Perhatian keluarga Liang membuat Li Jia merasa sungkan. Bagaimana tidak, perhatian Nyonya Liang begitu besar untuknya. Tak hanya wanita itu, tetapi seluruh anggota keluarga juga memperlakukannya dengan sangat baik.
Luka di pergelangan tangannya perlahan mulai membaik. Kondisi tubuhnya pun sudah sehat. Namun, Li Jia masih belum mau menceritakan perihal kejadian memilukan itu. Dia hanya duduk termenung seakan sedang memikirkan sesuatu.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Liang Yi saat menemuinya.
Li Jia hanya menggeleng. Wajahnya tampak menyiratkan kesedihan.
“Li Jia, aku tahu kamu kecewa dengan ayahku dan itu menjadi beban baginya. Selama ini kami berdua bekerja keras untuk mencari keberadaanmu. Bahkan, ayahku sempat mencari tahu tentang sebuah desa yang dibantai secara kejam karena kami tahu penduduk desa itu memiliki warna mata yang sama denganmu.”
Mendengar apa yang diucapkan Liang Yi, Li Jia menatapnya lekat. “Lalu, apa yang kalian dapatkan? Apa pembunuh-pembunuh itu telah kalian tangkap?” tanya Li Jia dengan sorot matanya yang tajam.
“Apa benar kamu berasal dari desa itu?”
Li Jia menunduk. Tangannya mengepal ketika mengingat peristiwa pembantaian di hari itu. “Apa salah desaku, hingga orang tua dan semua penduduk desa dibantai dengan kejam. Aku hanya bisa melihat mereka dibunuh di depan mataku. Aku menyesal karena orang tuaku mati saat aku sedang marah pada mereka. Aku …. ” Li Jia menitikkan air mata karena penyesalannya itu.
Liang Yi menatapanya. Pemuda itu lantas meraih tangannya. “Itu semua sudah takdir. Aku rasa akan ada hikmah di balik kejadian itu. Bisa saja hari itu kamu juga akan mati, tetapi para dewa masih melindungimu. Karena itu, aku mohon bertahanlah.”
“Aku tidak pantas untuk ada di dunia ini. Mungkin aku terlahir sebagai wanita pembawa sial. Buktinya, orang tua dan penduduk desa mati. Dan Lian …. ” Li Jia terdiam seiring air mata yang kembali jatuh.
“Ada apa dengannya? Li Jia, ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Liang Yi mencoba mencari tahu.
“Saat itu kami berdua akan pergi ke padang bunga. Kami baru saja kembali dari desaku untuk mengunjungi makam orang tuaku. Saat meninggalkan desa, kami dihadang beberapa orang lelaki dan mereka menyerang kami.” Li Jia terdiam sesaat sambil menyeka air matanya.
“Rupanya mereka ingin membunuhku. Liang Yi, apa salahku sampai orang-orang yang aku cintai harus mati? Apa yang sudah aku perbuat hingga mereka ingin membunuhku? Lian telah mati karena menolongku. Dia telah mengorbankan nyawanya karena diriku. Lalu, sekarang apa yang harus aku lakukan?” Li Jia memukul dadanya sendiri, hingga Liang Yi meraih tangannya dan memeluknya.
“Tidak ada yang perlu kamu lakukan. Biar aku dan ayahku yang akan mengurusnya. Kamu tenang, ya.” Li Jia menangis di pelukan Liang Yi. Dia telah putus asa dan tidak tahu harus melakukan apa. Kematian demi kematian orang yang dicintai membuatnya menyalahkan dirinya sendiri.
Liang Yi turut merasa sedih atas penderitaan Li Jia. Dia ingat saat mereka pertama kali bertemu. Wajah mungil Li Jia tampak pucat. Kakinya berdarah karena berusaha melarikan diri dari para pembunuh itu. Bagaimana bisa seorang gadis kecil yang tampak lemah bisa menghadapi ujian takdir yang begitu memilukan. Liang Yi mengeratkan pelukannya, hingga membuat rasa sayangnya pada Li Jia kian memuncak.
“Li Jia, tetaplah tinggal di sini. Izinkan aku untuk menjagamu. Selama sepuluh tahun aku mencarimu dan kini aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Li Jia melepaskan pelukannya dan menatap Liang Yi. “Apa maksudmu? Kenapa aku harus tinggal di sini? Tidak! Aku akan mencari orang-orang yang sudah membunuh keluargaku dan Lian!” Li Jia melepaskan tangan Liang Yi dan memalingkan wajahnya ke tempat lain.
Liang Yi tampak begitu sabar menghadapi sikap Li Jia karena dia mengerti dengan kondisinya yang masih labil. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Dengan cara apa kamu menemukan pembunuh-pembunuh itu? Apa kamu sudah punya rencana?” tanya Liang Yi yang membuat Li Jia terdiam.
“Aku tahu kamu marah dan dendam, tetapi kamu tidak bisa membalas tanpa ada rencana yang matang. Aku dan ayahku sudah pergi ke tempat kalian dihadang dan kami tidak menemukan siapa pun di tempat itu. Tak ada satu pun mayat di sana,” jelas Liang Yi.
“Tidak mungkin! Lian berhasil membunuh mereka. Mana mungkin jasad mereka tidak ada di tempat itu. Itu tidak mungkin!” seru Li Jia seakan tidak percaya.
“Karena itu, kami yakin kalau ada yang ingin membunuhmu, tetapi kami belum tahu motif mereka. Jadi, untuk keselamatanmu lebih baik kamu tinggal di rumahku. Orang tuaku dan adikku tidak akan keberatan kalau kamu tinggal di sini. Beri aku dan ayahku kesempatan untuk mencari tahu lebih dalam lagi tentang kasus ini.” Liang Yi berusaha meyakinkan Li Jia karena dia sangat mengkhawatirkan gadis itu.
“Apa benar kalian sudah mencari tahu tentang pembantaian desaku?” tanya Li Jia yang mulai luluh.
Liang Yi mengangguk pelan. “Kami sudah menangkap orang-orang yang membantai desamu, tetapi ada satu kejanggalan karena menurut mereka ada orang yang menghasut mereka dengan alasan kalau kalian adalah pembawa kesialan karena memiliki warna mata yang berbeda dari kebanyakan orang. Dan orang yang menjadi otak penghasutan hingga kini tidak ditemukan.”
Li Jia mendengar dengan seksama. “Aku mengenali lelaki itu. Selama ini aku menutupi wajahku karena mataku ini. Aku sadar karena aku berbeda. Dan selama ini pula aku menjadi penari untuk mencari lelaki itu, tetapi aku tidak menemukannya,” ujar Li Jia dengan tangan yang mengepal. Liang Yi lantas menggenggam tangannya.
“Jangan khawatir, aku pastikan kalau lelaki itu akan aku temukan.” Li Jia menatap pemuda itu. Liang Yi tersenyum. Li Jia memalingkan wajahnya karena senyuman itu mengingatkannya pada Lian.
“Aku tahu kamu sedih karena kehilangan Lian. Walau aku sadar tidak pantas untuk mengatakannya, tetapi aku ingin memastikan kalau mulai saat ini aku yang akan menjagamu. Aku akan melindungimu sama seperti yang Lian lakukan padamu. Aku akan menjagamu sama seperti kamu melindungiku saat kita masih kecil dulu. Kamu masih ingat, kan?”
Li Jia menunduk karena ingatan masa lalu kembali hadir. Seorang pemuda yang dihadang sekelompok anak jalanan membuat dirinya mendekati pemuda itu dan menghalangi anak jalanan untuk menyakitinya. Pemuda itu berlari dengannya karena menghindar dari kejaran anak jalanan itu. Walau kakinya berdarah, mereka terus berlari sambil bergandengan tangan.
Li Jia tersenyum saat mengingat peristiwa itu. Namun, senyumannya memudar saat wajah Lian terlintas di benaknya.
“Sekarang, bergegaslah,” ucap Liang Yi sambil berdiri dari tempat duduknya. Li Jia lantas menatapnya heran. “Kenapa? Apa kamu selamanya akan berbaring di ruangan ini? Cepatlah ganti pakaianmu karena kita akan makan siang bersama.”
“Tapi, aku …. ”
“Di lemari ada pakaian yang sudah disiapkan oleh ibuku. Kamu bisa memakainya,” lanjut Liang Yi sambil menunjuk lemari pakaian yang terletak di sudut ruangan. Pemuda itu kemudian pergi.
Setelah Liang Yi pergi, Li Jia lantas bangkit dari tempat tidur dan menuju sebuah meja rias. Dia duduk dan memerhatikan wajahnya di depan cermin. Tangannya menyentuh sudut wajahnya yang terlihat memucat.
Li Jia kemudian berjalan menuju lemari dan mengambil baju yang sudah disiapkan Nyonya Liang. Sebuah hanfu berwarna biru muda menjadi pilihannya. Hanfu itu lantas dipakainya.
Di depan cermin, dia kembali memerhatikan wajahnya. Rambut panjangnya disisir dan dibiarkan terurai. Setelah memakai riasan bedak dan pewarna bibir alami, wajahnya terlihat lebih berseri.
Li Jia tampak ragu untuk keluar dari kamar. Namun, dia tidak bisa menghindar dari keluarga yang sudah menolongnya. Dengan memberanikan diri, dia akhirnya keluar dari ruangan itu.
Li Jia melihat sekeliling ruangan yang terlihat sepi. Dia menghentikan langkah sebentar karena tidak tahu harus pergi ke mana.
“Ayo, kita ke taman.” Li Jia terkejut saat Liang Zia menarik tangannya dan membawanya ke sebuah taman yang cukup luas di samping rumah. Li Jia mengikuti gadis itu dan mereka berhenti di depan pintu yang terhubung dengan taman.
Di halaman yang cukup luas itu dia melihat Liang Yi dan Jenderal Liang Zhou sedang berlatih tanding. Kedua lelaki itu sedang bertarung dengan memakai pedang kayu. Li Jia menatap Liang Yi yang terlihat tangguh saat diserang oleh ayahnya. Keduanya berlatih dengan sangat serius. Namun, saat melihat Li Jia, Liang Yi terperanjat, hingga membuatnya tidak memerhatikan serangn ayahnya. Jenderal Liang Zhou yang melihat itu lantas menahan serangannya dan mengalihkannya ke ruang hampa.
“Liang Yi, fokuslah!” Jenderal Liang Zhou memperingatkannya. Liang Yi kembali berkonsentrasi dan melanjutkan latihan mereka.
“Ayo, kita duduk!” ajak Liang Zia sambil menarik tangan Li Jia menuju saung yang berdiri di tengah taman. Di sana ada Nyonya Liang yang sedang duduk sambil menyulam.
Melihat Li Jia, Nyonya Liang meletakkan kain sulamannya dan mendekati gadis itu. Dengan ramah, dia mempersilakan Li Jia untuk duduk di sampingnya.
“Bibi senang karena kamu sudah benar-benar sembuh. Lenganmu sudah tidak sakit lagi, kan?” tanya Nyonya Liang dengan begitu perhatian.
“Berkat kebaikan Bibi dan keluarga, aku kini benar-benar sembuh. Terima kasih, Bi,” jawab Li Jia sungguh-sungguh. Wanita itu lantas tersenyum.
Li Jia memerhatikan sulaman yang dikerjakan Nyonya Liang. Wanita itu sangat piawai memainkan jarum dan benang sulam, hingga menghasilkan sulaman bunga yang sangat indah. Li Jia memerhatikannya, hingga wanita itu melihatnya.
“Apa kamu ingin mencobanya?” Nyonya Liang menyodorkan kain sulamannya itu pada Li Jia. Namun, gadis itu hanya menggeleng. “Cobalah. Bibi ingin melihat hasil sulamanmu,” lanjut wanita itu.
Li Jia lantas mengambil kain itu dan melanjutkan sulamannya. Baginya, menyulam bukanlah hal yng baru karena sejak tinggal di Rumah Pelangi, Yi Wei mengajarkan berbagai keterampilan padanya.
Melihat Li Jia yang pandai menyulam, Nyonua Liang tersenyum. “Liang Zia, kamu harus banyak belajar dari Li Jia. Lihat saja, dia sudah menyelesaikan sulaman Ibu hingga sampai selesai,” ucapnya pada anak gadisnya. Liang Zia hanya cemberut. Walau begitu, dia mengakui kehebatan Li Jia dalam menyulam.
“Apa aku bisa memintamu untuk membuatkan syal untukku?” Liang Yi tiba-tiba muncul bersama Jenderal Liang Zhou. Kedua lelaki itu tampak basah dengan peluh.
“Kakak, kenapa tidak minta padaku? Aku akan membuatkannya untuk Kakak,” jawab Liang Zia dengan senyum yang mengejek. Gadis itu tampak manja sambil menggelayutkan tangannya di lengan Liang Yi.
“Kalau kamu bisa, buat apa Kakak meminta Li Jia membuatkannya untukku?” Liang Zia cemberut dan melepaskan tangannya. Namun, gadis itu kembali tersenyum saat ayahnya membelanya.
“Kalau begitu, buatkan saja untuk Ayah. Ayah pasti akan memakai syal yang dibuatkan oleh putri Ayah.”
Melihat kebersamaan mereka, Li Jia tampak cemburu. Dia tidak merasakan kebersamaan seperti itu lagi sejak kematian orang tuanya. Dia hanya bisa ikut merasakan kebersamaan yang ternyata masih asing untuknya.
Nyonya Liang seakan mengerti dengan kegundahan hatinya. Wanita itu lantas menggenggam tangannya. “Mulai saat ini, anggaplah kami sebagai keluargamu. Kamu boleh memanggilku Ibu.” Nyonya Liang tampak sungguh-sungguh, begitu pun dengan semua yang ada di tempat itu. Liang Yi dan Liang Zia mengangguk seakan mereka tidak keberatan dengan hal itu.
“Li Jia, anggap aku juga sebagai ayahmu. Ayah akan terus mencari orang yang sudah membunuh orang tua dan pengawalmu. Percayakan semuanya pada Ayah.”
Li Jia menatap Jenderal Liang Zhou dan dia pun menunduk. Dia menahan tangis karena selama ini telah menganggap lelaki itu tidak peduli padanya. Namun, melihatnya kini yang berusaha mencari tahu tentang pembantaian desanya membuat Li Jia terharu.
Melihatnya menangis, Nyonya Liang lantas memeluknya. “Jangan menangis lagi. Mulai saat ini kamu harus melupakan kesedihanmu itu. Ibu harap kamu akan hidup bahagia,” ucapnya yang membuat Li Jia memeluknya erat.
Li Jia begitu mendapat perhatian lebih dari mereka. Keluarga yang harmonis dan bahagia kini bisa dia rasakan. Walau mereka bukanlah keluarga kandungnya, tetapi perhatian mereka seperti sebuah keluarga kandung.
Sejak tinggal bersama keluarga Jenderal Liang Zhou, Li Jia seakan mendapatkan tempat untuk pulang. Dia seolah dapat merasakan kasih sayang dari orang tuanya sendiri.
Sudah tiga bulan, Li Jia tinggal di rumah itu. Dia mulai terbiasa dengan kebiasaan mereka. Walau hanya berdiam di dalam rumah, tidak membuatnya merasa bosan. Dengan berada di dekat mereka, Li Jia sudah merasa bahagia.
Jenderal Liang Zhou dan Liang Yi selalu pulang pergi antara rumah dan istana. Tugas mereka sebagai pegawai istana mengharuskan mereka untuk hadir di sana.
Saat ini, mereka sedang melakukan pertemuan yang dipimpin langsung oleh raja. Beberapa kasus kejahatan mulai meresahkan masyarakat. Karena itu, raja meminta untuk melakukan pertemuan.
Dari hasil pertemuan itu, Jenderal Liang Zhou diangkat untuk menjadi kepala penyidik dari beberapa kasus kejahatan, di antaranya adalah perampokan yang dilakuakn oleh beberapa orang yang disebut sebagai bandit. Karena itu, dia dan seluruh keluarganya akan pindah dan tinggal di desa yang dimaksud.
“Apa? Kamu juga akan pindah dengan keluargamu?” tanya Pangeran Wang Li pada Liang Yi. Pemuda itu seakan tidak terima kalau sahabatnya itu pergi jauh darinya.
“Liang Yi, kalau kamu pergi, lalu bagaimana denganku? Siapa yang akan menjadi lawan tandingku?”
“Tenanglah, aku hanya pergi sementara. Jika bandit-bandit itu sudah dilumpuhkan, kami pasti akan kembali lagi ke sini,” jawab Liang Yi.
“Ah, apa kamu ingin melihatku gila karena kesepian? Aku telah kehilangan Li Jia dan sekarang aku akan kehilanganmu. Liang Yi, apa sebaiknya kamu tidak usah ikut saja?” pinta Pangeran Wang Li yang mencoba untuk membujuk, tetapi keputusan Liang Yi sudah bulat. Dia akan ikut bersama keluarganya karena ada alasan yang lebih penting, yaitu menjaga dan melindungi kelurganya. Namun, tak hanya itu. Ada alasan yang lainnya, yaitu untuk selalu dekat dengan Li Jia. Gadis itu telah mengikat hatinya. Perlahan, dia mulai jatuh cinta dan tidak ingin jauh dari gadis itu.