. Dia sudah tak mampu untuk menangis lagi. Air matanya seakan kering karena menangisi kematian kekasihnya itu. Untuk kedua kalinya, Li Jia harus merasakan kehilangan orang yang dicintainya.

Setelah orang tuanya, kini Li Jia harus kehilangan Lian, lelaki yang sangat dicintainya. Di padang bunga tempat di mana mereka ingin membangun sebuah rumah, kini menjadi rumah terakhir bagi Lian.

Untuk kedua kalinya, Li jia harus menggali kuburan untuk orang yang dia cintai. Dengan kedua tangannya, dia menggali tanah basah yang disirami rintik air hujan di malam itu. “Lian, beristirahatlah di sini dengan tenang. Aku akan sering datang mengunjungimu,” ucapnya ketika meletakkan tubuh Lian ke dalam liang yang sudah digalinya. Dia menatap tubuh kaku itu seiring air mata yang mengalir tanpa suara.

Li Ji menatap seraut wajah yang telah pucat. Wajah yang akan selalu dia rindukan. Sosok yang selalu memberikannya kehangatan dengan pelukannya. Sosok yang sepenuh hati mencintainya. Sosok yang kini tidak akan pernah lagi dilihatnya.

Li Jia menangis menatap langit hitam. Entah kenapa, dia seakan marah dengan semesta yang tega merenggut kebahagiaannya. Dia begitu marah dengan takdir yang mempermainkan hidupnya. “Apakah ini adalah hukuman bagiku? Apa aku tidak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan?” ucapnya lirih.

Tangannya yang gemetar menyentuh wajah Lian yang sudah memucat. Melihat wajah kekasihnya, Li Jia menitikkan air mata. Rasanya, perpisahan itu terlalu menyakitkan. Dia menunduk karena tidak sanggup memerhatikan seraut wajah yang akan selalu teringat dalam sanubarinya.

“Lian, aku akan selalu mengingatmu. Kamu adalah lelaki pertama yang hadir di dalam hatiku dan selalu akan tersimpan di hatiku. Beristirahatlah dengan tenang dan aku akan memastikan siapa pun yang melakukan ini padamu akan merasakan hal yang sama. Aku akan membalaskan perbuatan mereka padamu.” Li Jia menangis sambil menggenggam tangan pemuda itu.

Setelah puas melihat wajah Lian, Li Jia lantas menutupi jasad kekasihnya itu dengan tanah basah. Dia menutupi jasad itu dengan derai air mata. Saat akan menutupi wajah Lian dengan tanah, tiba-tiba saja tangan pemuda itu tersembul keluar dan menyentuh kakinya Seketika, gadis itu terperanjat. Tanah yang digenggamnya perlahan terlepas dari tangannya. Diraihnya kembali tangan Lian dan menciumnya dengan derai air mata. Li Jia lantas duduk bersimpuh dan menangis di depan jasad Lian.

“Kenapa? Kenapa kamu harus pergi meninggalkanku? Kamu bilang kalau kamu menyayangiku, tetapi kenapa kamu harus pergi dariku?” Li Jia berujar sedih sambil mencium tangan kekasihnya itu.

Tiba-tiba saja, air bening keluar dari sudut mata Lian yang sudah terpejam. Lian seakan tahu kesedihan yang dialami kekasihnya itu. Li Jia hanya mampu menatap wajah Lian dan perlahan menghapus air bening di sudut mata pemuda itu.

“Kenapa kamu menangis? Aku mohon, jangan menangis.” Li Jia kembali menghapus air matanya. “Baiklah, aku juga tidak akan menangis lagi, tetapi aku mohon kamu jangan menangis,” ucap Li Jia lembut sambil mengelus pipi Lian dan menghapus sisa air matanya.

“Aku tahu kamu ingin aku bahagia. Aku akan lakukan itu. Aku akan bahagia agar kamu juga bahagia di sana. Aku akan mengikhlaskanmu dan kamu juga harus mengikhlaskanku.” Li Jia kembali menatap wajah Lian dan menciumnya untuk yang terakhir kali. Perlahan, dia kembali menutupi wajah pemuda itu dengan tanah, hingga tubuhnya benar-benar tertutup. Di samping gundukan tanah itu, Li Jia menancapkan sebuah anak pohon sakura yang tidak sengaja dia temukan di tengah padang bunga.

“Istirahatlah dengan tenang. Berbahagialah di tempat ini. Aku akan sering-sering datang mengunjungimu dan suatu hari nanti, aku akan membangun sebuah rumah di sini untukku agar aku bisa menemanimu. Lian, aku harus pergi. Damailah dan bahagialah di sana. Aku janji kalau aku kelak juga akan bahagia,” ucap Li Jia tanpa air mata. Rasanya dia tidak sanggup lagi untuk menangis karena air matanya tak mampu lagi untuk menetes.

Li Jia masih berdiri di depan gundukan tanah itu dan memerhatikannya. Rintik air hujan belum juga berhenti. Alam seakan tahu kalau saat ini dia sedang merasakan kesedihan.

Dengan langkah tertaih, Lia Jia akhirnya meninggalkan tempat itu. Dia harus pergi walau dirinya tidak tahu ke mana langkahnya akan menuju. Dia hanya akan mengikuti ke mana arah nasib menuntunnya.

Dari atas kudanya, Li Jia kembali memandangi gundukan tanah itu. Untuk kesekian kalinya dia harus kembali merasakan hidup seorang diri. Tanpa orang yang menyayanginya. Tanpa orang yang dicintainya.

Malam itu Li Jia pergi dengan kudanya. Luka terkena panah masih mengeluarkan darah. Dengan pasrah, Li Jia bertahan di atas kudanya itu. Matahari pagi mencuat dari ufuk timur dan kuda yang membawanya masih terus berjalan. Li Jia berusaha untuk bertahan dan memegang tali kekang kuda dengan erat.

Dua kotak perhiasan miliknya kini jatuh entah di mana. Sementara tubuhnya mulai semakin melemah karena pengaruh racun yang belum hilang dari tubuhnya. Obat yang digunakannya ternyata hanya bersifat sementara. Racun itu kembali bereaksi, hingga membuat wajahnya pucat dan berkeringat.

Dari atas kudanya, Li Jia melihat rumah penduduk yang berjarak sekitar tiga kilo meter dari tempatnya berdiri. “Aku harus bertahan. Aku harus tetap hidup,” batinnya.

Kuda yang ditungganginya itu masih berjalan perlahan. Namun, tiba-tiba saja kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, sehingga membuat Li Jia terjatuh dari atas punggung kuda itu. Li Jia meringis kesakitan sambil memegang lengannya yang terasa sakit. Darah kembali mengucur dari lengannya, hingga membuat pandangannya menjadi kabur. Kuda yang tadi ditungganginya pun sudah lari meninggalkannya.

Dalam penglihatannya yang mulai nanar, dia melihat sekelompok orang berkuda yang perlahan mendekatinya. Seorang pemuda yang dikenalinya berlari ke arahnya. “Li Jia, apa itu dirimu?” Li Jia mendengar pemuda itu menyebut namanya.

“Liang Yi, tolong aku,” ucapnya lemah dan dia pun hilang kesadaran. Li Jia kini telah pingsan.

Di dalam kamar yang cukup luas, Li Jia terbaring. Penutup wajahnya sudah dilepas. Sudah dua hari dia terbaring dan belum juga sadarkan diri.

Seorang wanita setengah baya tampak duduk memerhatikan Li Jia. Dia dengan telaten menjaga gadis itu. Bahkan, ketika Li Jia mengigau di sela tidurnya, wanita itu menggenggam tangannya dan menyeka keringat di dahinya.

“Suamiku, coba panggil tabib lagi. Kenapa sudah dua hari gadis ini belum sadar juga?” pinta wanita itu panik pada seorang lelaki yang berdiri di sampingnya.

“Tenanglah, Istriku. Dia pasti akan sadar. Kata tabib, racun di tubuhnya sudah dinetralisir dan itu berarti dia akan segera sembuh,” jawab lelaki itu sambil menggenggam tangan istrinya.

Wanita itu kembali menatap Li Jia dan dia merasa kasihan padanya. Gadis muda yang terlihat cantik itu telah menarik perhatiannya. Dia seakan meyakini kalau gadis yang ditolong putranya itu adalah gadis yang baik.

“Liang Yi, apa kamu yakin dia itu penari dari Rumah Pelangi?” tanya ayahnya.

“Aku yakin, Ayah. Li Jia adalah penari yang selalu menutupi wajahnya. Beberapa hari yang lalu dia berpamitan pada kami karena dia akan pergi dengan kekasihnya. Akan tetapi, aku tidak menemukan seorang pemuda bersamanya,” jelas Liang Yi.

“Apa mungkin mereka diserang perampok?” tanya ayahnya.

“Entahlah, Ayah. Kita akan tahu jika dia sudah siuman.”

Di dalam kamar, Liang Zia dan ibunya masih menunggu Li Jia. Kedua wanita itu bergantian menjaganya.

Di dalam ketidaksadarannya, Li Jia mengigau dan menyebut nama Lian. Tubuhnya bergetar hebat saat penggalan kejadian itu terlintas di alam bawah sadarnya. Kejadian di mana dia harus melihat orang tuanya tewas dan orang yang dia cintai meregang nyawa di depannya.

“Ibu, dia mengigau lagi,” ujar Liang Zia saat Li Jia mengigau dan menangis.

Mendengar kalau Li Jia mengigau, Liang Yi dan ayahnya masuk ke kamar.

“Ayah, bagaimana ini?” tanya Liang Zia masih menggenggam tangannya. Sementara ibunya menyeka peluh di dahi Li Jia.

“Ayah … ibu ….. ” ucap Li Jia di antara igauannya. “Jangan tinggalkan aku. Lian, maafkan aku.” Kembali Li Jia mengigau.

Melihatnya memanggil nama pengawalnya, Liang Yi yakin kalau telah terjadi sesuatu pada mereka.

Di saat dia memikirkan apa yang diucapkan Li Jia, gadis itu perlahan membuka matanya. Seketika Liang Yi terkejut.

“Apa mungkin dia gadis kecil itu?” batin Liang Yi saat melihat Li Jia menatapnya.

“Liang Yi,” ucap Li Jia dengan menahan tangis.

“Li Jia, apa yang terjadi padamu?” tanya Liang Yi sambil duduk di sampingnya. Namun, gadis itu segera menutupi wajahnya dengan pergelangan tangannya.

“Kenapa kamu menutupi wajahmu? Kenapa wajah cantikmu harus disembunyikan?” tanya Nyonya Liang sambil meraih tangan Li Jia yang menutupi wajahnya. Li Jia tampak menitikkan air mata.

“Aku berterima kasih karena kamu sudah menolongku, tetapi aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus pergi.” Li Jia berusaha bangkit walau tubuhnya masih lemah.

“Li Jia, tenanglah. Kamu aman di sini. Tidak ada yang akan menyakitimu di rumah ini.” Liang Yi berusaha menahannya, tetapi Li Jia tidak menggubrisnya.

“Bagaimana bisa aku berlindung di sini kalau dari awal ayahmu tidak berniat menolongku. Andai dia menolongku waktu itu, aku mungkin tidak akan menderita seperti ini.” Li Jia menatap Liang Zhou dengan sinis. Gadis itu kembali menitikkan air mata tatkala mengingat kejadian waktu itu.

“Paman minta maaf, karena waktu itu tidak menolongmu. Paman bersalah dan sejak saat itu Paman …. ”

“Suamiku, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nyonya Liang pada suaminya itu.

“Li Jia, tenanglah. Kamu istirahat saja dulu. Aku akan menjelaskan semuanya kalau kamu sudah tenang. Ayo, sebaiknya kamu istirahat.” Liang Yi mencoba membujuknya, tetapi Li Jia bergeming.

“Tidak! Lebih baik aku pergi!” Li Jia kembali melangkah, tetapi dia terduduk karena kondisinya yang lemah. Liang Yi lantas mengangkat tubuhnya dan membawanya ke tempat tidur walau Li Jia bersikeras untuk menolak.

“Kamu boleh pergi setelah kondisimu membaik. Aku tahu kamu marah atas kejadian waktu itu dan ayahku sangat menyesalinya. Tapi, gadis kecil yang aku kenal waktu itu adalah gadis lecil yang baik. Gadis kecil yang nekat membantuku walau dirinya sendiri dalam kepayahan. Apa kamu tahu sudah berapa lama aku mencarimu?”

Li Jia menatap Liang Yi heran. Dia masih mengingat pertemuannya dengan bocah lelaki yang hampir saja dipukul anak jalanan. Dia masih ingat saat bocah itu membawanya ke tabib untuk mengobati luka di kakinya. Namun, pertemuan itu hanya berlangsung singkat, tetapi begitu membekas di hatinya.

“Apa kamu masih ingat padaku?” tanya Li Jia dengan air mata yang sudah membendung. Liang Yi tersenyum dan mengangguk pelan.

“Bagaimana bisa aku melupakan gadis bermata biru yang sudah menolongku. Ah, aku senang bisa bertemu lagi denganmu. Karena itu, jangan membantah apa yang ibuku katakan. Dia sudah merawatmu dan tidak tidur semalaman. Apa kamu tega menyia-nyiakan perhatiannya padamu?”

Li Jia menatap wanita setengah baya yang berdiri di sampingnya. Melihatnya, Li Jia berusaha tersenyum. Wanita itu membalas senyumnya sembari membelai lembut puncak kepalanya.

“Namamu Li Jia, kan?” Li Jia mengangguk. “Bibi tidak tahu apa yang terjadi padamu, tetapi Bibi bisa pastikan kalau keluarga kami dengan senang hati menerimamu di rumah ini. Istirahatlah dan jika kondisimu sudah membaik, barulah kita bicarakan semuanya. Kamu bisa, kan?”

Tutur kata Nyonya Liang yang lembut membuat Li Jia tertegun sesaat. Perhatian dan tutur kata khas seorang ibu membuat Li Jia menjadi luluh. Dia pun mengangguk.

“Istirahatlah. Kami akan menjagamu di luar,” ucap Liang Yi saat akan meninggalkan Li Jia. Namun, gadis itu menahannya.

“Liang Yi, jangan katakan pada pangeran kalau aku ada di sini. Jangan katakan pada siapa pun kalau aku ada di rumahmu. Aku …. ” Li Jia tampak ketakutan.

“Tenanglah, aku tidak akan mengatakan tentang keberadaanmu pada siapa pun. Percayalah padaku.”

Liang Yi kemudian keluar dari kamar dan dia sempat melihat ke arah Li Jia yang menunduk sambil menangis.

“Apa dia sudah tidur?” tanya Nyonya Liang.

“Iya, Ibu. Kita harus merahasiakan keberadaannya pada siapa pun. Sepertinya, dia sudah mengalami kejadian yang buruk.”

Mereka sepakat untuk merahasiakan tentang Li Jia. Mereka akan menunggunya membaik dan mendengar penjelasannya.

Di dalam kamarnya, Liang Yi masih terjaga. Dia sedang memikirkan Li Jia yang ternyata adalah gadis kecil yang selama ini dia cari. Gadis kecil yang sudah menarik perhatiannya.

“Li Jia, apa kamu tahu seberapa keras aku mencarimu? Apa kamu tahu kalau perpisahan kita sudah membuatku menahan rindu? Ah, aku selalu memikirkan senyumanmu padaku saat itu. Aku ingin kembali melihat tatapan matamu sama seperti dulu. Namun, kini kita bertemu lagi di saat hatimu terluka. Li Jia, kebaikanmu saat lalu sudah mengikat hatiku. Apa mungkin kita bisa berlari bersama seperti dulu?”

Liang Yi menatap langit-langit kamar dan bayangan wajah gadis kecil bermata biru kembali terlukis di depan matanya. Gadis kecil yang tersenyum dengan tatapan mata yang seteduh lautan. Wajah yang selama sepuluh tahun terakhir tak bisa lepas dari ingatannya. Dan wajah gadis kecil itu telah berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Gadis yang memiliki kecantikan sempurna.


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset