Pendekar Cinta dan Dendam episode 8

Chapter 8

Sejak penolakan Li Jia waktu itu, Pangeran Wang Li mulai penasaran dengannya. Seorang penari yang berasal dari Rumah Pelangi dengan mudah menolak panggilannya. Saat Liang Yi mengatakan kalau gadis itu menolak, Pangeran Wang Li cukup terkejut. Padahal, semua penari di negeri ini sangat mengharapkan untuk bisa diundang menari di istana. Akan tetapi, Li Jia dengan mudah menolaknya.

Li Jia menunduk di depan Pangeran Wang Li saat duduk di depannya. Pemuda itu hanya menatapnya tanpa mengatakan apa pun.

“Maafkan aku atas kelancanganku waktu itu. Aku tidak bermaksud untuk menolak panggilan Pangeran karena hari itu adalah hari peringatan kematian orang tuaku. Karena itulah, aku tidak bisa memenuhi panggilan Pangeran,” jelas Li Jia. Gadis itu lantas berlutut walau berusaha menahan rasa nyeri di pergelangan kakinya.

“Sudahlah, aku tidak akan mempermasalahkannya. Maaf, kalau aku sudah mengganggumu waktu itu. Ah, kamu memang pantas untuk menolaknya. Aku turut berduka,” jawab Pangeran Wang Li dengan kewibawaannya.

“Terima kasih atas pengertian Pangeran.”

“Ah, sudahlah. Untuk hari ini aku ingin kamu menemaniku di sini.”

Li Jia cukup terkejut saat pengeran memintanya untuk menemani pemuda itu. Permintaan yang baginya adalah sesuatu hal hal yang mustahil.

“Kenapa? Apa kamu tidak ingin menemaniku di sini?” tanya pangeran sambil menuangkan arak ke dalam cangkirnya. Li Jia bisa mencium aroma khas dari minuman memabukkan itu.

“Pangeran, biar aku yang menuangkannya.” Li Jia lantas mengambil kendi kecil yang berisi arak dan menuangkan pada cangkir yang telah kosong.

“Pangeran, maafkan kelancanganku, tetapi menurutku seorang Pangeran tidak boleh berbuat seperti ini. Apakah dengan mabuk bisa menyelesaikan masalah?”

Mendengar pertanyaan Li Jia, Pangeran Wang Li meletakkan cangkirnya dengan kasar di atas meja. Seketika, Li Jia terkejut.

“Kalau begitu, apa kamu bisa membantu menyelesaikan masalahku?”

“Maaf, Pangeran. Kalau aku bisa, aku pasti akan membantumu,” jawab Li Jia tanpa ragu sedikit pun. Mendengar jawabannya, Pangeran Wang Li tertawa. Li Jia dibuat bingung dengan sikap pemuda itu.

“Kalau begitu, apa kamu mau menjadi permaisuriku?”

Li Jia kembali terkejut. Pangeran Wang Li menatapnya lekat. Namun, pemuda itu lantas tersenyum. “Ah, apa seorang pangeran sepertiku tidak bisa memilih permaisuri sendiri?” Pemuda itu mengembuskan napas dengan kasar karena kegelisahan yang dialaminya.

Di usianya kini, Pangeran Wang Li sudah pantas untuk dinobatkan menjadi raja. Karena itu, beberapa perdana menteri sudah mencalonkan anak-anak gadis mereka untuk dijadikan permaisuri. Namun, tidak satu pun yang berhasil mendapatkan perhatiannya. Semuanya tidak sesuai dengan keinginannya.

“Lalu, gadis seperti apa yang Pangeran inginkan?” tanya Li Jia mencari tahu.

Pangeran Wang Li terdiam. Dia kembali meneguk arak yang baru dituangkan oleh Li Jia. Pemuda itu lantas menatapnya. “Aku ingin wanita yang bisa membuatku nyaman saat bersamanya. Wanita yang bisa membuatku tersenyum dan memperlakukanku bukan sebagai pangeran. Ah, apa aku bisa menemukan gadis seperti itu?” Pangeran Wang Li tidak melepaskan tatapannya dari Li Jia. Seakan wanita yang dia harapkan adalah gadis itu.

“Aku yakin, pasti ada wanita seperti itu. Pangeran bisa mendapatkan wanita mana pun yang diinginkan. Siapa pun wanita yang kelak mendampingimu, aku harap dia bisa membantumu menjadi raja yang baik. Sebagai teman, aku berharap Pangeran bisa menemukan wanita yang Pangeran harapkan.”

Pangeran Wang Li tertawa, hingga wajahnya memerah. Namun, itu bukan tawa bahagia melainkan kesedihan karena dia tidak bisa memilih wanita yang dia inginkan. “Ah, andai kamu tahu apa yang aku rasakan. Andai aku bisa memilih wanita yang aku inginkan, maka wanita yang akan aku pilih adalah dirimu,” batin Pangeran Wang Li sambil kembali meneguk arak.

Sejak pertama kali melihat Li jia, Pangeran Wang Li mulai terpikat dengan sikapnya. Tak peduli dengan wajah gadis itu yang belum pernah dilihat olehnya, tetapi tidak membuat kekagumannya pada gadis itu memudar.

Pangeran Wang Li dihadapkan pada situasi yang cukup sulit. Dia dipaksa untuk bisa menerima salah satu dari gadis-gadis itu. Namun, hingga saat ini yang mampu bertahan hanyalah Putri Liu Yen. Gadis itu telah menyingkirkan kandidat lainnya.

“Putri Liu Yen sangat cantik. Apa dia juga termasuk kandidat yang dicalonkan?”

Pangeran Wang Li tersenyum kecut saat mendengar nama gadis itu. Dia sama sekali tidak tertarik untuk menjadikan gadis itu sebagai permaisurinya.

“Jika disuruh untuk memilih, maka aku lebih baik memilihmu daripada gadis itu.” Pangeran Wang Li kembali meneguk arak. Ucapannya itu membuat Li Jia tersenyum, tetapi tidak bagi Lian.

“Pangeran, apalah arti gadis sepertiku jika dibandingkan dengan Putri Liu Yen. Aku ini hanyalah penari dari Rumah Pelangi. Walaupun aku dipilih, belum tentu aku akan menerimamu,” ucap Li Jia tanpa takut sedikit pun.

“Kenapa? Wajahku sangat tampan dan aku adalah calon raja negeri ini. Setiap gadis pasti sangat menginginkan menjadi permaisuri, tetapi kenapa kamu menolaknya?” Pangeran Wang Li tampak penasaran dengan ucapan Li Jia. Baru kali ini ada seorang gadis yang terang-terangan menolak dirinya.

“Itu karena tidak ada cinta di antara kita. Mana mungkin aku akan menikahi lelaki yang tidak aku cintai. Apa Pangeran mau menikah dengan gadis yang tidak Pangeran cintai?”

Jawaban Li Jia membuat Pangeran Wang Li seketika tertegun dan dia membenarkan perkataan gadis itu. Dia memang menyukai Li Jia, tetapi gadis itu tidak menyukainya apalagi mencintainya.

“Ah, sudahlah. Jangan diteruskan lagi.” Pangeran Wang Li terlihat kesal dan meneguk arak beberapa kali tegukan. Karena merasa bersalah, Li Jia mengambil kendi arak dari tangan pemuda itu.

“Maafkan aku, tetapi arak ini tidak baik untuk kesehatan Pangeran,” ucapnya sambil menyembunyikan kendi itu di bawah meja.

“Li Jia, tidak bisakah kamu menghiburku? Saat aku menjadi raja nanti, mungkin saja aku sudah tidak bisa memanggilmu datang ke istana lagi. Jadi, menarilah untukku,” pinta Pangeran Wang Li. Gadis itu lantas tersenyum dan mengiakan permintaannya. Walau tahu pergelangan kakinya masih terasa sakit, tetapi Li Jia bersikap profesional dan tetap menari di depan Pangeran Wang Li.

Di luar sana, Lian terlihat begitu khawatir. Dia cemas jika pergelangan kaki gadis itu akan semakin parah karena memaksa untuk menari. Benar saja, Li Jia berusaha menahan sakit saat dia mulai menari. Walau begitu, dia tetap melakukan tugasnya hingga selesai.

Pangeran Wang Li selalu dibuat takjub dengan tarian Li Jia. Karena itulah, dia meminta gadis itu untuk menginap di istana.

“Liang Yi, antarkan Li Jia dan pengawalnya ke kamar. Malam ini mereka akan menginap,” perintahnya pada Liang Yi.

“Baik, Pangeran.”

Li Jia lantas menunduk memberi hormat dan berjalan meninggalkan tempat itu. Dia berjalan dengan menahan rasa sakit yang kian menjadi. Setibanya di luar, Li Jia hampir terjatuh andai Lian tidak segera meraih tubuhnya.

“Nona, bukankah sudah aku bilang untuk tidak menari?”

“Lian, diamlah!”

“Nona, naiklah ke punggungku. Aku akan membawa Nona ke kamar,” ujar Lian sambil duduk dan membelakanginya.

“Tidak perlu, Lian. Aku masih mampu berjalan sendiri. Berdirilah, jangan seperti itu,” ucap Li Jia yang merasa kalau dia tidak pantas naik ke punggung seorang lelaki.

“Jangan membantah. Lebih baik, kamu turuti apa yang dikatakan pengawalmu itu. Dia pasti sangat mengkhawatirkanmu,” ucap Liang Yi sambil berjalan terlebih dulu. “Cepatlah, aku akan tunjukkan kamar kalian,” lanjutnya sambil bergegas pergi.

“Ayolah, Nona. Aku tahu Nona tidak bisa berjalan. Jangan menyakiti diri Nona seperti ini,” ucap Lian memohon, hingga membuat Li Jia luluh dan naik ke punggungnya.

“Aku minta maaf, karena sudah membuatmu khawatir,” ucap Li Jia saat dirinya sudah naik di punggung pemuda itu.

“Aku akan selalu menjaga Nona. Aku tidak ingin melihat Nona merasakan sakit seperti ini. Jadi, aku mohon jaga kesehatan Nona,” ujar Lian sungguh-sungguh, hingga membuat Li Jia melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda itu.

Liang Yi yang sementara berjalan di depan hanya bisa mendengar perbincangan mereka yang menurutnya terlihat sangat dekat. Walau begitu, dia berusaha untuk tidak peduli karena baginya kedekatan mereka hanya sebatas seorang majikan dan pengawal.

Di dalam kamar, Li Jia didudukkan di atas sebuah kursi. Sementara Liang Yi, duduk di depannya sambil membuka sepatu gadis itu. “Kalau tidak segera diobati, maka sakit di kakimu ini akan semakin parah dan mungkin saja kamu tidak akan bisa menari untuk waktu yang lama,” ucap Liang Yi sambil mengeluarkan sekotak obat berupa tumbukan halus dedaunan yang baru saja ditumbuknya.

“Sebaiknya kamu beristirahat dan jangan banyak bergerak. Dengarkan pengawalmu itu dan jangan membantah apa pun yang dia katakan,” ucap Liang Yi setelah melilitkan kain di pergelangan kaki Li Jia yang sudah dibalur tumbukan obat. Pemuda itu lantas bersiap untuk pergi. Sementara Li Jia hanya diam dan melihat pemuda itu keluar dari kamar.

“Sebaiknya kamu temani dia dan jangan biarkan dirinya terlalu banyak bergerak agar obat itu bisa bekerja dengan baik,” ucap Liang Yi pada Lian saat pemuda itu mengantarnya di depan pintu.

“Baik, Tuan. Terima kasih,” ucap Lian sambil menundukkan kepalanya.

“Apa dia sudah pergi?” tanya Li Jia pada Lian yang baru saja masuk. Pemuda itu mengangguk. Li Jia lantas membuka penutup wajahnya. Hanya di depan Lian, dia berani memperlihatkan wajahnya tanpa rasa takut. Keelokan wajahnya telah mengalihkan pandangan Lian, tetapi dia segera menundukan pandangannya.

“Lian, kamu juga harus beristirahat. Pergilah ke kamarmu, aku sudah tidak apa-apa,” ucap Li Jia pada Lian yang masih berdiri di depannya.

“Nona yang seharusnya beristirahat. Tidurlah, aku akan berdiri di luar,” ucap Lian sambil keluar dari kamar dan berdiri di depan pintu kamar itu.

Semalaman, Lian berdiri di depan pintu tanpa beranjak dari sana. Li Jia bisa melihat bayangan pemuda itu dari tempat tidurnya. Lian seakan menjadi penopang yang selalu ada untuknya.

Menjelang pagi, Liang Yi datang bersama beberapa dayang yang membawakan sarapan pagi untuk Li Jia. “Apa kakimu sudah membaik?” tanya Liang Yi padanya.

“Berkat bantuanmu, aku masih bisa bertahan. Terima kasih.”

“Itu sudah tugasku. Setelah selesai sarapan, aku akan kembali dan membawamu ke paviliun. Pangeran Wang Li sudah menunggumu.”

“Baiklah,” ucap Li Jia pada pemuda itu.

Di dalam ruangannya, Pangeran Wang Li terlihat serius saat membaca sebuah buku. Dia begitu tertarik dengan ilmu pengetahuan umum dan tata negara. Dari kecil dia sudah diajarkan tentang sastra. Dan dia sudah hafal di luar kepala semua pelajaran itu.

