Roda Kehidupan episode 4

PHK Massal

Sekolah adalah suatu aktivitas rutin yg paling menyebalkan yg mau tak mau harus dilalui setiap orang di belahan bumi manapun.

Aku gk tau kenapa aku yg termasuk anak bejujak alias badung ini mampu masuk di SMA yg terkenal unggulan. Hanya Tuhan dan Kepala Sekolahku yg tahu.

Mata Pelajaran Olahraga adalah mapel yg paling aku sukai selama sekolah di tempat ini. Selain bisa memamerkan keahlianku bermain sepak bola, aku juga bisa melihat pemandangan yg diidam-idamkan setiap siswa di sekolah ini. Yap… Pakaian olahraga cewek yg membuat setiap siswa menelan ludahnya. Entah hanya dimodifikasi sendiri atau memang ketentuan sekolah, yg jelas celana kolor yg dengan tinggi kira-kira 5 hingga 8cm diatas lutut membuat pikiran para siswa melayang-layang entah kemana.

Di sela-sela pelajaran, pelan-pelan aku mengobrol dengan Prapto. Kuceritakan perkenalanku dengan Bella. Iya Bella, gadis dengan senyuman manisnya yg telah aku kenal beberapa hari lalu.

Si Prapto hanya membalas singkat dan mangguk-mangguk saja mendengar ceritaku.

“Prap… Akhirnya Prap akhirnya!” Kataku.

“Akhirnya apa? Yg jelas!” Jawab Prapto.

“Bella… Prap namanya Bella…”

“Bella siapa?”

“Itu… Cewek di kelapa muda, aku uwis kenalan su kemaren!” Aku ceritakan kronologi perkenalanku dengan Bella kepada Prapto.

“Oh… Terus?” Jawab Prapto singkat.

“Ya senenglah!” Ujarku dengan nada agak tinggi sambil noyor kepalanya pelan.

Prapto terkesan cuek dengan ceritaku, ia nampak serius mencatat materi yg ditulis di papan tulis.

Ah sudahlah, aku mencari teman berbincang lain.

“Nov… Nov…” Kupanggil Novi pelan. Namun tak ada jawaban dari Novi, kemudian aku memanggilnya semakin keras. “Noooov… Noooviiii!” Ucapku sambil menendang bangku di yg Novi duduki.

Tak ada jawaban dari Novi, namun secara tiba-tiba ia menoleh ke belakang menampakkan wajah galaknya seraya menunjukkan jari tengahnya ke arahku yang mengisyaratkan dia juga sedang serius dan tak mau diganggu.

“Aku nanti pinjem catatanmu ya Novii cantik…” rayuku ke Novi, mencari alasan agar ia tak melanjutkan marahnya.

Melihat semua teman sekelas serius mencatat, akhirnya aku ikut-ikutan mencatat materi yg ditulis di papan tulis itu walau tak selesai sih, karena keburu dihapus oleh petugas piket.

Akhirnya jam-jam penderitaanku akan berakhir. Waktu telah menunjukkan pukul 13.25 dimana lima menit lagi bel tanda berakhirnya pelajaran akan berbunyi. Sebelum yg lain memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, aku selalu mendahului mereka melakukan hal itu.

“Hahaha… Dasar! Adit-adit!” Ucap Novi menoleh kearahku seraya memberikan buku catatannya yg mau aku pinjam tadi.

Pulang sekolah, seperti biasa aku dan Prapto selalu mendapat minuman ataupun makanan gratis dari Novi. Bukan kami yg minta, tapi memang karena uang jajan Novi yg sangat buanyak untuk seorang pelajar seperti kami. Bayangkan seumuran segitu Novi sudah mempunyai beberapa kartu atm. Pernah suatu ketika aku melihat saldo milik Novi di salah satu kertas bukti transaksi setelah mengambil uang di mesin atm. Dan jumlahnya sangat fantastis.

“Yaaaah… Itung-itung imbalan karena kalian nemenin aku nunggu angkot!” Jawaban dari seorang Novi jika ditanya alasan kenapa hampir tiap hari ntraktir kami.

“Eh kalian tunggu warung bentar ya… Aku mau ke wc!” Kataku sambil memegang perut dgn kedua tanganku.

“Yoi!” Ucap Novi dan Prapto tersenyum kompak.

Tak lama aku berjalan cepat ke arah wc untuk segera menuntaskan hasrat yg telah sampai pucuk ini.

Sesampainya di wc sekolah, aku menoleh kanan kiriku memastikan tak ada guru di sekitar.

Aku mencari rokok yg aku simpan di tas. Namun aku tak menemukannya.

“Asu nandi ki rokok! (Anjing dimana nih rokokku!)” Umpatku sendirian.

Aku teringat Prapto yg senyam-senyum mencurigakan sebelum ia pergi ke warung bersama Novi tadi. “Owalah asu!” Umpatku menyadari Prapto telah menyembunyikan rokokku. Dengan berat hati terpaksa aku masuk ke wc tanpa teman setiaku.

Kunyalakan air cukup kencang supaya tak ketahuan jikalau suara kentut yg tiba-tiba muncul terdengar hingga luar. Hehe.

Selang beberapa menit aku keluar dari wc yg sebenarnya cukup seram itu. Aku mulai berjalan petentang-petenteng menuju pintu gerbang sekolah.

“Hiksss… Hikkssss…” Terdengar suara isakan tangis seorang cewek ketika akan melintasi ruang kelas terkahir.

Terlihat sesosok perempuan cantik sedang duduk termenung di bangku paling depan dalam ruangan itu. Kabut yg pekat seolah menutupi wajah cantiknya. Tetesan air matanya seakan membanjiri kelas itu hingga ia tak mampu utk keluar.

Begitu lama aku mengamatinya dari luar, hingga pada akhirnya kuberanikan diri untuk masuk ke ruangan yg tiba-tiba menjadi sunyi itu. Hanya ada aku, dia, dan tangisannya. Ia bahkan tak menyadari ada seorang lelaki yg hendak datang menghampirinya.

“Ini Kak…” Sapaku pelan seraya mengulurkan tangan kananku yg membawa sebuah sapu tangan bermotif garis berwarna merah. Tak ada jawaban darinya, hanya sebuah anggukan kepala dan senyuman kecil yg nampak ia paksa namun tetap manis.

Aku meninggalkan sapu tanganku di meja tempat duduknya. Kemudian dengan perlahan aku mulai pergi meninggalkan ruang kelas itu. Memang lebih baik aku meninggalkannya sendiri, toh aku juga tak begitu mengenalnya. Aku kembali berjalan santai menuju ke warung dimana Novi dan Prapto tengah menungguku.

Sejenak aku berfikir, kenapa ya Kak Fara, kasihan juga salah satu primadona sekolah ini atau dengan kata lain rival dari Kak Siska ini. Entahlah aku tak mau memikirkan masalah orang yg tak aku kenal, lagi pula juga bukan urusanku. Walaupun rumah Kak Fara tak jauh dari desaku, namun aku tak mengenalnya. Hanya sepak terjangnya saja yg aku tahu. Biasa, cewek cantik pasti jadi omongan.

Nampak dari kejauhan si jancuk Prapto sedang merokok dengan nikmatnya. Seakan mengejek karena telah berhasil mengerjaiku.

“Hehhh rokok siapa tuh??? Enak aja main nyalain!” Hardikku. Prapto seoalah tak mendengar suaraku, ia malah bersiul dengan santainya.

“Nov… Kayaknya ada orang ngomong deh!” Ucap Prapto cuek.

Novi hanya mengangguk-anggukan kepalanya seolah bekerja sama dengan Prapto untuk mengerjaiku.

“Oke… Aku pulang aja lah, jd malesss!” Kataku mengancam.

Melihat reaksiku, Novi dan Prapto langsung ketawa terbahak-bahak, bangga.

“Hmmmmmmm…” Keluhku.

“Hehe… Niih nih jus mangga, wis-wis ojo nesu ah! (udah-udah jangan marah!).” Ucap Novi merayuku untuk duduk.

“Haha rokokmu nih su, aku balikin!” Kata Prapto masih ketawa-ketiwi.

Aku pun mengambil rokokku dan menyalakannya. Lalu meminum jus mangga yg sangat menggoda itu. Kemudian kami asik ngobrol ngalor-ngidul tak jelas. Lama kami berbincang hingga tak sadar perut pun mulai keroncongan. Dalam situasi seperti ini aku dan Prapto selalu kompak, mata kami tertuju ke satu arah, Novi! Hahaha.

Novi sadar ia tengah kami amati, wajah kami memelas. Ia hanya mengeluarkan kata yg selalu ia ucapkan dalam keadaan seperti ini, “WIISS BIASAAA” (SUDAH BIASA). Dua kata yg mengisyaratkan bahwa ia menyanggupi permintaan kami.

Dengan mantap dan tak pernah ragu, Prapto selalu memesan omlet favoritnya. Sedangkan Novi masih sibuk membaca menu makanan yg ia pegang. Padahal sebenarnya ia juga sudah tahu makanan apa yg disediakan di warung ini. Biasa lah cewek, ribet.

Aku sendiri masih bingung, “Emm apa ya?”

Tanpa tanya ke Prapto yg sedang asyik dengan handphone barunya, Novi telah mencatat pesanan Prapto karena memang sudah hafal dgn pesanannya tersebut. Ia lalu melanjutkan menulis pesanannya sendiri, Indomie Goreng, Dengan tambahan kecap sesendok gk kurang dan gk lebih dan Telur setengah matang yg digoreng pake blue band.

“Tuhh kan percuma… Kamu baca sampai ribuan kali juga tetep pesennya itu!” Kataku meledek Novi.

“Sirik aja sih… Kowe pesen apa? Biar aku tulis sekalian.” Tanya Novi kepadaku.

“Mmm.. Apaan ya… Pizza aja deh”

“Pizza ndasmu!” Umpat Prapto tiba-tiba.

“Heh serius!” Timpal Novi.

“Nasgor aja nasgor…” Jawabku mantab kali ini.

Novi lantas jalan ke arah meja kasir untuk memberikan list pesanan kami.

Novi pun memesan apa yg kami mau. Uang lembaran berwarna merah langsung ia bayarkan ke kasir. Keren kan Novi? Sahabat kita tuh.

“Ditunggu sebentar ya mbak…” Ucap sang kasir halus seraya mengembalikan uang kembalian.

Tak lama pesanan kami datang satu per satu.

Dengan lahap kami menyantapnya dan kembali mengobrol hingga cukup sore.

Setelah sangat lama menunggu Novi mendapatkan angkot, akhirnya aku dan Prapto juga memperoleh angkot jurusan masing-masing. Lantas kami naik bersama sebelum akhirnya aku turun di perampatan terakhir.

“Ndisik yo su… (Duluan ya njing!)” Ucapku ke Prapto.

“Yo cuk minggato seng adoh.. (Ya cuk pergi sono jauh-jauh)”

—-

Sesamapainya dirumah kulihat Ibu dan Ayah sedang duduk berdua di ruang tamu. Mereka sedang bernincang yg cukup serius. Ayah duduk di depan Ibu yg nampak sedang cemas. Tanpa ragu aku ikut nimbrung.

“Enten nopo Pak? (Ada apa Pak?)” Tanyaku ke Ayah dan Ibu seraya menyalami dan mencium kedua tangannya.

“Rene le tak kandani… (Sini nak Bapak kasih tahu…”

“Nggeh Pak…”

“Maaf ya nak, Bapak kena PHK dari kantor…” Ucapnya serius.

“Wah kok bisa Pak?” Tanyaku kaget. Wah gawat, bapak jadi pengangguran dong kalo gitu, gk ada gaji dan aku gk punya uang jajan lagi, terus putus sekolah. Pikirku konyol waktu itu.

“Kebijakan perusahaan nak…” Ucap Ayah lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. “Tapi kamu gk usah khawatir, Bapak akan cari kerja secepatnya…” Ucap Ayah seakan tahu apa yg aku pikirkan.

“Terus kapan Pak uang pesangonnya cair?” Tanya Ibuku.

“Minggu depan sepertinya, Ibu persiapkan segalanya ya…”

“Persiapkan apanya Buk?” Tanyaku ke Ibu gk tau menau.

“Ibu mau buka warung Dit dengan uang pesangon Bapak…”

“Oh nggeh Buk, nanti Adit bantuin…”

“Nah bagus… Sekarang kamu sholat dulu terus makan yo le…” Kata Ayah tenang.

Entah apa yg terjadi setelahnya aku gk tau. Aku paham Ayah dan Ibu sangat tertekan, terlebih Ayah sebagai kepala keluarga. Namun sikap Ayah benar-benar membuatku kagum, beliau bisa tetap tenang dalam menyikapi segala hal.

Bagi yg tinggal di daerah Magelang pasti tahu perusahaan mana yg sering ada PHK besar-besaran tiap tahunnya. Tapi ntah kenapa sampai saat ini masih banyak banget orang yg ngebet pengen kerja disana.

Hari-hari selepas Ayah di-PHK kehidupan dirumah berangsur-angsur berubah. Berubah dalam artian kegiatan tiap anggota keluarganya. Ayah sibuk pergi dari pagi hingga malam mencari pekerjaan lain, Ibu sibuk nyiapin segala sesuatunya untuk membuka warung kelontong dirumah. Pengeluaran pun sedikit ditekan oleh Ibu sebagai bendahara keluarga ini. Imbasnya pun uang jajanku yg berkurang.

“Kantin yok Dit…” Ajak Novi saat jam istirahat.

“Gk deh Nov… Lagi hemat aku…”

“Tumben, lagi butuh duit? Pake uangku dulu aja nih…” Ucap Novi.

“Gk Nov… Emang pengen nabung aja sih, hehehe…”

“Yauda kalo gitu, yok aku traktir deh di kantin…”

“Ayok dah kalo gitu hahaha…”

Di kantin suasana sangat riuh. Aku dan Novi makan soto, bukan karena pengen soto tapi karena kursi di warung soto masih ada yg kosong.

Dengan lahap aku menyantap soto yg rasanya hambar ini, bodo deh gratis ini. Novi sesekali aja memasukkan sendok ke mulutnya. Sambil ngobrol tiba-tiba Kak Fara terlihat berjalan menghampiri kami.

“Ini sapu tangannya yg kemarin, makasih ya…” Ucap Kak Fara ramah ketika sampai didepanku. Novi pun kayak bingung.

“Eh iya Kak…” Balasku singkat.

“Duduk Kak…” Sapa Novi halus.

“Iya…” Ucapnya sopan seraya duduk di samping Novi yg ada di depanku. “Wah lagi pacaran ya, ganggu gk nih?” Imbuh Kak Fara basa-basi.

“Njiiiirr… Siapa juga yg mau sama Adit Kak! Gk pernah modal jadi cowok… hahaha,” ledek Novi. Sialan deh si Novi, aku cuma bengong aja, skakmat.

“Hehehe… Eh kenalin aku Fara…” Kata Kak Fara menyalami Novi. “Novi Kak… Udah tahu kok kak namanya, hehe…” Balas Novi. Lalu Kak Fara menyalami aku yg ada di depannya.

“Adit…” Ucapku seraya bersalaman dengan Kak Fara. Wah halus bener tangannya.

Kamipun larut dalam obrolan ringan bertiga. Tapi kadang berempat tambah si joni yg nyaut-nyaut aja. emoticon-Frown

“Jadi gitu Nov… Baik kan si Adit ini…” Ucap Kak Fara menjelaskan awal pertemuanku dengannya hari itu.

“Modus tuh Kak… hahaha..” Canda Novi. Dan akupun bengong doang ngliatin kearah dada Kak Fara dengan satu kancing baju osisnya sengaja dilepas. Dasar.

Kak Fara ini orangnya asyik juga. Selera humornya juga tinggi. Jika diibaratkan mukanya mirip marshanda waktu ABG dulu, tapi bodinya sih lewat deh si caca.

Lagi asik ngobrol tiba-tiba seorang cewek yg cantiknya juga gk ketulungan duduk di sebelahku. Siapa lagi kalo bukan Kak Siska.

“Ih sayang makan gk ajak-ajak…” Ucap Kak Siska yg udah nyender aja.

“Hehehe…” Aku bengong mengarah ke bloon sambil cengar-cengir gk jelas.

“Yauda aku duluan ya Dit… Makasih lho sekali lagi.. ” Kata Kak Fara tiba-tiba sambil tersenyum manis. Njiiiir luluh deh aku liat senyumannya.

“Iya Kak sama-sama…”

“Duluan ya Nov…”

“Iya Kak…”

Kak Siska menatapku tajam, yg tadinya nyender sekarang udah agak menjauh. Novipun kabur ngeliat gelagat gk baik dari Kak Siska. “Aku juga duluan deh Dit, mari Kak…”

“Eh iya Nov…” Balas Kak Siska ke Novi dengan senyuman, kemudian mengarahkan lagi matanya kearahku dengan tatapan sadisnya.

“Ngapain si Fara ngedeketin kamu?” Tanya Kak Siska menyelidiki. Njiir rival ya rival aja, tapi juteknya jangan sama aku dong, batinku.

“Tadi cuma ngobrol doang, kebetulan cuma sini yg sepi…” Jawabku.

“Gk percaya aku!”

“Eh bener Kak… suer deh!” Ucapku meyakinkan Kak Siska.

“Hmm… awas ya kalo boong!” Ancam Kak Siska lalu nyelonong pergi gitu aja.

Memang aneh Kak Siska ini, kayaknya cemburu dia. Eh tapi kan kita gk pacaran. Tau deh… Tingkahnya kadang dewasa tapi kadang ngeselin juga. Untung aja cantik, tajir pula. Hahaha.

—-

Sore hari setelah pulang sekolah aku membantu Ibu beres-beres teras rumah yg telah selesai disulap menjadi sebuah warung sederhana. Barang-barang dagangan belum ada sih, namun satu etalase dan beberpa rak telah tertata rapi. Rencananya lusa Ibu akan mulai membuka warungnya ini demi kelangsungan hidup keluarga.

Sampai saat ini Ayah belum mendapatkan pekerjaan tetap, beliau masih sibuk mencari pekerjaan kesana-kemari sambil sesekali menerima kerjaan serabutan dari teman-temannya.

Bingung mau ngapain dirumah, akupun memutuskan untuk maen kerumah Gatot, kawan sekampung.

Sambil ngerokok dan jalan petentang-petenteng di jalanan kampung tibalah aku dirumah Gatot.

“Tottt.. Gatot… Gatot…” Panggilku didepan rumahnya. Tak ada jawaban apapun, jangan-jangan pergi tuh anak.

Lama menunggu akhirnya pintu nampak dibuka dari dalam.

“Owalah kamu to Dit… Cari Gatot ya?” Ucap Mbak Laras, kakak Gatot.

“Iya, Gatotnya ada mbak?” Sapaku ke Mbak Laras.

“Masih les…” Kata Mbak Laras memegang handuk yg menyelimuti tubuhnya dengan tangan kanannya. Badannya mulus banget masih rada basah-basah gitu. Wah kayak prank ojol nih.

“Woi jaman segitu mana ada ojol woi!” Kata seseorang yg gk tau darimana.

“Eh iya-iya maaf…”

Oke cukup.

Mimpi apa semalam bisa ngeliat Mbak Laras pake handuk gini. Rambutnya yg juga masih basah makin ngebuat pikiran liarku tak terkontrol. Mbak Laras ini emang terkenal cantik dan berani jika memakai pakaian. Sempat menjadi sorotan kampung juga dulu saat ketahuan mabuk di belakang balai kampung bareng gengnya pas acara agustusan. Tapi emang dasar cuek orangnya, jadi gk terlalu dipikirin kayaknya. Wajahnya persis Saskia Gotik. Beneran gk bohong emang mirip banget dia, bodi dan tingginya pun hampir sama.

Mbak Laras inilah yg nantinya akan banyak memberi nasihat-nasihat saat aku dalam kebimbangan dan saat dalam kondisi putus asa. Pokoknya dia selalu ada buatku nantinya. Meski Mbak Laras udah kuliah, tapi doi selalu asik sama siapa aja entah itu anak kecil sekalipun.

“Tunggu dalem aja Dit, Palingan bentar lagi pulang…” Ucap Mbak Laras kalem.

“Iya Mbak…”

Akupun masuk kedalam kamar Gatot kayak biasanya nungguin Si Gatot pulang.

Bengong tiduran di kamar, pikiranku jauh membayangkan Mbak Laras barusan. Beruntung deh Si Gatot sialan punya kakak macam Mbak Laras.

“Nih minum dulu Dit…” Ucap Mbak Laras nyamperin di dalam kamar gatot. Untung dia telah ganti baju.

“Iya Mbak…”

“Eh Mbak… aku kewarung bentar ya beli rokok…” Ucapku tiba-tiba menghindari otakku yg makin kacau gara-gara Mbak Laras. Gk kuat deh aku, meski Mbak Laras emang seksinya gk ketulungan, tapi aku menghormatinya entah karena apa.

Akupun mulai beranjak dari rumah Gatot buat beli rokok ke warung. Pas mau keluar ngebuka pintu rumahnya, Mbak Laras manggil.

“Diiiit…”


Roda Kehidupan

Roda Kehidupan

Score 7
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia

"Roda itu bernama kehidupan. Saat kita berada diatas kadang berputar sangat cepat, namun ketika kita berada dibawah roda itu terlalu lambat berputar kembali. Kamu tau kenapa? Karena kehidupan tak semudah mengayuh sepeda untuk tetap berjalan diatas aspal yang halus.​"

Sebelumnya mohon maaf dan mohon izin untuk memberanikan diri menuliskan sebuah catatan sederhana seorang lelaki yang hidup di sebuah kota kecil namun sangat nyaman, Magelang.

Gue nulis ini sebagai catatan dan memory gue untuk melukiskan tentang kehidupan yang seperti roda. Silahkan berpendapat cerita ini true story atau fiktif belaka, disini gue hanya menulis sebuah roda kehidupan.

Gue sadar tulisan gue masih acak-acakan. Mohon maaf jika terdapat banyak umpatan kasar dalam bahasa jawa dan beberapa pikiran liar yang terkandung dalam cerita. Semoga bisa disikapi secara bijak. Cerita ini dimulai saat gue masih duduk di bangku SMA pada tahun 2003. Nama tokoh dan tempat instansi sengaja disamarkan atau gue ganti demi kebaikan kita semua.

Ah... kurasa cukup. Dan kamu akan tetap menjadi ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset