“Tapi kalian bakal bantu aku, kan?” Pipit ke Kimi dan Tomo satu – satu.
“Pasti.” Kimi tersenyum lebar, diikuti anggukan dan senyum simpul Tomo sedetik kemudian.
Pipit tersenyum.
“Oke, kita lengkapi strukturnya dulu kalau begitu.” Kimi bersemangat.
Pipit keluar dari kantor guru. Struktur kepanitiaan pensi yang dibentuknya telah disetujui. Yap, Pipit didaulat menjadi ketua pelaksana pensi. Dia lalu menempelkan selembar kertas yang telah ditanda tangani oleh wakepsek tadi ke papan pengumuman sekolah.
Sepulang sekolah, nama – nama yang terpampang tadi berkumpul di bawah pohon rindang, pinggir lapangan.
“Selamat siang teman – teman, terima kasih telah menyempatkan waktunya untuk hadir. Oiya, sebelumnya ada yang keberatan mungkin dengan susunan kepanitiaan ini?” Pipit memandang yang hadir satu – satu.
Beberapa dari mereka saling pandang, namun kemudian menunduk diam setelah matanya bertemu mata terbelalak milik Kimi, yang menjabat sebagai koordinator keamanan.
“Oke, kalau tidak ada. Langsung saja kalau begitu. Ada yang tahu kenapa aku memilih lokasi ini untuk bertemu?”
Tidak ada yang menjawab.
“Karena pensi akan diadakan di lapangan ini. Sekalian survei lokasi gitu ceritanya…”
Beberapa dari mereka menggangguk – angguk.
“So, ada yang punya ide untuk konsep?” Pipit tanpa basa – basi.
Diskusi pun dimulai. Mereka cukup antusias. Sesekali muka mereka berkerut tampak berpikir, sesekali menggangguk, tertawa, tepuk tangan, high-five, menggeleng sambil menyilangkan tangan, dan ekspresi lainnya.
“Terima kasih banyak ya teman – teman, seru sekali tadi. Jangan lupa waktu kita 2 bulan, segera cari anggota terus dikonfirmasikan ke Desi.” Pipit ke arah Desi.
“Sip!” Desi, sang sekretaris mengacungkan jempolnya.
Pipit melirik Bintang sekilas. “Sama… yang belum menuliskan nomor telepon tolong ditulis di kertas yang tadi. Biar mudah koordinasi.”
Beberapa mengangguk. Bintang diam saja.
“Sekian, dan kita jargon dulu.” Pipit mengulurkan tangan kanannya, diikuti yang lain.
“Pensi hore – hore!” komando Pipit
“HURRAY!” teriak mereka bersama sambil mengangkat tangannya tinggi – tinggi.
“Huh!” Pipit menjatuhkan diri di bangkunya dengan kesal.
“Ada apa Pit?” Kimi yang duduk di depan Pipit memutar badannya ke belakang.
“Kurang sebulan, dan dana yang terkumpul belum ada setengah dari anggaran.” Pipit cemberut, Kimi mengelus tangan Pipit, berusaha menenangkan.
Sepulang sekolah…
“Danus bagaimana sih, Ver? Sudah tinggal sebulan lagi nih…” Pipit dengan marah dan kecewa menahan Vera yang hendak keluar kelasnya.
“Kita juga sudah usaha, Pit. Tapi coba kamu pikir, untuk acara internal sekolah seperti ini, apa ada yang mau kasih dana besar?”
Pipit terdiam mendengarkan jawaban koordinator danus itu. Teman – teman kelas Vera tidak mau ikut campur dan memilih pulang, melewatkan adegan di depan kelas tersebut.
“Kalaupun ada, kemungkinannya kecil. Sangat kecil.” Lanjut Vera. “Asal kamu tahu ya Pit, dana yang berhasil danus kumpulkan kalau ditambah dengan anggaran dari sekolah tuh sudah cukup untuk pensi tahun lalu. Pensi tahun ini saja yang muluk – muluk!” Vera yang telah berusaha tak mau disalahkan.
“Dan ini,” Vera mengangkat proposal danus yang dibawanya. “Ini pemborosan!” melempar proposal itu ke badan Pipit. “Buat apa mencetak proposal sebagus ini untuk acara internal sekolah yang jelas – jelas tidak menarik minat sponsor.” Lalu pergi meninggalkan Pipit sendirian di kelas 3D.
Bintang yang ternyata masih ada di dalam kelas mengangkat kepalanya dari meja, menghampiri Pipit, membantunya memungut proposal, menyerahkannya, lalu pergi tanpa kata – kata.
Mata Bintang bertemu dengan mata Tomo yang ternyata menyaksikan adegan tersebut dari luar kelas. Tak ada kata – kata, Bintang hanya berjalan pergi.
Di rumah, Pipit membaca proposal tersebut dengan seksama, sesekali menulis di selembar kertas, mencoretnya, menulis lagi, membaca ulang, dan seterusnya.
Hari berikutnya dia mengumpulkan seluruh panitia di kelas 3A. Dari semuanya, tidak ada satupun sie danus yang hadir, baik staf apalagi koordinatornya.
“Baiklah, aku mengumpulkan kalian hari ini karena ada hal yang sangat penting untuk dibahas mengenai pensi kita. Seperti yang kita tahu bahwa dana yang terkumpul saat ini masih cukup jauh dari anggaran. Jadi, aku mengharapkan kerja keras kalian!” mode bossy Pipit muncul.
Tidak ada yang membantah, terlebih lagi ketika Kimi muncul disamping Pipit.
“Yang membuat anggaran pensi tahun ini bengkak adalah…” Pipit menuliskan beberapa kata di papan tulis. “Dan ini adalah item – item yang masih bisa ditekan biayanya.” Pipit menulis beberapa kata lagi.
“Ada pertanyaan?” Pipit mengakhiri penjelasannya.
“Kenapa bukan kaos panitia saja yang diakali? Kan bisa diganti pakai pin atau gantungan kunci. Aku rasa itu akan menghemat banyak biaya.” Dika, koordinator dekor setelah mengangkat tangan kanannya.
Pipit tersenyum, “Jangan, kaos itu reward untuk kalian.”
Semua trenyuh mendengar jawaban singkat Pipit tadi.
“Makanya, ayo bekerja ekstra keras!” Pipit tersenyum lagi tapi senyumnya kali ini terkesan mengancam. Yang semula trenyuh jadi takut.
“Lighting gimana, Tom?”
“Beres, Pit. Sudah cukup kok, tinggal aku cek ada yang rusak atau enggak.” Jawab Tomo, koordinator perlengkapan.
“Sip. Dekor?” Pipit beralih ke Dika.
“Pohon kelapanya kurang 3 lagi, Pit…” jawab Dika takut.
“Apa??!” Pipit melotot. “Seminggu lagi nih, Dik!”
“Kertas semennya kurang Pit, di tempat kita biasa ambil habis. Jadi 2 hari ini kita gak ada progress…”
“Ggrrr…” Pipit gemas.
“Mmm… Ciko udah cari di tempat lain tapi dijualnya per tiga kilo, gak boleh ngecer…” Dika masih takut.
“Kenapa gak bilang??!” Pipit teriak.
“Maaf…” Dika menunduk.
“Hhh!” Pipit balik badan, “Besok bisa dapat kan, Tom?” ke arah Tomo.
“No problem.” Jawab Tomo santai.
“Kamu koordinasi ke Tomo butuh berapa banyak. Terus kertas sama catnya dicek lagi masih cukup apa enggak!” Perintah Pipit ke Dika.
“Besok, semua harus datang, ya! Bantu dekor yang masih kurang banyak!” Perintah Pipit ke semua yang hadir.
“Anak danus yang gak pernah datang lagi bagaimana, Pit?” Cici, koordinator konsumsi sedikit keberatan dengan perintah Pipit barusan.
“Biar aku yang minta mereka datang.” Pipit menjawab setelah sedetik terdiam. “Oke, bubar!” lanjutnya tanpa senyuman, tanpa jargon seperti pada pertemuan pertama mereka dulu.
Mereka tak menunggu lama untuk meninggalkan kelas 3A tersebut karena memang sudah sore. Tomo yang biasanya menunggu Pipit langsung pamit untuk mencari kertas semen. Kimi harus segera pulang karena jemputannya sudah datang 40 menit yang lalu. Tinggal Pipit sendirian di dalam kelas, menghapus tulisan di papan tulis yang tadi dibuatnya.
Sudah bersih. Pipit memandang sejenak papan tulis tersebut. Ia memutuskan untuk sekalian mengganti hari dan tanggal yang ada di sudut kiri atas papan tulis. Ia berjinjit. Sebagian kecil huruf R dan a berhasil terhapus. Ia melompat. Huruf R, a dan sebagian b terhapus. Melompat lagi, huruf b, u, tanda koma dan sebagian 0 terhapus. Lompatan berikutnya menghapus angka 0 dan 7.
Lalu Pipit mengambil spidol, berjinjit untuk menuliskan Kamis, 08 menggantikan Rabu, 07 yang dihapusnya tadi. Ternyata Kamis, 08 yang ditulisnya tidak sejajar dengan bulan dan tahun yang telah tertulis di sebelahnya. “Haaahh…” keluhnya. Pipit berjinjit menghapus Kamis, 08nya. Lalu berjinjit lagi, berusaha meregangkan ototnya dengan maksimal, berharap jadi cukup tinggi untuk menuliskan Kamis, 08 yang sejajar.
Saat ujung spidolnya hampir menyentuh papan tulis untuk membentuk huruf K, Pipit dikejutkan oleh tangan lain yang menuliskan Kamis, 08 sejajar dengan bulan dan tahun yang sudah ada.
Pipit menoleh untuk mencari tahu pemilik tangan tersebut. “Bintang?”
Bintang menutup spidolnya yang sudah selesai digunakan, mengembalikan ke tempatnya, balik menatap Pipit yang masih shock, mengambil spidol yang dibawa Pipit, menutup dan menaruhnya di tempat spidol, mengambil sesuatu dari saku celananya, menarik tangan Pipit yang masih mematung dalam posisi memegang spidol, meletakkan benda tersebut dalam genggaman tangan Pipit.
“Kuncir rambutmu biar gak gerah, Nona Angry bird.” Bintang mendekatkan wajahnya ke wajah Pipit saat mengucapkan angry bird, lalu pergi meninggalkan Pipit yang masih mematung.
Tiga detik kemudian, Pipit membuka genggamannya. Sebuah kuncir rambut berwarna hijau.
Rambut ekor kuda Pipit bergoyang saat dia berjalan dari satu kelas ke kelas yang lain untuk meminta maaf pada anak danus dan membujuk mereka agar datang membantu setelah pulang sekolah nanti.
Usahanya berhasil. Semua panitia hadir. Mereka berbagi tugas. Pipit ikut dalam kelompok yang membuat spanduk selamat datang. Mereka menggambari spanduk tersebut dengan berbagai macam pernik laut, karena tema pensi kali ini adalah laut dan pantai.
“Memangnya kecebong hidup di laut, Pit?” Dika sang koordinator dekor saat melihat hasil gambaran Pipit.
“Hah? Ini ubur – ubur, tahu Dik…” Pipit bersiap menggambar bentuk yang sama.
“Oh, o… o-key…” Dika menggangguk ragu. “Ngg… ubur – uburnya sudah cukup Pit, jangan banyak – banyak.” Dika mencegah Pipit menggambar hal serupa.
“Lah? Ubur – ubur kan berkelompok, masa cuma tiga?” Pipit tak sadar diri.
“Iya, tapi nanti spacenya kurang untuk hewan lain. Lumba – lumba saja belum.”
“Oiya, ya. Ya sudah. Aku gambar lumba – lumba saja kalau begitu.” Pipit menyingsingkan lengan bajunya dengan semangat.
“Jangan!” Dika langsung menolak.
Pipit diam.
“Ngg… lumba – lumba additional saja kok.” Dika menurunkan suaranya, mencari alasan. “Soalnya sudah ada paus, hiu, barakuda, nemo, pari… kalau keramaian kan jatuhnya norak, Pit. Nanti kalau masih perlu, biar Nino saja yang gambar lumba – lumbanya.” Dika menyebut nama staf dekor penanggungjawab spanduk. “Mmm… sekarang… kamu gambar… gelembung saja. Gelembung belum ada, kan? Gambar di sebelah sana, sana, sama sana.” Dika menunjuk beberapa titik yang dimaksud.
Pipit masih diam. Keringat di pelipis kanan Dika yang tadinya anteng mulai meluncur.
“Oke deh. Lagian gelembung juga lebih gampang.” Jawab Pipit kemudian dengan ceria.
Dika bernapas lega. Selamaaat… pikirnya.
“Teman – teman, maaf ganggu sebentar.” Semua menghentikan pekerjaannya, menoleh ke sumber suara. “Ini ada susunan acara untuk hari H. Aku taruh sini nanti jangan lupa pada ambil ya, kalau dibagikan satu – satu sekarang gak kondusif, kalau sebelum pulang nanti kelamaan. Terima kasih.” Bintang, sang koordinator acara meninggalkan setumpuk kertas di meja guru.
Jawaban seperti oke, siap, terdengar dari beberapa orang lalu pekerjaan berlanjut.
“Haahh… akhirnya selesai juga.” Pipit saat berjalan pulang.
“Sudah tidak marah – marah lagi, kan?” goda Tomo di sebelanya.
“Ck!” Pipit mengentikan langkahnya, menatap Tomo, pura – pura sebal.
Tomo yang kaget Pipit ngerem mendadak ikut berhenti.
Sedetik kemudian Pipit tersenyum lalu melengos, melanjutkan perjalanan dengan menarik ransel dan langkah lebar meninggalkan Tomo. Ekor kudanya bergoyang.
Tomo tertawa tertahan melihat tingkah Pipit. Dia berlari kecil menyusulnya.
“Tumben rambutmu kamu kuncir.” Tomo saat sudah ada di samping Pipit.
“Biar gak gerah.” Jawab Pipit tanpa menoleh ke Tomo.
Tomo menggangguk – angguk.
Beberapa langkah kemudian Pipit berhenti lagi. Tomo bingung, makin bingung ketika Pipit berjalan mundur seperti robot, lalu menolehkan kepalanya dengan kaku layaknya robot ke arah konter hp pinggir jalan dan menghampirinya dengan gaya robot, membungkukkan badannya dengan gaya robot juga untuk melihat strap hp yang membuatnya tertarik.
“Angry bird. Cocok buat kamu, manusia burung yang suka marah – marah.” Tomo yang tiba – tiba ada di samping Pipit yang sedang memegang strap yang dimaksud. “Sejak kapan kamu suka angry bird?” Tanya Tomo kemudian.
Pipit hanya tersenyum.
Nguuuuuiiinggg…. Nguuuuiiinggg… Nguuuuiiingg…
Suara nyaring yang berasal dari pengeras suara tersebut membangunkan Pipit dari mimpi masa lalunya. Pipit kaget dan bingung ketika orang – orang berlarian menuju satu tempat yang sama.
Ada apa ini? gempa kah? Kebakaran kah? Pikirnya.
Pipit langsung turun dari tempat tidur dan ikut berlari bersama kerumunan dengan panik.