Pendekar Cinta dan Dendam episode 6

Chapter 6

Dari dalam tandu, Li Jia bisa mendengar suara pedang yang berdenting. Tak hanya itu, suara orang merintih kesakitan juga sempat terdengar. Li Jia tampak ketakutan karena ingatan masa lalu kembali muncul.

Li Jia menutup kedua telinganya karena tidak tahan dengan suara yang membuat ingatan buruk di masa lalu kembali hadir. Dia menutupi telinganya, hingga membuat tubuhnya bergetar hebat.

Di saat dia ketakutan, pintu tandu tiba-tiba terbuka. Melihat cahaya, seketika Li Jia menjerit saat tubuhnya disentuh. “Tidak! Jangan dekati aku. Pergi kalian! Pergi!” Li Jia berteriak sambil memundurkan tubuhnya ke belakang. Wajahnya disembunyikan di dinding tandu.

“Nona, jangan takut! Ini aku, Lian,” ucap Lian yang tampak terkejut dengan sikap majikannya itu.

Melihat Li Jia ketakutan, Liang Yi cukup terkejut. Dia tidak menyangka kalau gadis itu memiliki trauma yang membuatnya ketakutan seperti itu.

“Nona, tenanglah. Mereka sudah pergi,” ucap Lian yang mencoba menenangkan gadis itu.

Dari balik penutup wajah, Li Jia melihat Lian yang mengulurkan tangan padanya. Seketika, gadis itu menangis dan segera memeluk pemuda itu.

“Aku mohon, jangan tinggalkan aku,” pinta Li Jia dengan isak tangis. Walau ingin menolak, tetapi Lian tidak bisa melakukan apa-apa saat Li Jia memeluknya erat. Gadis itu kini menangis di dalam pelukannya.

“Aku tidak akan meninggalkan Nona. Tenanglah, Nona tidak akan disentuh oleh siapa pun selama aku masih ada.”

Untuk beberapa saat, Li Jia merasa tenang dipelukan Lian. Sementara Liang Yi mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Entah mengapa, dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Li Jia. Sesuatu yang membuat gadis itu sangat ketakutan.

Setelah Li Jia mulai tenang, mereka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Karena tidak ada lagi yang membawa tandu, Li Jia akhirnya duduk di kuda yang ditunggangi oleh Lian.

Awalnya, Lian keberatan saat Li Jia duduk satu kuda dengannya, karena bagaimanapun dia tidak pantas duduk dengan majikannya itu. Namun, saat melihat Li Jia masih ketakutan, dia akhirnya membiarkan gadis itu duduk di depannya.

Lian masih bisa merasakan sisa ketakutan dari getaran tubuh Li Jia. Deru napasnya memburu seiring degup jantung yang berpacu cepat. Tangan gadis itu meremas pergelangan tangan Lian seakan tidak ingin dilepaskan.

Setibanya di Rumah Pelangi, Lian lantas membawa Li Jia di dalam bopongannya. Gadis itu dibawa ke kamarnya. Sementara Liang Yi, kembali ke istana.

“Lian, ada apa dengan Li Jia?” tanya Yi Wei panik.

“Dalam perjalanan pulang kami diserang sekolompok orang dan terpaksa kami harus melawan. Saat aku melihat Nona di dalam tandu, Nona sangat ketakutan. Sejak kejadian itu, Nona tampak gemetar,” jelas Lian setelah meletakkan Li Jia di tempat tidurnya.

“Kalau begitu, kamu boleh keluar. Biar aku yang akan merawatnya.”

Lian lantas keluar dari kamar. Dia tampak khawatir saat meninggalkan tempat itu. Dia kemudian berdiri di depan pintu ruangan itu.

Li Jia terbaring dengan peluh yang membasahi wajahnya saat penutup wajah disingkap dari wajahnya itu. Wajah gadis itu tampak memucat dengan bibir yamg gemetar. Yi Wei lantas mengusap peluh dan menempelkan kain basah di dahi Li Jia. Tubuhnya kini mengalami demam.

Semalaman, Yi Wei terjaga di samping Li Jia. Dia tahu, trauma masa lalu yang membuat gadis itu mengalami sakit. Karena itu, semalam suntuk dia berada di sisi Li Jia. Begitu pun dengan Lian yang berdiri di depan pintu ruangan itu. Dia juga mengkhawatirkan keadaan Li Jia.

Menjelang pagi, Li Jia mulai membaik. Perlahan, dia membuka mata dan melihat Yi Wei duduk di depannya. Sontak, dia menangis.

“Apa yang terjadi padamu? Kamu sudah membuatku ketakutan,” ucap Yi Wei sambil mengusap air mata Li Jia. Gadis itu lantas berusaha untuk duduk. Li Jia kemudian memeluk Yi Wei dan menangis di pelukan wanita itu.

“Aku takut karena bayangan itu muncul di hadapanku. Nyonya, kenapa peristiwa itu tidak bisa hilang dari ingatanku? Aku ingin melupakannya, tetapi aku tidak bisa.”

Di luar sana, Lian mendengar ucapan Li Jia. Dia merasa kalau ada peristiwa yang membuat gadis itu merasa ketakutan.

“Nyonya, apa yang harus aku lakukan? Kenapa aku tidak bisa melupakan pembunuhan yang menimpa keluarga dan penduduk desaku? Apa salah kami, hingga mereka tega membinasakan semua penduduk desaku?”

Lian terkejut saat mendengar penuturan Li Jia. “Apa karena itu dia ketakutan? Apa yang sebenarnya terjadi pada desa dan keluarganya?” batin Lian yang penasaran.

“Tenanglah. Untuk saat ini, kamu istirahat saja. Jangan pikirkan apa pun dan yakinlah kalau para pembunuh itu akan mendapatkan hukuman dari Dewa.” Yi Wei berusaha menenangkan Li Jia, hingga gadis itu kembali tertidur.

Hampir tiga hari, Li Jia hanya beristirahat di dalam kamar. Dia tidak diizinkan untuk keluar dari kamar oleh Yi Wei. Sementara Lian masih setia menunggu di depan pintu ruangan itu.

“Lian, apa kamu masih ada di situ?” tanya Li Jia dari dalam kamar.

“Iya, Nona. Apa ada yang harus aku lakukan?”

“Aku ingin meminta bantuanmu. Aku ingin pergi ke padang bunga. Apa kamu bisa mengantarku ke sana?”

Lian terdiam sesaat. Bukan tidak ingin, tetapi dia masih khawatir dengan kondisi Li Jia yang belum benar-benar pulih.

“Jangan khawatirkan aku. Aku sudah tidak apa-apa. Lagipula, aku tidak akan takut selama kamu ada di sisiku. Bukankah, kamu akan menjagaku?” ucap Li Jia kembali yang seakan paham dengan kekhawatiran pemuda itu.

“Baiklah, tetapi bukan hari ini. Aku akan mengantar Nona kalau kondisi Nona sudah benar-benar pulih. Karena itu, beristirahatlah.”

Li Jia tersenyum dan mengiakan ucapan Lian. “Baiklah. Dua hari lagi, antarkan aku ke sana.”

“Dengan senang hati aku akan mengantar Nona. Sekarang, istirahatlah.”

Li Jia lantas kembali tidur. Sudah tiga hari dia berada di kamar tanpa melakukan apa pun. Yi Wei rupanya sangat memerhatikannya. Li Jia merasa seperti memiliki seorang ibu.

Setelah benar-benar pulih, Li Jia meminta izin untuk keluar. Tanpa bertanya, Yi Wei mengizinkannya karena dia tahu alasan Li Jia untuk pergi. Sebelum pergi, Yi Wei sudah mewanti-wanti agar Lian selalu menjaga dan melindungi gadis itu. Lian yang paham dengan tugas dan kewajibannya lantas menyanggupi permintaannya itu. “Jangan khawatir, Nyonya. Aku akan melindunginya,” ucap Lian sungguh-sungguh.

Kali ini, Li Jia pergi dengan menunggangi kuda yang sama dengan Lian. Atas perintah Yi Wei, Li Jia duduk di depan Lian agar pemuda itu lebih mudah menjaganya. Li Jia tidak menolak karena dia merasa aman dan nyaman saat berada di dekat pemuda itu.

Selama perjalanan, Li Jia hanya diam. Di balik penutup wajahnya, dia memerhatikan jalanan yang tidak asing, hingga mereka tiba di sebuah padang bunga yang luas.

Lian menurunkan Li Jia dari atas punggung kuda. Gadis itu lantas berjalan menuju padang bunga yang bermekaran. Lian lantas mengikutinya setelah mengikat tali kuda di sebatang pohon pinus yang tak jauh dari padang bunga tersebut.

Lian lantas membuka jalan karena belum ada jalan yang terhubung ke padang bunga itu. Dengan pedangnya, Lian membabat tanaman liar dan beberapa tanaman bunga untuk menuju ke bagian dalam padang bunga, hingga mereka tiba di tengah padang bunga yang terlihat begitu luas.

Di tengah padang bunga, ada sebuah batu yang tidak terlalu besar teronggok di sela tanaman bunga. Li Jia lantas duduk di atas batu itu. Pandangannya tertuju pada hamparan bunga yang bergerak bak ombak di tengah lautan.

Semilir angin meniup perlahan, hingga menciptakan riak di atas padang bunga. Sungguh, pemandangan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.

“Bukankah tempat ini sangat indah?” tanya Li Jia pada Lian yang berdiri di sampingnya.

“Tempat ini memang indah. Kalau Nona ingin datang ke sini, katakan saja padaku, aku akan mengantar Nona,” jawab pemuda itu.

“Jangan panggil aku Nona kalau hanya ada kita berdua. Namaku Li Jia. Panggi saja aku Li Jia.”

“Tapi, Nona …. ”

“Lian, apa kamu punya orang tua?” tanya Li Jia, hingga membuat Lian tidak lagi melanjutkan bantahannya.

“Aku tidak punya. Aku tidak tahu siapa orang tuaku karena aku dibesarkan oleh nenekku dan dia pun meninggal saat aku masih kecil,” jawab Lian tanpa sedikit pun terlihat kesedihan di raut wajahnya.

Li Jia lantas menatapnya. “Apa kamu tidak merindukan mereka?”

Lian hanya diam dan Li Jia memahami arti dari diamnya itu. Li Jia lantas bangkit dan melepaskan penutup wajahnya. Sontak, Lian segera memalingkan wajahnya karena tidak pantas baginya untuk melihat wajah majikannya itu.

“Lihat aku!” perintah Li Jia pada pemuda itu, tetapi Lian masih enggan menatapnya. “Apa kamu juga akan membenciku karena wajahku ini? Apa warna mataku yang telah membuat mereka tega membunuh orang tuaku dan juga penduduk di desaku?” Suara Li Jia bergetar karena menahan tangis. Sementara Lian, masih memalingkan pandangannya.

“Lian, aku mohon lihat aku. Apa aku selamanya harus menyembunyikan wajahku seperti ini? Apa aku seburuk itu?” Tangis Li Jia pecah, hingga Lian sontak menatapnya. Lian terkejut saat melihat wajah Li Jia. Sesaat, dia merasa takjub dengan keindahan dan kecantikan wajah gadis itu.

Li Jia memiliki wajah yang sangat cantik. Tatapan matanya begitu tenang. Bola mata yang kebiruan membuatnya terlihat bagaikan seorang dewi. Semilir angin yang bertiup menerpa rambut panjangnya yang terurai indah.

Air mata yang membendung di pelupuk mata Li Jia tampak berkilau saat diterpa pendaran cahaya matahari. Lian bergeming karena di depannya berdiri seorang wanita yang memiliki kecantikan yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Lian lantas menundukkan wajahnya. “Kenapa Nona berbicara seperti itu? Apa ada yang ingin Nona ceritakan padaku?” tanya pemuda itu sambil menundukkan pandangannya.

“Apa orang sepertiku pantas untuk dibunuh? Ataukah, desa kami memiliki kutukan, hingga mereka harus mati dengan cara sekejam itu?”

Lian lantas mengangkat wajahnya dan dia melihat ada kecemasan dan kesedihan di tatapan mata gadis itu.

“Apa aku juga harus mati agar rasa bersalah ini bisa musnah?” Li Jia terduduk sambil menangis. Lian lantas mendekatinya. Walau ragu, Lian akhirnya memberanikan diri untuk membelai puncak kepala Li Jia, hingga gadis itu menatapnya dengan wajahnya yang sedih. “Lian, apa kamu ingin menjadi temanku?”

Pemuda itu tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, mulai saat ini aku adalah temanmu. Jadi, jangan menangis lagi.”

Li Jia menghapus air matanya. Selama sepuluh tahun, dia hanya hidup sendiri bersama Yi Wei tanpa ada seorang teman. Namun, kehadiran Lian membuat dirinya lebih tenang. Terlebih karena Lian-lah orang pertama yang selalu membela dan menjaganya dalam keadaan apa pun. Sosok Lian menjadi sosok yang penting baginya.

Keduanya kini duduk sambil memerhatikan padang bunga. Li Jia lantas menceritakan kehidupan masa lalu yang menyiksa hatinya.

Mendengar kisah hidup Li Jia, Lian tersentuh. Dia merasa kalau gadis itu memiliki nasib buruk yang tidak patut dialaminya. Ternyata, nasib dirinya tidak seburuk nasib Li Jia yang jauh lebih tragis darinya.

“Jadi, karena itulah kamu menutupi wajahmu?”

Li Jia mengangguk. “Nyonya yang memintaku untuk melakukannya. Dia khawatir kalau pembunuhan itu karena warna mataku ini,” jelas Li Jia.

“Kalau begitu, lakukan saja. Apa pun yang terjadi, jangan perlihatkan wajahmu pada siapa pun. Kalau ada yang melihat wajahmu dengan sengaja, aku pasti akan membunuhnya!” tegas Lian.

“Aku sengaja datang ke tempat ini karena hari ini tepat sepuluh tahun sejak kejadian pembantaian itu. Aku ingin mengunjungi desa, tetapi aku masih takut. Karena itu, aku memilih datang ke tempat ini.” Li Jia lantas bangkit. Dia kemudian berjalan ke tengah padang bunga yang tingginya sebatas lutut. Sementara Lian hanya melihatnya dari atas batu.

Li Jia lantas menari di tengah padang bunga. Dia menari tanpa menutupi wajahnya seakan dia ingin memperlihatkan pada semesta kalau dia sanggup menentang kejamnya dunia.

Li Jia menari dengan indah seiring embusan angin yang bertiup lembut. Tiba-tiba, guguran bunga beterbangan memenuhi tempat itu. Lian terkejut saat bunga-bunga putih mengelilingi Li Jia yang masih menari. Keindahan tariannya seakan menjadi magnet yang menarik apa pun untuk mendekat.

Lian menatapnya tanpa kedip. Tarian Li Jia begitu memukau, hingga membuat pemuda itu enggan memalingkan wajahnya. “Li Jia, aku akan menjagamu. Tak peduli apa pun, aku pasti akan melindungimu,” batin Lian.

Angin seketika berhenti bertiup saat Li Jia selesai menari. Bunga-bunga yang beterbangan kini entah pergi ke mana. Li Jia menatap sekelilingnya sambil menyeka pipinya yang basah dengan air mata. “Maafkan aku karena aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membalas kematian kalian. Aku hanya bisa berdoa, semoga mereka yang melakukan ini pada kalian akan menerima ganjaran yang setimpal,” batinnya dengan tangan yang mengepal.

Li Jia telah pasrah jika dendamnya tidak akan terbalaskan. Dia telah bertekad untuk melanjutkan hidupnya. Sementara Lian, telah berjanji untuk menjaganya.

“Sebaiknya kita pulang. Nyonya pasti mengkhawatirkanku,” ucap Li Jia pada Lian. Mereka lantas kembali ke Rumah Pelangi.

Setibanya di sana, Yi Wei sudah menunggu. “Kalian dari mana saja. Utusan pangeran datang mencarimu,” ucap wanita itu.

Li Jia lantas bergegas masuk dan bertemu dengan utusan pangeran tersebut. Ternyata utusan itu adalah Liang Yi yang sudah menunggunya sejak tadi. “Ada apa kamu mencariku? Apa Pangeran yang memintamu datang?”

Melihat keadaan Li Jia yang baik-baik saja, Liang Yi mengembuskan napas lega. Dia begitu khawatir dengan keadaan gadis itu sejak mereka terakhir bertemu. “Pangeran ingin bertemu denganmu,” ucap Liang Yi menyampaikan permintaan pangeran.

“Maaf, untuk hari ini aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Aku ingin sendiri. Sebaiknya kamu kembali saja dan katakan pada Pangeran kalau aku tidak bisa datang menemuinya.” Li Jia lantas masuk dan pergi meninggalkannya.

“Maaf, Tuan. Untuk hari ini, Li Jia tidak bisa pergi. Namun, aku pastikan kalau di lain hari dia pasti menyanggupinya,” ucap Yi Wei.

“Tidak masalah, Nyonya. Aku akan menjelaskan pada Pangeran dan Pangeran pasti akan mengerti. Aku pamit dulu.” Liang Yi kemudian pergi. Namun, dia tidak kembali ke istana melainkan menuju sebuah pasar di mana dia pertama kali bertemu dengan seorang gadis bermata biru. Gadis yang tidak bisa dilupakan olehnya.


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset