Kutelusuri koridor sekolah sedikit tergesa. Sebenarnya masih pagi, bangku-bangku juga masih kosong. Segera kulempar gulungan kertas ke laci meja nomor dua.
Kulihat dia datang, diraihnya gulungan itu seperti biasa, dan mulai bergerak lincah jemarinya menggoreskan pensil. Lukisan hitam putih yang indah.
Dan mulailah, barisan gadis cantik mengerubunginya.
Aku … dipojokan, pura-pura menunduk, membaca buku. Meski ada yang berdesir dalam sini. Dalam dada yang tak pernah berhenti bertalu, meski cuma melihat punggungnya.
Tapi aku suka ….
Suka melihatnya. Cuma punggung … hanya itu yang berani kutatap, dalam diam.
Menyukai seseorang tanpa berani mengungkapkan, tanpa berani mendekat, itu seperti bola salju. Semakin menggelinding semakin besar. Cinta ini memenuhi hati. Menekan dengan tidak sopan, hingga menyisakan sesak di dada.
Hanya gulungan kertas itu mewakili hatiku. Cukup melihatmu melukis, meski bukan untukku, aku sudah bahagia. Sesimple itu membahagiakanku bukan, aku, Kiara. Gadis polos 17 tahun, yang berani mencintai Abiyu salah satu cowok berbakat melukis. Cowok tinggi , berhidung mancung dengan lesung pipi menghias tawanya. Manis bukan! Sedangkan aku, hanya gadis biasa yang kuper.
Jika berani, ingin kuteriak. Hey, lukis hatiku!
Tapi aku apa, jangankan berkata mendekatpun tak mampu. Tahu diri, jika sekelilingnya banyak yang indah, kecuali aku.
….
Pagi ini, seperti biasa. Kusiapkan gulungan kertas putih dan kulempar kelacinya.
“Kia!” seorang gadis cantik mendekat.
“PR!” katanya kemudian. Sudah kuduga, hanya kemampuan akademik yang membuat para gadis populer itu mendekat. Setelahnya, berlalu, acuh seperti tak kenal.
Kuangsurkan buku padanya. Setidaknya dia cepat pergi, dan tidak berisik. Apalagi kalo bukan membicarakan Abi.
Seperti setrikaan yang dibiarin diatas kain, bolong bukan? Ya, seperti itu. Lubang hatiku semakin menganga, melihat tawa canda Abi dengan gadis-gadis cantik itu. Semakin membuka mataku, jarak kami memang nyata. Dan tak terkira.
Bell sudah berbunyi. Kukemas buku-buku bersiap pulang. Kulirik sekilas meja Abi, yang terlihat sibuk juga.
“Kiara!” Aku tersentak seketika, bukankah itu suara Abi. Kubalikan badan pelan, terasa bukan nyata.
“I … iya” kataku tergagap. Kulihat dia menyodorkan sebuah buku.
“Dari Misha” segera kuterima, dan beranjak pergi. Sumpah, bibirku kelu.
….
Tak ada yang tahu perasaanku seperti apa, gadis pendiam yang hanya bisa bicara dengan buku pelajaran. Yang hanya berani duduk di pojok kelas mengamati dalam diam, cowok impian.
Hari ini kelas ramai. Semua orang membicarakan Abi karena sudah seminggu tidak masuk kelas.
Jangan tanya, bagaimana hatiku. Hampa …. seperti separuh jiwaku melayang entah kemana. Bimbang, tak tahu kabarnya. Rindu, tapi yidak tshu harus bagaimana.
Aku lebih rela melihatnya dengan gadis-gadis itu, setidaknya masih kulihat dia.
Ahh …. gara-gara dia, ulangan hari ini berantakan. Pecah konsentrasiku. Karna mataku berkali-kali melihat meja Abi yang kosong.
Gulungan kertas yang biasanya kulempar dilacinya masih utuh, berdesakan karena selalu kuisi. Berharap dia datang.
Pulang sekolah segera kuberlari. Pikiranku benar-benar kacau. Mungkin berendam di kamar mandi bisa menjernihkan otakku.
Setengah berlari masuk kamar. Tak kuhiraukan teriakan mama. Kabar kepindahan Abi membuatku sedih. Pupus sudah harapanku.
Gontai, kumelangkah ke kamar mandi. Guyuran shower sedikit menyadarkanku. Ini kenyataan, bukankah ada maupun tidak ada Abi aku bukan siapa-siapa. Tapi kenapa, sesaknya tak hilang jua.
Gedoran pintu membuatku tergesa keluar. Dengan mengeringkan rambut kuhampiri mama yang sudah duduk di ranjang.
“Ada tamu”
“Siapa, Ma?”
Mama langsung memelukku. “Mama tahu,” bisiknya. Meledak airmataku. Hanya mama yang tahu perasaanku pada Abi. Kutumpahkan semua bebanku. Janji, ini terakhir.
“Sudah, Sayang. Temui temanmu.”
“Gak mood, Ma. Paling juga Misha nyuruh buatin PR.”
“Turun dulu, kasian nunggu.”
Kubersihkan wajah sebentar, sedikit sapuan bedak bayi. Kaki melangkah enggan menuruni tangga. Hingga diujung tangga, seperti tersiram es. Aku membeku. Punggung itu ….
“Hei, ayo turun.” Mama memanggilku dengan tersenyum penuh arti. Demi apa, aku masih belum percaya. Abi, duduk di ruang tamu, menatapku.
“Apa kabar?”
“Ba … baik” Tuhan … tolong hentikan waktu, sebentar saja, ini nyata bukan!
Disodorkan amplop coklat besar kearahku.
“Simpan ini, aku pindah.”
“Ka … kamu,” ucapku terbata.
Kulihat dia berdiri, dan tersenyum padaku. Senyum yang memporak-porandakan hati. Kemudian dia mendekat, menepuk pelan kepalaku dan berlalu pulang. Hampa rasanya, saat tubuh jangkung itu berlalu semakin menjauh.
Segera kubuka amplop besar itu. Kutarik isinya, kertas dengan lukisan yang indah. Lukisan wajahku. Bulir -bulir bening dengan tidak sopannya menerobos keluar. Aku bahagia, tapi pupus disaat yang sama. Menyadari, aku dan dia takkan bisa bersama. Karena jarak itu nyata, membentang, memisahkan kami.