“Pangeran, Nona Li Jia sudah datang.” Liang Yi sudah berdiri di depan pintu dan membukanya sembari mempersilakan gadis itu untuk masuk.

Pangeran Wang Li kemudian menyimpan buku yang sedang dibacanya sambil merapikan kembali jubahnya. Dia lantas mempersilakan Li Jia untuk duduk, “Duduklah,” ucapnya yang terdengar berwibawa. Li Jia lantas duduk. Dia tampak seperti biasanya. Anggun walau wajahnya tertutup kain penutup wajah.

“Ah, apa kamu punya alasan tertentu, hingga selalu menutupi wajahmu seperti itu?” tanya Pangeran Wang Li saat melihatnya.

“Maaf, Pangeran. Bukankah dari awal aku sudah bilang kalau ini merupakan identitasku. Apa Pangeran masih penasaran dengan wajahku?”

“Tenanglah, aku tidak akan memintamu untuk membuka penutup wajahmu itu. Karena aku takut kecewa kalau ternyata keindahan tarianmu tidak sebanding dengan keindahan wajahmu. Aku lebih suka melihatmu seperti ini,” ucap Pangeran Wang Li setengah tertawa. Li Jia hanya tersenyum kecut saat mendengar ucapan pemuda itu.

“Baiklah, untuk hari ini aku tidak akan memintamu untuk menari, tetapi aku hanya ingin memintamu untuk menemaniku jalan-jalan di taman. Apa kamu keberatan?” tanya Pangeran Wang Li sambil menatap gadis itu.

“Aku tidak keberatan. Aku akan menemani Pangeran,” jawab Li Jia sambil menundukkan wajahnya sebagai tanda hormat.

Pagi itu, pangeran terlihat begitu menikmati kebersamaannya bersama Li Jia. Dia tidak menyangka kalau gadis itu bisa membuatnya tersenyum lepas. Karena itu, di ulang tahunnya dia akan meminta Li Jia untuk menari.

Sejak kematian ibunya, Pangeran Wang Li hanya merayakan ulang tahunnya bersama Liang Yi. Dia tidak lagi merayakan hari kelahirannya itu secara besar-besaran karena kesedihannya setelah kematian ibunya.

Di taman, Pangeran Wang Li duduk di bangku dekat sebuah kolam sambil menatap ikan-ikan yang berenang bebas. Di sampingnya, Li Jia berdiri sambil menatap ikan-ikan itu. Sementara Lian dan Liang Yi, berdiri sekitar sepuluh meter dari mereka.

“Terima kasih karena kamu masih mau menemaniku. Aku cukup beruntung karena bisa mengenalmu,” ucap Pangeran Wang Li yang tampak sedih.

Melihatnya, Li Jia merasa kalau sikap pangeran begitu berbeda. Di depan banyak orang dia terlihat begitu bijaksana dan berwibawa. Namun, saat sendiri seperti sekarang ini sikapnya sangat jauh berbeda. Tanpa beban, Pangeran Wang Li bisa tertawa bebas bahkan bercanda dengannya.

Sejenak, dia merasa kalau pangeran sama seperti dirinya yang harus terlihat sempurna di depan semua orang, tetapi sebenarnya mereka sangat kesepian. Melihat pangeran seperti itu, membuatnya bagaikan melihat cerminan dirinya sendiri. Kesepian walau dikelilingi banyak orang. Tertawa walau sebenarnya menangis. Itu semua karena kerinduan pada orang yang mereka sayangi, yaitu sosok orang tua yang sudah pergi meninggalkan mereka.


Pendekar Cinta dan Dendam

Pendekar Cinta dan Dendam

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kepulan asap hitam tampak mengepul di atas sebuah bukit. Bukit yang ditinggali beberapa kepala keluarga itu tampak diselimuti kepulan asap dengan kobaran api yang mulai membakar satu per satu rumah penduduk yang terbuat dari bambu. Warga desa tampak berlarian untuk berlindung, tapi rupanya penyebab dari kekacauan itu enggan membiarkan mereka meninggalkan tempat itu."Cepat bunuh mereka! Jangan biarkan satu pun yang lolos!" perintah salah satu lelaki. Lelaki yang menutupi setengah wajahnya itu menatap beringas siapa pun yang ada di depannya. Tanpa belas kasih, dia membantai setiap warga yang dijumpainya. Tak peduli anak-anak ataupun orang dewasa, dengan tega dia membantai tanpa ampun.penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset