Project Rangers episode 11


“Aku yang mengambil gitarmu. Jika ingin gitarmu kembali, taruh 8 milyar dalam trash bag, bawa uang tersebut besok jam 4 sore ke TK Ceria, tunjukkan uang tersebut ke CCTV taman. Setelah bel berbunyi, masukkan trash bag tersebut ke dalam tong sampah. Ada petunjuk yang mengantarkan kamu pada gitarmu disana. Jika kamu mengambil petunjuk tersebut tanpa persetujuan dariku, maka kamu tidak akan melihat gitarmu lagi. Jangan sekali – kali melibatkan polisi. Ingat, aku mengawasimu.” Juni membaca email yang dibuka Tomo.
“Itu email yang ditunjukkan Bintang padaku tadi pagi.” Kimi setelah Juni selesai membacakan email tersebut.
Semua mata tertuju pada Tomo, curiga.
“Sungguh! Bukan aku!” Tomo panik dan binggung.
Sedetik kemudian, “aku percaya.” Pipit membela Tomo. “Lebih baik sekarang kita cegah Bintang menuruti perintah dalam email tersebut.” Pipit kemudian. Yang lain mengangguk.
Pipit melirik jam di laptop Tomo. Pukul 14.18.
“Cepat kamu telepon Bintang, Kim.” Saran Pipit.
“Hem.” Kimi mengangguk.
Beberapa saat kemudian, wajah Kimi semakin panik. Bintang tidak juga mengangkat teleponnya. Dia coba telepon lagi, tetap tidak diangkat juga.
“Nihil. Tidak diangkat.” Kimi setelah beberapa kali mencoba.
“Kita lapor polisi saja…” Juni menyarankan.
“Jangan!” Potong Pipit. Kimi dan Juni melihatnya, menanti penjelasan. “Tomo… juga terlibat. Jadi mungkin masa lalunya juga akan terungkap.” Pipit melirik pada temannya satu – satu. “Lagipula… di email tertulis jangan melibatkan polisi. Bukankah ini seharusnya menjadi keputusan Bintang? Kita harus dapat persetujuan Bintang dulu untuk lapor polisi, jangan mendahuluinya untuk mengambil keputusan.” Pipit menambahkan.
“Kamu benar.” Kimi setelah mendengar penjelasan Pipit. “Kita harus bicara pada Bintang terlebih dahulu.”
Mereka bergegas keluar rumah, berlari menuju mobil Kimi.
“Ke rumah Bintang, Pak!” perintah Kimi setelah semua masuk. “Tak pakai komentar.” Kimi lagi sesaat Pak Leon hendak membuka mulutnya. “Cepat!” tandasnya.
Pukul 14.59…
“Tidak diangkat.” Lagi – lagi Kimi harus menutup teleponnya.
“Lebih cepat lagi, Pak…” Tomo yang duduk di sebelah Pak Leon mulai gelisah.
“Lebih cepat bagaimana? Lha wong jalannya macet begini…” Jawab Pak Leon.
“Ck!” Tomo berdecak kesal, lalu membuka pintu mobil tersebut dan langsung berlari keluar.
“Tom! Tomo!” Panggil Kimi yang melongokkan kepalanya dari dalam mobil.
“Tidak ada waktu lagi. Lebih baik aku menemui Bintang di TK Ceria!” Teriak Bintang dari pinggir jalan. Dia lalu berlari menuju pangkalan ojek.
Pukul 15.06.
“Itu jamnya cocok, Pak?” Tomo pada tukang ojek yang mangkal. Dia tidak berpikir untuk melihat jam di handphonenya untuk memastikan.
“Cocok…” Jawab tukang ojek tersebut.
“Oke, kalau begitu saya pinjam motor Bapak.” Potong Tomo.
“Hah? Apa – apaan? Tidak bisa!” Tolak tukang ojek.
Tomo memegang kepalanya, frustasi. “Saya bayar! Kalau tidak percaya Bapak ikut saya. Saya yang bawa motornya, Bapak bonceng di belakang.”
“Kamu begal, ya? Mau nyolong motor saya??” Tukang ojek meninggikan suaranya, membuat rekan seprofesinya berkumpul.
“Tidak, tidak! Dengar, saya harus segera ke TK Ceria. Kurang lebih 45 menit dari sini. Tapi kalau saya yang bawa motornya, 20 menit bisa sampai. Jadi… tolong, biarkan saya yang kemudikan motornya.” Tomo berusaha menjelaskan.
“Jadi kamu pikir kami ini lambat? Kamu meremehkan kami??” Tukang ojek itu kembali meninggikan suaranya, didampingi oleh rekan – rekan yang memasang tampang garang, terprovokasi oleh ucapan bernada tinggi tersebut.
“Duh! Bukan! Bukan begitu!” Tomo menyangkal dugaan tukang ojek.
Tomo melirik jam, pukul 15.13. “Mmm… begini saja Pak, ada tidak yang bisa mengantarkan saya dengan cepat? Ngebut maksudnya… sebelum jam 4 saya harus sudah sampai di sana. Saya bayar pakai handphone saya. Kalau dijual, harganya mungkin sekitar 2 juta.” Tomo menunjukkan handphonenya.
Seseorang diantara tukang ojek tersebut maju, menerima tantangan Tomo.
“Deal.” Ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Tomo.
Tomo mengamati sejenak, mempertimbangkan. Kumis tebal lelaki di hadapannya tampak sangat meyakinkan. “Deal.” Balasnya menjabat tangan pak kumis.
Pak kumis membuktikan kemampuannya. Selip kanan, selip kiri, memacu motornya sekencang mungkin. Tiba – tiba motor pak kumis melambat.
“Kenapa, Pak?” Tanya Tomo.
“Ada yang aneh.” Jawabnya lalu mematikan motornya.
Pak kumis lalu memperhatikan pemotor lain yang mendahuluinya. Ada yang memutar balik. “Ada apa?” Tanya pak kumis pada pemotor tersebut.
“Razia!” jawabnya sambil lalu.
“Waduh…” wajah garang pak kumis menghilang.
“Kenapa, Pak?” Tomo mengulangi pertanyaannya.
“Motor ini bodong, tidak ada suratnya. Kita lewat jalan lain saja…” jawab pak kumis.
Tomo melihat jam di handphonenya, pukul 15.37. “Ayo cepat, Pak!” Tomo menyetujui.
Pak kumis memutar balik motornya, memacunya segera, melewati jalan kampung. Hampir sampai. Pak kumis membelokkan motornya, dan… berhenti. Gang ditutup. Padahal TK Ceria ada di ujung gang tersebut.
“Kita tidak boleh masuk, Pak?” Tomo pada penjaga portal gang tersebut.
“Maaf, ada yang meninggal Mas. Jadi untuk sementara gang ditutup. Kendaraan tidak boleh masuk.” Penjaga portal menjelaskan tanpa diminta.
“Lewat jalan lain lagi?” Pak kumis meminta persetujuan Tomo.
“Tidak Pak. Waktunya tidak cukup. Saya lari saja.” Tomo turun dari motor, melihat jam di handphonenya, memberikan handphone tersebut pada pak kumis. “Terima kasih.” Ucapnya, lalu berlari masuk gang. Pukul 15.53.
Tomo menurunkan level larinya saat sampai di rumah duka, menggantinya dengan berjalan cepat sambil sesekali membungkukkan badan saat berpapasan dengan orang. Kurang lebih 5 meter dari rumah duka, dia berlari lagi, sekencang mungkin.
Bintang menunjukkan isi trash bag yang dibawanya pada CCTV taman. Teet… teet… teeeett… bel berbunyi dua detik kemudian.
Tomo masih berlari. “Sial!” umpatnya kesal tak dapat mengetahui dengan pasti jam berapa saat ini.
Bintang membuka tutup tempat sampah di taman tersebut, ada amplop di sana. Dia mengambilnya, menukarnya dengan trash bag yang dibawanya.
Tomo berbelok, sampailah dia di tempat yang dituju. Sepi. Ngik ngok… suara ayunan yang sepertinya baru selesai dimainkan, ditinggalkan berayun sendiri. Tomo mengalihkan perhatiannya pada tempat sampah yang ada di taman TK tersebut. Membuka tutupnya, dan kosong. Dia mengembalikan tutup tersebut pada tempatnya, lalu menatap CCTV taman dengan kesal, menantangnya.
Seeorang yang melihat tantangan Tomo tersebut dari layar monitor tersenyum menyeringai, mirip dengan senyumannya saat membaca email dari Juni.

Tomo membuang kepalan tangannya lalu berlari menuju gedung TK Ceria, melihat setiap ruangannya, mencari ruang kontrol.
Dari balik jendela ruang guru mata Tomo tak sengaja melihat jam. Pukul 16.18. “Sial!” dia memukul tembok dihadapannya dengan kesal. Berlari lagi, hingga akhirnya dia temukan ruang penjaga TK tersebut.
Dibukanya pintu di depannya, dan Tomo menemukan seseorang tergeletak di sana. Tomo bergegas memeriksa denyut nadi, jantung, dan napasnya. Hanya tertidur, pikirnya. Sepertinya seseorang telah memberinya obat tidur.
Tomo menggeletakkan penjaga tersebut kembali. Dia lalu keluar, menuju ruang sebelahnya, ruang kontrol. Dibukanya pintu ruang tersebut. Dia disambut oleh layar – layar monitor yang menampilkan gambar hasil tangkapan CCTV. Dia menghampiri salah satu monitor yang menampilkan gambar sebuah sudut taman. Memencet tombol rewind pada pengendalinya namun perintahnya ditolak. “Sial!” Tomo mengumpat lagi. Dia lalu melakukan hal serupa pada monitor lainnya. “Kurang ajar…” kekesalan Tomo memuncak. Seluruh rekaman CCTV dihapus, dan mode merekam CCTV pun dimatikan. Jadi Tomo tidak dapat mengetahui pelaku penipuan terhadap Bintang.
Tomo berlari lagi, mencari pintu belakang. Karena bila pelakunya melarikan diri lewat gerbang depan, dia pasti sudah memergokinya.
Tidak ada. TK ini tidak memiliki pintu belakang. Sehingga akses satu – satunya adalah gerbang depan dan harus melewati taman.
Dia berpikir kemungkinan sudut yang tidak akan diawasi CCTV; kamar mandi! Dia berlari menuju kamar mandi, memeriksanya satu – satu. Tidak ada yang aneh. Dimana lagi ada kamar mandi? Pikirnya.
“Ah!” dia teringat sesuatu. Dia pun berlari, menuju ruang guru. Saat tadi dia tak sengaja melihat jam di ruang tersebut, di bawah jam tersebut ada pintu dengan tulisan ‘toilet’ tergantung di bagian atasnya.
Tomo sampai di depan ruang guru, sedikit ragu untuk masuk. Dia pegang handle pintunya, menariknya ke bawah dan… kaget. Terbuka, tidak dikunci. Dia buru – buru masuk, semakin yakin dengan teorinya bahwa pelakunya melarikan diri dari toilet guru.
Pukul 16.40. Tomo membuka pintu toilet. Kanan untuk pria, kiri untuk wanita. Tomo ke kanan. Dilihatnya toilet tersebut, tidak ada yang aneh. Dia lalu menuju sisi satunya, toilet wanita. Dia tidak terlalu terkejut menemukan kaca jendela ventilasi di toilet tersebut pecah. Dia juga menemukan sebuah kursi di sana.
Jadi pelakunya tidak jago memanjat, pikir Tomo. Dia lalu menaiki kursi tersebut, melongok ke luar jendela ventilasi yang pecah tersebut.
“Apa dia seorang wanita?” Tomo saat melihat jejak sepatu berukuran kecil di tanah.

Bintang memasuki sebuah kantor ekspedisi.
“Permisi…” Ucapnya.
“Ya, ada yang bisa dibantu?” Jawab seorang kurir setelah meletakkan paket yang dibawanya.
“Mmmm… saya mau ambil barang. Bintang menunjukkan kertas dari dalam amplop yang dibawanya.
Kurir tersebut melihat jam tangannya, pukul 16.32. “Sebentar, semoga masih bisa diproses hari ini.” lalu mengambil kertas tersebut dari tangan Bintang, membawanya masuk ke sebuah ruangan.
“Terima kasih…” Bintang tidak bertenaga.
Beberapa saat kemudian, kurir keluar dengan sebuah case gitar. “Anda beruntung. Petugas sirkulasi paket lembur hari ini.” kurir tersenyum memberikan case gitar tersebut pada Bintang.
“Terima kasih… terima kasih banyak…” Bintang tampak sangat bahagia menerima case gitar tersebut.
“Sama – sama.” Balas kurir. “Tolong tanda tangani tanda terimanya, ya…” sambil menyodorkan selembar kertas dan pulpen pada Bintang.
Bintang melakukan apa yang diminta kurir tersebut.
“Terima kasih.” Lalu kurir kembali masuk ke ruangan untuk menyerahkan tanda terima tersebut.
Bintang dengan antusias membuka case gitar tersebut.
BODOH!
Tidak ada yang ditemukan Bintang dalam case gitar tersebut kecuali kata ‘BODOH!’ yang ditulis dengan pilox putih di bagian dalam case gitar tersebut.
“H-h-hahahaHAAAAAA!!!!” Bintang menertawakan kebodohannya lalu berteriak histeris.

“Tomo memberikan handphonenya pada tukang ojek sebagai bayaran. Kata tukang ojek yang membawa handphonenya, mungkin Tomo belum jauh dari TK Ceria.” Pipit setelah menutup teleponnya. “Kalian di sini saja, menunggui Bintang. Aku yang cari Tomo.” Pipit pada Kimi yang cemas dan Juni yang menunduk saja karena efek rambut basahnya hilang, rambutnya sudah kering.
Pipit berlari. Kimi menunduk setelah kepergian Pipit. Juni meremas pundak Kimi, berusaha menguatkan.
“Taksi, Pak!” Pipit pada supir taksi yang mangkal. “Ke TK Ceria.”
Taksi pun melaju.
Pukul 17.28, handphone Pipit berbunyi. Nomor yang tidak dikenal.
“Halo?” Kening Pipit berkerut.
“Pit…” Suara di seberang.
“Tomo?? Kamu dimana?”
“Masih di TK Ceria. Aku hanya mengabari. Aku sudah tidak memiliki handphone, jadi…”
“Ya, aku tahu.” Potong Pipit. “Kamu jangan kemana – mana, ya… aku sedang menuju kesana.”
“Oke…”
Telepon pun dimatikan.
“Terima kasih, Pak.” Tomo mengembalikan handphone tersebut pada pemiliknya yang sudah bangun dari tidurnya.

Taksi tersebut sampai di depan gerbang TK Ceria. Pipit menghambur menemui Tomo yang menunggunya sambil bersandar di gerbang, lalu menariknya masuk ke dalam taksi.
“Kita harus cepat ke rumah sakit!” Pipit saat menarik Tomo. Tomo menurut saja.
“Ada apa?” Tomo setelah taksi meninggalkan TK Ceria.
“Bintang depresi.” Jawab Pipit singkat.
Tomo terkejut mendengarnya. “Lalu bagaimana keadaannya?”
“Tadi saat aku meninggalkan rumah sakit, dokter masih menanganinya. Dia hanya berontak dan berteriak. Kimi dan Juni menunggunya di rumah sakit.” Jawab Pipit.
“Apa yang terjadi?”
“Bintang mendapat petunjuk untuk mengambil gitarnya di sebuah kantor ekspedisi, namun yang dia dapat hanyalah case gitar kosong bertuliskan bodoh di dalamnya. Bintang depresi. Orang – orang dari agen ekspedisi yang menolongnya, menelepon ambulan dan mengabari kami.” Pipit bercerita.
“Mereka tidak tahu siapa pelakunya?”
Pipit menggeleng. “Orang ekspedisi bilang, paket itu datang dari kantor cabangnya di Desa Mana. Di nama pengirim hanya tertulis Musikonline. Mereka tidak tahu siapa pengirim sebenarnya. Ketika kami menelepon nomor yang ada dalam data pengirim, nomor tersebut aktif. Alamat di data pengirim juga benar. Namun alamat dan nomor telepon tersebut bukan milik Musikonline, melainkan milik Miaow Pet Shop.”
“Kita harus ke kantor cabang ekspedisi tersebut untuk menelusuri siapa pelakunya.” Tomo menanggapi.
“Hem. Tentu.” Pipit mengangguk. “Tapi tidak sekarang. Bintang sedang butuh dukungan kita. Selain itu, kantor ekspedisi tersebut pasti sudah tutup.” Lanjut Pipit.
Tomo mengangguk paham.
Pukul 19.25, taksi tersebut sampai di rumah sakit.
Tomo dan Pipit berlari menuju kamar tempat Bintang dirawat.
“Pipit…” Kimi menghambur memeluk Pipit saat melihatnya datang.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.
“Bintang akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa…” Kimi sambil sesenggukan. “Dokter bahkan memakaikannya jaket pengekang agar dia tidak berusaha menyakiti dirinya sendiri…” tangis Kimi pecah. Pipit mengelus kepalanya, mencoba menenangkan.
“Ini semua salahku!” Tomo memegangi kepalanya.

“Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkannya. Tenang saja, Bintang tidak gila. Dia hanya sedang terguncang.” Dokter yang menangani Bintang pada para ranger. “Sudah malam, jam besuk sudah habis dan kalian tidak diperbolehkan untuk menginap. Kalian pulang saja, percayakan Bintang pada kami.” Dokter RSJ tersebut dengan senyum.
“Dokter benar, mari kita pulang…” Pipit sambil menuntun Kimi yang belum rela meninggalkan Bintang.
“Terima kasih Dok, permisi…” Pamit Tomo.
“Sama – sama…” Jawab dokter dengan name tag bertuliskan Amanjiwo di bawah fotonya.

“Istirahat dan makan Kim, jangan sampai kamu sakit.” Pesan Tomo saat turun dari mobil Kimi.
Kimi hanya tersenyum dan mengangguk samar.
Mobil Kimi pun berlalu. Tomo berjalan menuju rumah kontrakannya. Dia teringat keterangan yang diberikan oleh penjaga TK Ceria; “Ada seorang gadis. Cantik, putih, rambutnya pendek berwarna coklat. Dia memberikan sepotong kue dan segelas teh pada saya. Katanya hari ini adiknya yang bersekolah di TK ini berulang tahun. Makanya saya terima.”
Ada satu nama yang terlintas dalam pikiran Tomo. “Tidak mungkin.” Tomo menggeleng, buru – buru menghapus nama itu dari pikirannya.
Tomo langsung menuju kamar ketika memasuki rumah kontrakannya. Dia melihat laptopnya. Beberapa saat kemudian alisnya terangkat lalu buru – buru menghampiri laptopnya tersebut.
Dibukanya kembali akun email palsu yang dibuatnya, lalu dia buka kembali email yang terkirim ke Bintang. Dia berusaha melacak dari mana email tersebut dikirim. Dapat! Dia lalu memasukkan sebuah koordinat lokasi pengirim email tersebut. Dia perbesar tampilan peta yang ada di layar laptopnya, lagi. Keningnya berkerut. Dia tahu daerah tersebut. Perbesar lagi, lagi, dan… “Tidak mungkin!” layar laptopnya menunjukkan lokasi warnet tempat Dika bekerja. Tomo lalu mencari pulpen dan sembarangan merobek buku yang berhasil ditemukannya. Dia mencatat beberapa digit angka dan mengecek kembali jam berapa email tersebut terkirim.
Tomo lalu bergegas pergi, memacu motornya menuju warnet tempat Dika bekerja.
Kling! Tomo menerobos masuk warnet setelah memarkir dan menaruh helmnya.
“Wow! Maaf, tapi kamu harus antri Tom…” Dika yang melihat Tomo terburu – buru.
“Aku tidak ingin menggunakan jasa internet.” Tomo menyanggah Dika.
“Lalu?”
“Tolong cari tahu komputer mana yang memiliki alamat IP ini.” Tomo menyerahkan sobekan kertas yang dibawanya pada Dika.
“Oke…” Dika lalu memencet – mencet tombol keyboard di depannya, memasukkan deretan angka yang tertulis di kertas tersebut. “Komputer nomor 18, Tom.” Jawabnya kemudian.
“Bagus.” Tomo bagai mendapat jackpot. “Bisakah aku lihat rekaman CCTV kemarin sekitar jam 10 malam?” Tomo tanpa basa – basi.
“Bisa, tapi untuk apa?” Dika bingung. “Aku kena shift pagi kemarin. Ada masalah kah?”
“Aku hanya ingin tahu siapa yang menggunakan komputer tersebut pada saat itu.”
“Oke, ini dia.” Dika menunjukkan rekaman CCTV yang diminta Tomo.
Tomo mendekat.
“Sepertinya bilik nomor 18 kosong.” Komentar Dika.
Tomo diam saja, sambil tetap memperhatikan.
Seseorang masuk bilik tersebut.
“Hei, aku tahu orang ini!” Dika menunjuk layar komputer di depannya.
Bintang lebih memfokuskan lagi perhatiannya pada gambar dan jam rekaman. Pukul 22.13 orang tersebut masuk bilik.
“Kamu kenal juga?” Tanya Dika.
Bintang tidak menjawab.
Dika mengedikkan bahu, kembali melihat rekaman tersebut.
Pukul 22.22 email terkirim, dan orang tersebut masih di dalam bilik. Tomo mengepalkan tangannya.
“Dia menyiramkan air mineral ke kepalanya sendiri dan meninggalkan sebelah antingnya sebagai jaminan. Aku ingat betul karena itu terjadi di hari pertamaku kerja…” Dika bercerita tanpa diminta.
“Juni…” Tomo sambil tetap melihat rekaman tersebut.
Pukul 22.28, gadis berambut bob tersebut meninggalkan bilik nomor 18.

Juni tidak tenang dalam tidurnya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri beberapa kali. Dia merasa seseorang masuk markas melalui jendela di atas pintu belakang. Mimpi buruk! Ini pasti mimpi buruk! Lalu terbangun dengan mata terbelalak kaget karena seseorang membekap mulutnya.
“Halo, Jean!” Sapa orang tersebut membuat Juni takut.


Project Rangers

Project Rangers

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2016 Native Language: Indonesia
Sebuah cerita bernuasa dorama ala Jepang.Serangkai sahabat yang membentuk sebuah kelompok bernama "Project Ranger"  yang bertujuan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset