Spasi episode 3

-- 3 --

Aku tiba di Bandung.

Dinginnya Bandung seharusnya bukanlah apa-apa bagiku yang lahir dan besar di pelukan Semeru, namun karena tubuh yang lelah dari perjalanan jauh membuatku ringkih atas rasa dingin ini.

Kami berdiri di hadapan sebuah bangunan yang asing, kata pengantar kami (seorang guru dari SMA lain), kami dipersilahkan untuk membersihkan diri di kamar mandi bangunan tersebut dan akan menjalani penempatan asrama pagi ini juga.

Aku tidak berani mandi karena air yang sedingin es juga tubuhku yang mulai merasa aneh, mungkin masuk angin. Ada barisan kran dan beberapa pintu kamar mandi di dalam sebuah ruang berukuran besar. Aku cuci wajah, rambut dan menyikat gigi. Beberapa orang teman perempuan menyempatkan mandi.

Bangunan ini adalah sebuah masjid, aku juga baru menyadarinya saat melihat seorang perempuan keluar dari bangunan utama dengan bermukenah. Ia tersenyum melihatku, namun pipi yang terasa kaku dan gigiku yang ngilu membuat aku hanya membalas dengan anggukan. Beberapa teman perempuan masih mandi dan berbenah di dalam sehingga masih ada waktu untuk beristirahat sejenak di luar kamar mandi.

Beberapa hari yang lalu, saat aku belum berangkat ke Bandung, aku juga membangun rencana dalam angan-anganku. Aku akan tiba di suatu pagi di Bandung dengan semangat anak desa yang hendak membangun masa depannya di kota, aku akan mempunyai senyum baru meskipun aku datang dengan patah hati, dan aku juga akan menyusun tujuan baru untuk hidup yang baru.

Tapi hari ini….

Aku tidak menyukai kota ini.
Aku tidak menyukai aromanya karena aroma basah embunnya tidak seperti aroma Semeru pagi.
Aku tidak menyukai basah rumput di halaman masjid karena aku tidak bisa melihat hampar tanah yang basah dan berwarna gelap seperti tanah Semeru. Tidak ada tanah disini, tanah-tanahnya sudah dilapisi semen atau aspal.
Aku tidak menyukai dinginnya karena dingin ini tidak seperti Semeru. Dingin ini berbau asap.

Beberapa pria dan wanita mengobrol dalam jarak yang berjauhan di tempat penitipan sepatu dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Mereka bicara dengan cepat, tertawa, serius, lalu tertawa lagi.

Aku tidak menyukai suasananya. Aku tidak suka bahasa asing ini. Aku tidak suka isolasi ini.

Rombongan kami akhirnya berkumpul lagi. Wahyu juga tampak lebih segar, kali ini dia mengenakan earphone dan dia masih tidak membalas tatapanku yang berkali-kali melihatnya.

Tidak lama kemudian ada beberapa pemandu yang datang. Pemandu-pemandu yang membawa pergi teman-temanku, menyisakan aku dan Wahyu bersama seorang pemandu pria muda dengan jaket almamater berwarna hijau.

“Kenalin, saya Sapta. Ini pasti Disha dan ini Wahyu, iya kan? Atau kebalik nih haha?” Wajahnya cerah dan tawa terus menghiasi bibirnya. Aku mengangguk. Wahyu juga mengangguk dan melepas earphone-nya.
“Saya mahasiswa semester 5 disini. Jurusan Geologi. Kalian mau masuk jurusan apa nantinya?” Kak Sapta terdengar kikuk saat berusaha membuka obrolan dengan kami yang terus diam dan kaku.
“Aku sih pengennya Teknik Mesin, Kak!” Jawab Wahyu tiba-tiba bersemangat.
“Wah keren! Lumayan ketat tuh persaingannya! Tapi saya yakin kamu bisa asal rajin belajar!” Kak Sapta menepuk bahu Wahyu mantap.
“Kalo Disha?” Kak Sapta berbalik menatapku.

Aku tidak tahu.

Rasa tidak nyaman berada di tempat baru membuat impian-impianku muspro (punah). Aku hanya menggeleng lalu melihat ke sepatu di kakiku.

“Oh santai aja, ambil waktu untuk pikir-pikir lagi ya! Sekarang mungkin masih gugup dan inget rumah terus. Apalagi kalian datang dari jauh.” Kak Sapta mengerti isi pikiranku.

Aku melihat sepatu Kak Sapta yang berjalan diantara aku dan Wahyu sambil tersenyum.

Apakah semua orang disini baik seperti Kak Sapta?

Banyak tangga yang harus kami lewati dan Kak Sapta membantu membawakan koperku. Ada lirik dimata Wahyu saat aku berusaha menolak bantuan Kak Sapta namun tetap dibawakannya tasku. Aku tidak tahu arti lirikan Wahyu, tapi lirikan itu membuat aku makin tidak betah.

Kami tiba di sebuah aula yang sangat luas. Ada deret kursi di tengah aula dan banyak orang sudah duduk disana.

“Kalian duduk aja disini, nanti akan dipanggil oleh Kakak yang itu (Kak Sapta menunjuk ke panitia penerimaan mahasiswa baru yang sedang duduk di balik meja). Kalian serahkan berkas kalian dan dia akan nunjukin bis mana yang akan nganter kalian ke asrama. Kalo ada pertanyaan atau butuh sesuatu, tanya aja sama saya atau Kakak yang pake jaket kayak punya saya ya!” Kak Sapta mengantarkan kami hingga ke deret kursi yang kosong lalu ia pergi menjauh dan bicara dengan teman-temannya.

Aku mengamati Kak Sapta yang pergi keluar di balik pintu besar. Rasa sendiri menyergap lagi dan aku kembali tidak nyaman. Aku duduk dijaraki satu kursi dengan Wahyu. Kami menyiapkan berkas pendaftaran tanpa saling bicara. Toh Wahyu memakai kembali earphone-nya. Pertanda “Aku gak mau ngomong sama kamu, Dish!”

Panitia tidak segera memanggil namaku. Bukan hanya lama, tapi sangat lama. Sudah hampir dua setengah jam sejak aku duduk di kursi ini.

Aku sudah sangat lapar, lelah dan mengantuk menunggu kapan giliran aku dipanggil. Wahyu sudah tertidur memeluk ranselnya.

“Dishayana Kalani Dayananda!”

Aku terhenyak dari kantukku dan segera berdiri. Bertepatan dengan saat aku berdiri, meja panitia satu lagi memanggil nama Wahyu. Aku pegang bahu Wahyu untuk membangunkannya lalu bersama-sama kami menuju meja panitia.

Aku duduk di dalam bis milik kampus dan memasrahkan tujuan kemanapun bis itu akan membawaku. Bis itu diisi oleh perempuan, tidak ada pria selain supir bis, kondektur dan beberapa petugas berseragam.

Hampir lima belas menit kemudian, bis tiba di sebuah bangunan tingkat. Ada plakat bertuliskan Asrama Putri di pintu masuknya.

Kami diarahkan ke lantai tiga karena kata Ibu Pengurus Asrama disanalah tempat mahasiswa baru. Lantai satu dan dua hanya diperuntukkan mahasiswa selain tingkat satu.

Sudah ada dua orang di dalam kamar milikku. Petugas asrama tadi memang bilang bahwa setiap kamar akan dihuni tiga orang. Dua orang tersebut tampak sudah akrab karena mereka sedang bicara dengan keras lalu terpingkal bersamaan. Seketika obrolan dan tawa mereka berhenti saat melihat aku masuk.

“Haii!! Lo pasti……Dishaaaa!” Salah satu perempuan berteriak sambil membuka daftar nama penghuni kamar di atas meja. Aku mengangguk dan menjabat uluran tangan mereka.
“Gue Melanie. Panggil aja Mel!”
“Gue Azka. Lo darimana?”
“Dari Jawa Timur.”
“Jauuuh yaa! Kalo kita berdua sih dari Jakarta, satu sekolah malah haha!”
“Cem lo tau aja dimana Jawa Timur Mel!”
“Eh tau ya, yang deket Bali kaaan!”
“……….”

Mereka melanjutkan obrolan, berawal dari Jawa Timur dan membahas tentang mal yang baru Azka kunjungi di Bandung. Aku tidak mengerti arah obrolan mereka sehingga aku memilih untuk tidur karena beratnya mata mengalahkan laparnya perut. Obrolan Melanie dan Azka yang lantang tak menjadi masalah dengan rasa lelah yang luar biasa.

Kuliah akan dimulai tiga hari lagi. Keesokan paginya aku mengikuti rombongan yang dipimpin oleh Bu Dali, ketua asrama, untuk pergi berbelanja makanan dan kebutuhan. Melanie dan Azka tidak ada di antara kami. Semalam mereka juga tidak ada di kamar.

Sesampainya di asrama lagi segera kubuka hape yang masih belum aku keluarkan dari kotaknya. Lalu kubaca semua instruksinya dan kupasang nomer yang baru aku beli. Aku menelepon rumah Pakde Rekso, ketua dusun kami untuk menyampaikan kabar pada Bapak bahwa aku sudah selamat tiba di Bandung. Pakde Rekso akan mengundang Bapak ke rumahnya agar bisa langsung bicara denganku beberapa hari lagi.

Kuliah tidak menyenangkan.

Itu adalah kesan dua minggu pertama perkuliahan. Semua penjelasan yang serba cepat, jumlah mahasiswa yang banyak dan jarak yang jauh dari papan tulis membuatku tidak betah. Aku berusaha mengikuti penjelasan dosen, namun belum sampai mengerti tiba-tiba ia sudah memberikan kuis.

Tidak ada yang bertanya tentang materi yang dijelaskan sehingga aku juga takut untuk bertanya. Apakah mereka sudah mengerti semua? Doh Disha, kamu ndak ada apa-apanya toh disini!

Wahyu dan Melanie tidak satu kelas denganku. Azka satu kelas denganku meskipun kami tidak pernah berinteraksi di kampus. Ia memiliki banyak teman dan selalu mengobrol di kelas dengan teman-temannya.

Aku selalu duduk di sisi paling kiri deretan keempat dari depan. Tempat yang tidak dilihat orang dan jarang diperhatikan dosen. Mahasiswa yang duduk di deretan paling pinggir juga adalah mahasiswa-mahasiswa yang selalu diam atau tidur. Mungkin deretan ini adalah deretan yang tidak kasat mata.

Tiga minggu lagi akan ada penentuan jurusan. Selama tiga minggu terlalui, nilai kuis dan ujianku jeblok. Mau tidak mau aku harus belajar ekstra rajin, mengurangi waktu tidur dan tetap belajar meskipun waktu istirahat di kampus. Aku tidak ingin gagal lalu menelepon Bapak, menangis minta dijemput pulang.

Melanie dan Azka jarang tidur di kamar. Kata Azka mereka sering menginap di rumah saudara, teman atau hotel bersama Papa Mama mereka yang datang menjenguk.

Sepinya ruang asrama sering aku jadikan medium untuk menangisi diri. Seberapa dekatkah aku dengan tujuanku? Di tengah kesendirianku di tempat baru, apakah aku bisa lalu seperti angin yang mengisi setiap sudut dan mencapai tempat yang dituju? Sering aku takut untuk tidak mampu, dan saat aku gagal, tidak ada siapapun yang akan menyadariku karena perlahan aku tahu bahwa tidak semua orang seperti Kak Sapta.

Tidak ada yang menanyaiku, mengajakku berkenalan apalagi mengerti bahasa diam seperti yang Kak Sapta lakukan dulu.

Mungkin Kak Sapta adalah Malaikat yang hanya dikirim Allah hari itu.

Beberapa kali aku ingin bergabung dengan obrolan saat di kamar mandi atau di dapur asrama, tapi selalu telat atau lidahku terkunci kaku. Semua mahasiswa baru di asrama tampak sudah saling mengenal kecuali aku.

Disha yang minder.

Aku semakin menarik diri dan menghabiskan waktu luang dengan mengurung diri di kamar, belajar atau tidur.

“Eh! Kamu catat jawaban nomer lima tadi tak?” Tepukan pelan dengan pena di bahu mengejutkan aku. Aku menoleh dan seorang mahasiswi berjilbab dan berkacamata yang duduk di belakangku menatap penuh harap. Logat bahasanya unik dan tidak pernah aku dengar sebelumnya.

Tidak seperti Melanie atau Azka. Tidak juga logat Sunda yang sangat sering aku dengar sejak datang ke Bandung.

Aku mengangguk dan menyerahkan bukuku.

“Pinjam sebentar ya! Tari ketinggalan!”

Lalu ia salin dengan cepat tulisanku.

Jam kuliah pun selesai, namun ia masih belum selesai menyalin sehingga aku tunggu.

“Ah selesai juga akhirnya! Terima kasih ya! Oiya kenalkan, Tari, kamu?”
“Aku Disha.”

Tari mengenalkan aku pada teman perempuannya yang lain, Alinda. Alinda ada di kelas yang berbeda dengan kami. Sejak saat itu, kami bertiga sering belajar bersama, jajan dan makan bersama. Kami tidak pernah jalan-jalan berkeliling kota Bandung meskipun sangat ingin karena tuntutan matrikulasi selama enam minggu membuat kami bekerja sangat keras demi bisa diterima di jurusan yang kami inginkan.

Tari berasal dari Padang yang menerima beasiswa yang sama denganku dari Pemerintah Daerah. Alinda asli Bandung yang menerima beasiswa dari salah satu perusahaan di bidang perminyakan.

Mereka adalah dua teman baruku, yang tidak seperti Melanie dan Azka yang jarang sekali di asrama. Tari dan Alinda membicarakan hal-hal yang aku mengerti dan mudah aku ikuti sedangkan Melanie dan Azka sering tidak aku mengerti keasikan mereka berdua.

“Kamu mau masuk fakultas apa nanti, Disha?” Tanya Tari saat kami mengerjakan tugas di pelataran gedung kuliah.

“Biologi, Tar. Kamu?”

“Tari pengen masuk Farmasi. Mama Tari dulu juga kuliah disini, di Farmasi juga. Asik benarlah Mama! Mama Tari cerdas, tidak seperti Tari hahaha! Kamu Lin?”

“Saya mah pengennya Tambang atau Minyak, tapi susah pisan euy!”

“Widiiih!” Jawabku dan Tari bersamaan. Tambang dan Minyak merupakan jurusan yang tampaknya menjadi favorit di kampus kami. Aku juga belum tahu dimana letaknya dan bagaimana rupanya, tapi aku sering mendengarkan percakapan orang-orang di kelas yang juga mengincar kursi di jurusan tersebut.

“Ih biasa aja atuh! Tapi apalah saya ini, paling juga kelempar ke FMIPA!” Desah Alin pasrah.

“Bohong kalilah kamu ini Alin! Nilai-nilai kamu bisa itu masuk semua jurusan teratas di kampus ini! Tidaklah macam Tari dan Disha yang mati-matian kejar 60 buat Kalkulus!” Jawab Tari kesal.

“Kelempar ke FMIPA?” Tanyaku heran sambil mengulang pernyataan Alin.

“Iya, FMIPA itu passing grade-nya rendah Disha, kalo gak bisa masuk di jurusan yang passing grade-nya tinggi, bakal dilempar ke FMIPA. Disana pilih lagi tuh ada Fisika, Kimia, Matematika, Astronomi! Gak asik kan?” Terang Alin.

“Jangan begitulah kamu Alin, kalau tidak ada FMIPA tidak akan ada itu Tambang dan Minyak! Orang-orang hebat itu dosen-dosennya! Sayang kali mahasiswa yang tidak ingin masuk sana merasa dibuang dan benci kuliahnya, jadilah malah di drop out dari kampus kalau nilainya jelek! Padahal mereka bisalah itu jadi pakar ilmu dasar yang tidak banyak di negara kita!” Bela Tari kesal.

Jelas aku tidak menginginkan FMIPA. Tidak ada yang aku sukai disana. Sudah cukup di SMA dan di matrikulasi, juga di satu tahun ke depan saja aku bergelut dengan Fisika, Kalkulus dan selain Biologi. Sekarang aku sudah jadi mahasiswa dan ingin memilih apa yang aku sukai dan mendalami ilmu tersebut. Aku pejamkan mata sebentar untuk mengulang mantra meyakinkan diri bahwa aku pasti bisa masuk Biologi.

Aku menyukai Tari. Dia selalu bisa menemukan baik dalam tidak baik. Dia bisa melihat dari sudut pandang yang lain saat orang lain sering melihat dari sisi yang sama. Wajahnya yang keturunan Padang dan Timur Tengah semakin cantik dengan kacamata dan jilbabnya. Dari caranya bicara juga aku tahu Tari cerdas dan dewasa dalam berpikir. Logat bicaranya yang berbeda (dia tidak pernah bilang aku, tapi selalu menyebut namanya sendiri untuk menunjuk dirinya) juga selalu menjadi daya tarik tersendiri. Tak jarang aku menirukan logatnya dan belajar satu dua kosakata Padang darinya.

Alinda memiliki wajah khas Sunda yang kata orang terkenal kecantikannya. Kulitnya putih, tubuhnya paling pendek di antara kami bertiga, dan Alin adalah yang paling cerdas diantara kami. Nama Alin selalu berada dalam deret lima teratas saat pengumuman nilai ujian ditempel di papan pengumuman. Alin juga yang paling sering mengajari kami saat belajar bersama. Tapi Alin selalu menjadi Mahasiswa-Itu, mahasiswa yang selalu mengkhawatirkan nilai-nilainya, mengaku belum belajar, mengaku belum mengerti, tapi tetap bisa dapat nilai 98/100.

Mahasiswa seperti itu seringkali membuat mahasiswa lainnya meradang karena mampu menimbulkan iritasi dalam bentuk rasa kesal. Setidaknya bagiku dan Tari.

Ujian matrikulasi dilaksanakan. Tidak ada keyakinan sebesar rasa yakin saat mengerjakan Ujian Akhir Sekolah dulu. Kali ini aku seperti dipayungi awan kegagalan yang siap menghujankan tombak-tombaknya untuk menhujamku jika aku tidak mampu masuk ke jurusan yang aku inginkan.

Aku menginginkan jurusan Biologi karena aku menyukai mata pelajaran tersebut sejak pertama kali mengenalnya. Tidak ada alasan lain karena aku memang tidak tahu apapun tentang orientasi kerja atau yang disebut orang-orang dengan jurusan yang gampang dapat kerja.

Pengumuman hasil ujian matrikulasi akan menyatakan mahasiswa di terima di fakultas apa. Setelah itu kami masih harus bergelut satu tahun penuh untuk memilih program studi yang dimau.

Satu minggu kemudian pengumuman itu ditempel di papan pengumuman. Aku dan Tari berusaha menerobos kerumunan mahasiswa yang ingin mencari nama mereka. Setelah berdesak-desakan akhirnya kami bisa berdiri di depan papan pengumuman dan menemukan kelas kami.

“Disha! Tari masuk Sekolah Farmasi! Alhamdulillah Ya Allah! Kamu masuk biologikah Disha?”

Aku menemukan namaku dan merunutkan ujung telunjukku ke kolom fakultas di sisi kanan kolom nama.

Dishayana Kalani Dayananda ——- FMIPA.


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset