Janur Kuning episode 15

DUKUN HITAM DAN PARA PENGHUNI RUMAH LEMBAH

Ki Bagus tetap berdiri terdiam tanpa menghiraukan ancaman Siluman Babi penjaga gerbang. Suasana seketika hening, kedua siluman babipun terdiam seakan tak mampu untuk berkata-kata lagi. Ki Bagus mulai membuka matanya dan mengarahkan tatapan tajam ke arah kedua siluman babi. Pancaran energi dahsyat mulai memancar dari tubuh ki Bagus. Tanpa berbicara lagi, ki Bagus langsung mengeluarkan janur kuningnya, seutas janur kuning digenggam erat-erat di tangan kananya. Dua siluman babi yang angkuh tersenyum geli melihat Ki Bagus dengan janur kuningnnya. Namun, tiba-tiba janur kuning itu memancarkan kilauan cahaya kuning keemasan dan menyilaukan mata kedua siluman babi yang ada dihadapan Ki Bagus. Tak lama kemudian pancaran kilauan cahaya janur kuning berangsur menghilang, namun hal aneh terjadi dengan janur kuning. Seutas janur kuning yang digenggam Ki Bagus berubah menjadi pedang panjang dengan kilauan berwarna kuning.

Kedua siluman babi yang melihat pertama kali pedang itu masih tersenyum geli, mereka sangat menyepelekan dan mulai tertawa sombong. Dengan tenang ki bagus mulai berjalan kearah mereka berdua dan langsung menebas salah satu tubuh mereka tanpa perlawanan. Tercengan dan terdiam siluman babi yang satunya seakan tidak percaya temannya bisa terbunuh dan tubuhnya tersungkur di tanah tanpa ada perlawanan. Tanpa berfikir panjang, siluman babi langsung menyerang ki bagus dengan marah. Tapi dengan tenang ki Bagus menghindar sedikit dari amukan pedang siluman babi. Amarah siluman babi membuncah dan tak bisa dibendung lagi, bertubi-tubi pedang dihujamkan ke arah Ki Bagus. Namun dengan sedikit gerakan Ki bagus menghindar dari ancaman tersebut. Aku hanya bisa terdiam melihat pertarungan Ki Bagus melawan siluman babi. Tak lama kemudian Ki Bagus langsung membalas dengan menebas kepala siluman babi tanpa pertahanan. Ternyata janur kuning itu dengan mudah membelah dan membakar tubuh siluman babi sampai habis. Kekalahan mereka membuat pintu gerbang kedua ini terbuka kesamping kanan, kami berjalan tenang menuju gerbang ketiga.

Sekian detik kami sampai di depan gerbang ke tiga, disini gerbang semakin besar dan sudah ada empat manusia berkepala buaya dengan muka beringas dan menyeramkan. Mereka berdiri tegap didepan gerbang dan siap menyambut kami dengan senjatanya. Siluman buaya ini membawa tombak panjang dan runcing sebagai senjata andalannya. Salah satu dari siluman buaya itu berteriak dan menghardik kami. Ki Bagus yang berjalan didepanku diam seribu bahasa dan terus melangkah mendekati mereka. Langkah pasti tanpa mengenal rasa takut dengan sebilah pedang panjang yang memancarkan kilau kuning keemasan di tangan kanannya. Tanpa menunggu lama ki Bagus langsung menyerang keempat siluman buaya yang sudah siap didepan gerbang. Perkelahian serupun terjadi. Kilauan sabetan pedang dan gemerincing tombak saling bersahutan. Satu persatu siluman buaya itu ditumbangkan tanpa ada perlawanan yang berarti. Akhirnya ki bagus berhasil membantai tubuh mereka semua dengan janur kuning di tangan.

Sungguh heran dalam hatiku, para siluman itu seakan lemah dan tidak berdaya terkena sabetan pusaka Janur kuning. Tubuh mereka hancur dan terbakar seperti siluman babi digerbang kedua. Sempat kulihat sisa terbakarnya para siluman itu seperti awan gelap. Secara perlahan pintu gerbang ketiga itu pun terbuka dengan sendirinya, sepertinya para siluman penjaga berperan sebagai kunci dari pintu gerbang ini. Kami pun melanjutkan perjalanan kembali menuju gerbang keempat.

Dalam perjalanan ke gerbang keempat, aku hanya diam dan tidak berbicara sedikitpun. Aku juga tetap berjalan dibelakang Ki bagus, sambil anganku bergentyangan mengingat aksi ki Bagus dengan janur kuningnya. Kami terus berjalan mendekati gerbang keempat. Kemudian langkah kami terhenti sekitar beberapa meter didepan gerbang keempat. Ki Bagus terdiam dan tetap berdiri tegap didepan gerbang dengan masih menggenggam janur kuning ditangan kanannya. Tampak sekelebat cahaya muncul didepan gerbang tanpa tahu asalnya. Sekejap muncul puluhan siluman penjaga dari gerbang keempat berbaris membentuk pagar betis melingdungi gerbang. Para penjaga ini tubuhnya menyerupai manusia tapi berkepala ular. Dengan kulit bersisik dibalut baju perang dari besi berdiri tegap menatap kami dengan penuh amarah. Mereka lagi-lagi menyambut kami dengan tertawa sombong, seakan mereka mau menguliti kami dengan tombak andalannya. Tombak panjang dengan mata tombak berkilauan. Sedangkan ki Bagus yang dari tadi sudah geram melihat perlakuan dari siluman – siluman sebelumnya, tetap menahan diri dan tidak bersuara sedikitpun. Senyum ki bagus serta canda tawanya dikehidupan nyata menghilang saat menghadapi siluman-siluman penjaga tersebut.

Aura energi amarah ki Bagus mulai menyelimuti tubuhnya, dengan wajah merah padam Ki Bagus langsung menghampiri mereka. Tanpa basa-basi ki Bagus langsung menghempaskan sabetan pedang janur kuningnya ke arah siluman ular penjaga pintu gerbang. Pertarungan hebatpun tak bisa dihindarkan lagi. Dengan membabi-buta ki Bagus mulai menebaskan pedangnya kesegala penjuru dan darah para siluman melumuri pedangnya. Satu-persatu siluman ular terjungkal ke tanah dan langsung terbakar. Ki Bagus harus bekerja keras menghabisi siluman ular ini karena jumlahnya yang cukup banyak. Sebilah janur kuning ki Bagus seakan haus darah dan tak ada satupun senjata siluman ular yang mampu nenandinginya. Karena memang itulah senjata yang dibawa ki Bagus dari rumah Harun. Akhirnya, semua siluman itu kembali terbakar seperti siluman-siluman yang sebelumnya. Ki Bagus tetap berdiri tegap melihat semua musuhnya terbakar habis. Terlihat jelas tetesan keringat menyelimuti tubuh ki Bagus dan lelah tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.

Saat penjaga berkepala ular itu mati, gerbang keempatpun terbuka dengan sendirinya seperti gerbang-gerbang sebelumnya. Memang musnahnya para siluman ini menjadi kunci dari gerbang-gerbang yang kulewati, aku dan ki Bagus segera melanjutkan perjalanan ku menuju gerbang selanjutnya yaitu gerbang kelima. Mulutku masih terdiam sampai sekarang, tak satupun kata yang berani aku keluarkan meskipun sekedar bertanya kepada ki Bagus. Ki bagus mempercepat langkahnya dengan wajah serius. Terlihat gerbang ke lima semakin dekat. Aku tetap berjalan mengikuti Ki Bagus dan selalu berada di belakangnya.

Kemudian Ki Bagus menghentikan langkahnya didepan gerbang kelima. Suasana lebih menyeramkan dari sebelumnnya menyeruak disekeliling gerbang. Gerbang kelima adalah gerbang terakhir yang harus kami lalui untuk mencapai rumah di Dukun. Di depan gerbang sudah berkumpul sangat banyak penjaga, jumlahnya hampir ratusan penjaga. Para penjaga gerbang kelima sangat menyeramkan, mereka berwujud seperti manusia tapi memiliki ukuran badan yang cukup besar. Mereka adalah raksasa atau “Buto” yang berbadan besar, kekar, bertaring tajam, bertanduk satu dikening dan berwana-warni. Mereka berbaris rapi didepan gerbang, baris pertama ditempati buto berwarna merah, baris kedua buto berwarna hijau dan baris ketiga dan seterusnya buto berwarna hitam. Meraka membawa berbagai macam senjata yang sudah siap ditangan dan mengacungkannya kepada kami. Tubuh mereka tinggi kira-kira sepuluh meteran serta besarnya mereka juga bermacam-macam. Tapi tiba-tiba dari kegelapan gerbang terakhir ini ada sosok mahluk seperti panglima perang berpakaian adat jawa melesat dan duduk setengah jongkok dihadapan Ki Bagus. Gerakan para siluman yang sudah berbarsi terhenti seketika itu juga.

Mahluk yang berperawakan seperti panglima ini diikuti dua mahluk lagi seperti pengawal pribadinya, dengan pakaian adat jawa. Tapi pakainnya tidak sama dengan yang pertama bersimpuh didepan ki bagus, pakaian mereka cenderung lebih sederhana tanpa banyak asesoris.
Bentuk kaki mereka yang kiri ditekuk untuk duduk sedang kaki kanan berjongkok. Kedua telapak tangannya menempel jadi satu terangkat sejajar dengan kepala seperti seorang hamba menyembah kepada tuannya, dengan kepala sedikit tertunduk.

“Siapa yang menggangu raden!!!” Ucap pria berbadan tinggi besar lengkap dengan pakaian khas keraton Jawa didepan Ki bagus

“Ohhh kamu, sudah kembali saja. Saya bisa atasi sendiri masalah ini” Terang Ki Bagus

“Tapi Raden, kalau saya kembali. Bisa-bisa saya dihukum sama Prabu, kalau raden kenapa-napa?” Terang sosok panglima ini.

“Tidak, nanti saya yang bilang. Kembalilah kalian” Perintah ki bagus

Sosok mahluk yang baru aku lihat ini langsung berdiri dan berbalik arah, ia menghadap mengarah pada pasukan yang didepan kami dengan tatapan penuh amarah. Sekian detik mereka langsung melesat lagi hilang dalam kegelapan malam. Pasukan yang tadinya mau mengeroyok kami tiba-tiba perlahan mundur dan lari dengan sendirinya kesegala penjuru arah tanpa disuruh atau diminta, mereka kabur dengan sendirinya tanpa bertarung.

Pintu terakhir berwarna merah yang terlihat menjulang tinggi dan besar ini, secara perlahan terbuka dengan sendirinya bergeser ke kakanan dan kekiri. Langkah kami terus maju hingga markas utama, dari kejauhan rumah tukang teluh mulai terlihat. Rumah dukun teluh ini terbuat dari kayu, kusam dan agak reyot. Berbentuk rumah panggung dengan bangunan teras didepannya. Terdapat potongan pohon sedang dengan pahatan-pahatan menyerupai tangga yang diletaktan tepat didepan teras. Di atas teras terdapat hiasan kepala kerbau dengan tanduk yang sangat besar. Pada tiang-tiang penyangga teras banyak tergantung kepala binatang yang diawetkan, salah satunya ada kepala harimau. Dibelah kanan dan kiri rumah tumbuh pepohonan yang sangat rimbun dengan ranting yang tidak beraturan. Didepan rumah terdapat satu pohon kelapa menjulang tinggi keatas. Di bawah rumah terdapat beberapa babi yang dipelihara dengan tubuh kotor dan menjijikkan. Tidak ada cahaya sedikitpun diluar, hanya terlihat sedikit cahaya keluar dari celah kecil himpitan papan kayu rumah panggung ini. ,

Kami berdua melankah menuju kerumah panggung itu. Tanpa permisi, dengan sangat hati-hati, kami menaiki tangga yang terbuat dari kayu utuh menuju ke teras. Ki Bagus tetap menaiki tangga terlebih dahulu, setelah tiba di atas akupun mulai menaiki tangga. Suasana sangat sepi hanya terdengar suara binatang hutan. Kami tetap melangkah pelan dan sesekali kepalaku memperhatikan kanan kiri rumah panggung ini. Ki Bagus mendekati pintu rumah itu dan membukanya pelan. Satu persatu kami melangkah masuk ke dalam rumah. Terlimat remang-remang berbagai macam tumbal tertata rapi di meja sang dukun. Mulai kepala hewan yang bermacam – macam, tempat perapian kemenyan dan bunga-bunga berbagai rupa tertata apik di dalam wadah nampan bambu. Sedang alat teluh dan pusakanya bergelantungan didinding papan kayu sebelah kanan kiri. Sang dukun yang sudah bersiap dengan tubuh halusnya tegap berdiri didepan kami dan menyambut kedatangan kami dengan dada membusung penuh kesombongan. Sedang tubuh kasarnya hanya duduk bersila bersendekap dengan mata sudah terpejam. Ki Bagus melangkah maju menghampiri sang dukun, namun aku tetap berdiri agak jauh dari mereka.

“Apa mau kalian datang kemari” Tanya dukun teluh yang memakai baju serba hitam dan celana hitam serta blangkon kain warna hitam

“Aku mau kau akhiri perbuatanmu sekarang juga” ucap Ki bagus yang sudah berdiri ditengah ruang ritual dukun hitam ini.

“Beraninya kau menyuruhku” Bentak kasar sang dukun dengan tangan kananya yang menunjuk kearah kami.

Memang dalam ruangan ini terasa sangat menyeramkan, hanya diterangi cahaya remang-remang dari sebuah lampu tempel yang tergantung disisi kanan tempat ritual. Dihiasi dengan cahaya bara api kecil yang berada didalam tungku depan jasad kasar dukun teluh ini. Dukun tua dengan bentuk tubuh sudah terlihat renta, dan berpenampilan kotor serta di tutupi baju lusuh. Dengan suara bentakkannya itupun langsung membuat ruang ritual ikut bergetar. Mata merah merona sekejab terbelalak dan menatap tajam ke arah Ki Bagus.

Saat ki Bagus dengan sang dukun mulai berkelahi, secara perlahan langkah kakiku mundur pelan sampai kepintu masuk. Mengambil jarak aman agar tidak terkena imbas dari pertarung hebat itu. Berbagai ilmu kesaktian mereka adu satu persatu. Kilatan senjata mereka terlihat saling berbenturan menimbulkan percikan cahaya merah dan putih. Setelah beberapa lama pertarungan berlangsung, tiba-tiba sang dukun jatuh tersungkur tak berdaya di lantai rumah. Sabetan janur kuning yang menyerupai kilat dengan cahaya kuning menghujam ke tubuh dukun tua renta dengan cepat. Dalam kondisi tak berdaya sang dukun kembali jasad kasarnya yang duduk bersila di depan sesajen dan kepala berbagai hewan sebagai persembahannya.

“Mas jo, sekarang kau ambil semua boneka yang ada diruangan ini. Lepaskan semua ikatannya dan bakar sekalian.” Perintah ki bagus tanpa menoleh kebelakang. Ki Bagus masih terus mengamati kondisi dukun teluh yang jatuh tersungkur diatas singgasana kebesarannya.

“Baik ki” Jawabku. Aku beranjak melangkahkan kakiku dan tanganku mulai mengambil semua boneka yang tersebar dilantai dan dinding

Boneka-boneka ini terikat tali dengan bunga, lengkap dengan nama serta alamatnya. Semua boneka itu aku kumpulkan didepan pintu. Selanjutnya aku mengambil sebilah pisau yang terselip di dinding rumah sang dukun. Dengan menggunakan pisau tersebut, aku mulai memutuskan tali yang melilit boneka-boneka teluh satu-persatu. Aku putus tali pengikat itu dengan sangat hati-hati dan ku pastikan semuanya telah terbebas dari lilitan tali itu. Beberapa menit setelah itu, aku langsung membakar semua boneka teluh didalam ruangan dukun tanpa ragu.

Ki bagus hanya melirik sekilas kearah boneka yang terbakar. Kobaran api kecil menghanguskan semua boneka tersebut tanpa sisa. Selesai boneka ini terbakar semua, aku langsung diajak kembali Ki bagus kerumah Deno. Api yang menghanguskan boneka mulai reda, kulihat dukun teluh yang tadinya tak mau diajak bertobat mulai roboh dengan jasad kasarnya dan tak sadarkan diri. Tubuh kasar sang dukun yang tertelungkup di lantau kayu mulai mengeluarkan rembesan darah dan mengeluarkan bau amis yang menyengat. Terlihat lantai kayu disekitar tubuh sang dukun mulai dibasahi dengan darah. Setelah dipastikan sang dukun teluh telah binasa, Ki Bagus menyinpan kembali pusaka janur kuningnya. Sungguh sangat mengerikan akhir hidup sang dukun teluh. Aku dan ki bagus berbalik arah dan melangkah menuju ke teras.

Kami yang sudah berada diteras rumah dukun teluh bersiap kembali, dengan cepat kami berdua melesat ke jasad kasar kami diruang tamu Deno. Ku buka mataku perlahanilahan, terlihat semua orang yang berada dalam ruang tamu masih berada diposisi semula seperti saat kami pergi meninggalkan mereka.

“Bagaimana mas jo, ki” Tanya Harun yang menatapku dari tempat duduknya.

“Sudah Run, semua sudah selesai” jawab Ki Bagus yang mulai menyulut rokok kreteknya.

“Alhamdulilah.” Sahut semua yang berada dalam ruang tamu Deno.

Semua merasa lega, akan berita yang dibawa Ki bagus. Ki bagus saat itu juga meminta keluarga Deno untuk melepas janur kuning yang melingkar di perut mereka semua. Karena ki bagus merasa situasi sudah kembali aman dan terkendali. Ki Bagus mengalihkan tatapanya ke arah Pak Wijaya. Ki bagus bermaksud menyampaikan sesuatu yang penting kepada pak wijaya yang masih setia berada dalam ruang tamuanya.

“Pak wijaya rumah ini sebaiknya dijual saja” Pinta Ki bagus tanpa basa-basi.

“Kenapa ki” Jawab Pak Wijaya heran

“Harta satu – satunya tinggal rumah ini saja, kalau dijual saya tinggal dimana lagi?” sahut pak wijaya serius dengan nada pelan.

Dengan berbagai argumen dan alasan pak wijaya sangat kekeuh bertahan tidak mau menjual harta satu-satunya. Perdebatan malam itu sangat panjang, aku sendiri sangat memahami pola pikir dan keadaan keluarga pak wijaya. Intinya aku dan Harun setuju akan keputusan pak wijaya, tapi tidak dengan ki bagus yang mempunyai pandangan berbeda dengan kami. Hingga akhirnya ki bagus memutuskan sesuatu yang diluar nalar kami semua.

“Sekarang begini saja pak wijaya dan kalian semua segera duduk melingkar, tangan kalian semua saling bergandengan.” Perintah Ki Bagus
Kami semua saling berpandangan dan langsung mengikuti perintah Ki Bagus. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku. Mau apa lagi ini? Tanpa berfikir panjang, dalam sekejab kami semua sudah duduk bersila melingkar dilantai, dengan tangan saling bergandeng satu sama lain. Diujung ada Ki bagus yang memegang erat tanganku dan harun.

Setelah semua pada posisinya, Ki Bagus memerintahkan kepada kami unutk memejamkan mata seraya membaca do’a yang telah diajarkan sebelumnya. Dalam ritual itu Ki bagus berpesan jika sudah tidak kuat lagi dengan apa yang dialami nanti boleh segera melepaskan pegangan tangannya. Kami berenam dalam lingkaran memulai ritual dengan khusuk, pertama yang terlihat kondisi waktu berubah mundur kebelakang.
Mulai terlihat penampakan satu keluarga dengan satu anak, yang menempati rumah ini. Pertama kami melihat pohon mangga besar berdiri tegak di belakang rumah. Dibawahnya seorang pria sedang duduk bersandar, tiba-tiba datang seorang nenek-nenek tua menghampirinya.

Mereka terlibat percakapan yang serius tentang pesugihan yang dapat mendatangkan kekayaan dengan cepat. Alangkah gembiranya pria itu, karena dia sudah lelah dengan kenyataan hidupnya saat itu. Tapi dengan berfikir panjang pria itu pun akhirnya menyetujuinya. Dengan sekejap harta kekayaan mulai menghampirinya, dia dan keluarganya yang tinggal dirumah itu hidup dengan bergelimang harta. Namun lama kelamaan kejadian-kejaian aneh mulai menghampiri. Pertama anak dari keluarga itu meninggal dengan tidak wajar tanpa penyebab yang jelas. Kemudian tidak lama kemudian disusul oleh istrinya meninggal dengan tidak wajar juga. Sampai pada akhirnya pria ini juga mengalami nasib yang sama, meninggal tidak wajar dengan penyebab yang tidak jelas.


Janur Kuning

Janur Kuning

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2019 Native Language: Indonesia
Kisah ini berawal saat keluarga kami ditawari tanah dari Jambi oleh kenalan ayahku, masih kuingat jelas namanya dia adalah Pak Herman. Orangnya ini berumur 40 tahunan.Orangnya ini berumur 40 tahunan. Saat dia menawari keluarga kami dimedan tentang informasi tanah beserta rumah yang murah di jambi, di informasikan tanah itu seluas 50 Ha, beserta rumahnya. Waktu itu kami ditawari dengan harga 200 juta. Berbekal informasi dari pak herman waktu itu kami sekeluarga berminat untuk pindah ke Jambi karena rumah dan tanahnya tergolong murah saat itu, pada akhirnya ayahku tertarik membeli tanah di Jambi.Penasaran kisahnya? yuk dibaca kelanjutannya!

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset