Roda Kehidupan episode 5

Warung Baru Ibu

Akupun mulai beranjak dari rumah Gatot buat beli rokok ke warung. Pas mau keluar ngebuka pintu rumahnya, Mbak Laras manggil.

“Diiiit…”

“Nitip beliin mie dong…” Ucap Mbak Laras.

“Oh oke mbak…” Jawabku.

“Nih duitnya…” Kata Mbak Laras berjalan menghampiriku. Kirain dipanggil ngapain, cuma nitip mie doang ternyata. Hus!

Selang beberapa saat kemudian setelah beli rokok dan mie buat Mbak Laras, akupun kembali kembali kerumah Gatot. Mbak Laras lagi di teras duduk santai. Niat nungguin kayaknya.

“Nih Mbak…” Ucapku memberikan mie instan pesanan Mbak Laras.

“Oke, makasih Dit…”

“Gatot kok belum pulang sih Mbak?” Tanyaku basa-basi sambil menyulut rokok.

“Belum, paling terus main dia….” Jawab Mbak Laras sambil nyisir-nyisir rambutnya yg masih agak basah.

“Kemana ya mbak kira-kira?” Tanyaku polos.

“Hahaha… Gatot lagi ke Salatiga Dit sama mamah papah…” Jawab Mbak Laras nyantai.

“Lhah tadi bilangnya lagi les Mbak?” Tanyaku lagi, belum ngeh.

“Iya tadi aku kerjain kamu… Hahaha…”

“Yeee sial…”

“Hahaha…”

“Yauda Mbak aku balik aja deh…” Gerutuku singkat.

“Hahahaha…” Tawa Mbak Laras puas banget kayaknya. ” Eh Dit, jadi Bude Susi buka warung?” Sambung Mbak Laras setelah tawa renyahnya selesai. Entah kenapa dari dulu Mbak Laras manggil Ibu dengan sebutan Bude, padahal gk ada hubungan darah sama sekali.

Sambil duduk santai di teras kami ngobrol-ngobrol ringan. Mbak Laras tanya seputar sekolahku, udah punya pacar belum, dan pertanyaan sejenisnya. Mbak Laras juga nanya Ayah yg kena PHK dan Ibu yg mau buka warung.

“Rencana sih gitu mbak…” Jawabku santai.

“Ya ya ya…” Ucapnya maggut-manggut.

“Gatot pulang kapan to Mbak?”

“Nanti malam juga dah balik…”

“Lha Mbak kok gk ikut?”

“Kuliah Dit… lagi banyak tugas aku…”

“Oh…” Ucapku singkat gk ngerti lagi mau ngomong apa. “Aku pulang aja deh Mbak…” Sambungku kemudian.

“Gk mau nyobain mie buatan Mbak nih?” Goda Mbak Laras dengan senyum anehnya.

“Gk deh Mbak…” Tolakku basa-basi. Padahal ngarep banget sumpah.

“Yakin?” Tanya Mbak Laras memastikan.

“Iya Mbak, udah makan kok tadi…” Kataku bohong berharap Mbak Laras maksa lagi.

“Oh yaudah kalo gitu…” Jawab Mbak Laras santai lalu berdiri dan masuk ke dalam rumahnya. Sial, kirain mau dipaksa. Hahaha.

—-

Beberapa hari setelah ngobrol sama Mbak Laras aku terjebak hujan saat membantu Ibu ngambil barang belanjaan di pasar.

“Wola asem!” Umpatku sambil manaruh helm di spion motor yg aku parkiran di Warung Kopi Mas Bendot.

Ya, di luar sana sedang hujan deras diiringi gemuruh guntur yg cetar membahana menambah kengerian pasukan air yg menyerbu bumi ini.

“Pesen opo Dit? Biasane? (Pesan apa Dit? Biasanya?)” Tanya Mas Bendot sambil memainkan rambut kriwilnya.

“Iyo, gawekne kopi wae mas. (Iya, bikinin kopi saja, mas)” Seruku di warung kopi Mas Bendot.

Kubuka beberapa tas kresek hitam bawaanku, memeriksa jika ada barang belanjaan ibu yg basah terkena air hujan.

“Iki kopine!” Seru Mas Bendot mengantarkan pesananku.

“Makasih mas!”

“Darimana Dit hujan-hujan gini?” Tanya Mas Bendot.

“Dari pasar. Kulakan mas, disuruh Ibu,” jawabku.

“Woh sekarang buka warung kok ya Ibumu…”

“Yoyoi mas…”

Kurogoh saku celana mencari teman akrabku saat minum kopi. Jemariku meraih sesuatu yang kucari itu. Sebungkus rokok dalam kemasan bergambar bintang berwarna biru. Masih utuh, masih terbungkus plastiknya dengan rapi. Perlahan kubuka bungkusan itu lalu kuambil sebatang dari bungkusannya. Kusulut dan menghisapnya.

“Fffiiiuhhhhhh…” Nikmat sekali. Sedikit memberikan rasa hangat dan tenang di tengah hujan deras dan suara gemuruh petir.

Warung Mas Bendot masih sepi sore ini. Maklum, warung kopi baru akan rame pada malam hari, ditambah dengan hujan deras yang mengguyur kota Magelang, maka pantaslah kalau warung kopi Mas Bendot hanya berisi beberapa orang saja.

Kudengar sebuah reff lagu dari radio yg diputar Mas Bendot. Salah satu lagu favoritku sedang diputar di salah satu stasiun radio kota ini.

“Ini jamannya sabu-sabu, bukan di jaman batu, atau kisah si rambo.. Ini bukan cerita sinetron yg sabar selalu menang di akhir episode..”

Irama lagu itu pun makin kencang seakan berlomba dengan hujan yg juga makin tak terkendali.

Berakit-rakit kita hulu, berenang kita ketepian… Bersakit dahulu, senang pun tak datang, malah mati kemudian..”

Lagu yg dibawakan Jamrud itupun selesai, kutenggak perlahan kopi yg aku pesan sambil menatap ke jalan raya melihat hujan yg masih mengguyur jalanan. Terlihat ada sesosok cewek berparas cantik sedang berdiri di depan warung mas bendot ini.

Ia mengenakan kaos tipis berwarna putih dan celana jins panjang warna hitam. Bajunya yg sedikit basah membuat jiplakan yg sedikit berwarna itu terlihat di kaosnya.

Kuhampiri cewek itu. Aku yakin itu adalah Kak Fara.

Wuih kayak dapet togel bisa lihat kak fara disini, batinku kocak.

“Ini Kaakk…” Kataku seraya mengulurkan tangan kanan memegang jaket yg aku kenakan tadi.

“Ehhh… Kamu lagi, gk usah makasih,” jawab Kak Fara halus.

“Udah gak papa, pake aja kali Kak.”

“Bener gk usah, gk enak sama kamu.”

Mataku terus mencuri pandang melihat kaos yg basah yg ia kenakan. Dari dekat terlihat semakin jelas bagaimana jiplakan itu menembus kulit putih Kak Fara. Astaga, sadarlah wahai manusia.

Stoooop…. Stooppp! Kuhentikan pikiran kotorku. Bagaimanapun caranya aku harus membujuknya agar mau mengenakan jaketku demi mengusir setan-setan yg telah berterbangan disekelilingku ini. Hus.. huus.. pergi kau setan! Jangan gangguuuu ~

“Gk papa lagi Kak, bajunya basah lho,” kataku seraya meletakkan jaket ke tubuhnya “Udah dipake aja, nanti sakit!” imbuhku kemudian.

Mendapat perlakuan seperti itu membuat Kak Fara tak bisa lagi menolak niat baikku.

“Yuk masuk aja Kak, minum dulu biar sedikit anget,” kataku mengajaknya masuk ke dalam Warung Kopi Mas Bendot.

“Iya makasih…” Kata Kak Fara berjalan mengikutiku dari belakang.

“Mas teh panas siji yo, (Mas teh panas satu)” kataku ke Mas Bendot memesan minuman untuk Kak Fara.

“Dari mana Kak hujan gini?” Kataku memulai percakapan.

“Dari rumah Arum nih, gk tahu tiba-tiba hujan, huft!” Keluh Kak Fara bibirnya dimonyongin, imut.

Suasana masih sedikit canggung antara aku dan Kak Fara. Aku bingung mau ngomongin topik tentang apa. Maklum juga sih, ini baru pertama kali aku ngobrol berdua gini. Gk mungkin ngebahas kaosnya bagus tadi Kak. Hehehe. Haduuuuhh… Plisss Adit! Fokus! Fokus.

Akhirnya teh panas pesananku untuk Kak Fara Datang. “Diminum Kak, biar anget,” kataku.

“Iya… Makasih lho ya, untung ada kamu!”

“Ah enggak kok, cuma kebetulan aja…”

“Kebetulan tapi kok bisa dua kali ya?”

“Kok dua kali?” Tanyaku heran.

“Iya… Kan kemarin kamu pinjemin aku sapu tangan, sekarang jaket. Masak sih kebetulan bisa sampai dua kali?”

“Ngggggg… Hehehe…” Aku tersenyum seraya menggaruk-nggaruk kepalaku.

“Makasih ya sekali lagi…”

“…”

“Ngomong-ngomong kamu kelas 2 apa?” Imbuh Kak Fara, kayaknya basa-basi.

“2A Kak, tau deh kenapa bisa masuk sono…” Jawabku.

“Wah pinter dong kalo gitu, kelas unggulan tuh…” ucap Kak Fara.

“Gk juga sih Kak… biasa aja…”

“Hehe…”

“Ngomong-ngomong mau nglanjutin kuliah dimana nih? Tanyaku.

“Emmm… Belum tau juga sih, liat nilai dulu lah besok…”

Kak Fara saat itu nampak jauh berbeda dengan Kak Fara yg aku lihat beberapa hari yg lalu. Senyuman yg ia tunjukkan saat ini adalah senyuman murni dari seorang perempuan berparas cantik, bukan senyuman paksaan yg ia tunjukkan saat menangis sendirian di ruang kelasnya tempo hari.

“Eh udah reda tuh, balik yuk!” Ajak Kak Fara.

“Ayuk kak,” kataku mengiyakan ajakannya.

Setelah membayar segelas kopi dan segelas teh, kamipun beranjak pergi meninggalkan warung kopi Mas Bendot.

Kubiarkan jaketku dibawa Kak Fara agar ia tak kedinginan dengan baju basahnya.

—-

Sesampainya dirumah, aku menata barang-barang belanjaan warung Ibu di beberapa rak yg telah ditentukan. Selembar uang duapuluh ribuan diberikan ibu kepadaku sebagai upah atas jerih payahku mondar-mandir di pasar.

“Hehe, lumayan lah… Bisa kutabung untuk keperluan mendadak,” ucapku riang dalam hati.

Setelah selesai mandi, aku duduk di teras depan rumah untuk menikmati udara sore yg cerah selepas hujan deras mengguyur. Sore ini sungguh indah, warung Ibu pun langsung nampak rame. Kayaknya bakal teratasi masalah keuangan keluargaku.

“Le ngelamun wae!” Sapa Ayahku tiba-tiba. Kebiasaan Ayah senengnya ngagetin aku aja.

“Enggak Pak…” Kataku sopan, Ayah udah duduk aja di depanku.

“Bapak mau ngomong serius le…”

“Pripun Pak? (Gimana Pak?)”

“Gini lho le, sekarang kamu udah besar. Kamu tau to Bapak belum dapat kerja disini?”

“Nggeh Pak…”

“Nah jadi Bapak mau ke Jakarta le, ada temen Bapak yg nawarin kerja disana…” Ucap Ayah tenang.

“Terus Pak?”

“Kamu bisa to jagain rumah? Jagain Ibumu gantiin Bapak?”

“…..” Aku hanya diam mencoba mencerna yg Ayah bilang.

“Bapak sebulan atau dua bulan sekali pulang kok…” Ucap Ayah lalu menyulut rokok favoritnya.

Jujur aku kaget mendengar apa yg Ayah katakan. Aku gk bisa ngebayangin jika harus jauh sama Ayah. Beliau adalah panutanku. Akupun gk tau bisa penuhin permintaan Ayah untuk menggantikan posisinya dirumah.

“Maafin Bapak yo le… Ini demi kamu juga…”

“Nggeh Pak…” Ucapku lemes, tak terasa air mataku mengalir.

“Ojo nangis le… cah lanang raoleh nangis! (Jangan nangis nak, cowok gk boleh nangis!)” Kata Ayah menasehatiku.

“Terus kapan Bapak berangkat?”

“Minggu depan! Inget ya pesen Bapak… Jagain Ibu, jangan buat Ibu khawatir. Sekolah yg bener, terus jangan sampe ninggalin sholat…”

“Nggeh Pak…”

“Motor Bapak tinggal biar mudah buat kamu transportasi sama Ibumu…”

“Nggeh Pak…” Ucapku gk tau mesti ngomong apa.

Berat sebenarnya, tapi harus bagaimana lagi. Inilah jalan yg harus Ayah lalui sebagai kepala keluarga. Aku hanya bisa berdoa agar Ayah bisa berhasil disana besok.

Dan roda itu terus berputar, kini seorang kepala keluarga harus tetap mengayuh sepedanya agar tetap berjalan di atas aspal yg bergelombang.


Roda Kehidupan

Roda Kehidupan

Score 7
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia

"Roda itu bernama kehidupan. Saat kita berada diatas kadang berputar sangat cepat, namun ketika kita berada dibawah roda itu terlalu lambat berputar kembali. Kamu tau kenapa? Karena kehidupan tak semudah mengayuh sepeda untuk tetap berjalan diatas aspal yang halus.​"

Sebelumnya mohon maaf dan mohon izin untuk memberanikan diri menuliskan sebuah catatan sederhana seorang lelaki yang hidup di sebuah kota kecil namun sangat nyaman, Magelang.

Gue nulis ini sebagai catatan dan memory gue untuk melukiskan tentang kehidupan yang seperti roda. Silahkan berpendapat cerita ini true story atau fiktif belaka, disini gue hanya menulis sebuah roda kehidupan.

Gue sadar tulisan gue masih acak-acakan. Mohon maaf jika terdapat banyak umpatan kasar dalam bahasa jawa dan beberapa pikiran liar yang terkandung dalam cerita. Semoga bisa disikapi secara bijak. Cerita ini dimulai saat gue masih duduk di bangku SMA pada tahun 2003. Nama tokoh dan tempat instansi sengaja disamarkan atau gue ganti demi kebaikan kita semua.

Ah... kurasa cukup. Dan kamu akan tetap menjadi ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset