“Hm…, huh?!” dia terbangun di tempat yang sama, yaitu sebuah ruangan tempat makan dengan meja dan kursi yang sama. “mimpi ini lagi,” Ryan menampar dirinya berkali-kali supaya terbangun, dia sangat lelah. “tidak bisa…,” ada dua jalan untuk keluar dari ruangan ini, dia memilih jalan yang sama ketika mimpi pertamanya terjadi.
Tiba-tiba semua jalan tertutup, dan dia melihat lagi sosok Harlott yang terbujur kaku. Di saat bersamaan, dia berhasil menghindari sebuah tangan keriput yang mencoba untuk menembus dadanya seperti mimpi sebelumnya.
“Semuanya bergerak sama seperti waktu itu, tapi…apa? Apa maksud dari mimpi ini?”
Tidak lama sosok lain bermunculan, menembus tembok menuju ruang makan. Saat mereka berjalan, mereka menembus sosok Ryan. Seperti tidak melihatnya berdiri di situ. Dua sosok ini adalah Ayah dan Ibu Harlott dengan rupa yang sama dengan apa yang Ryan liat dalam foto. Sang ibu menangis histeris, walaupun begitu tidak terdengar suara apapun. Sedangkan sang ayah terlihat lebih tegar namun raut wajahnya mengkerut kesal.
Sebuah jendela muncul di bagian samping rumah ini, dengan gorden kecil berwarna putih. Jendela itu mulai terbuka, Ryan mendekatinya. Terhampar suatu pemandangan, ada seorang anak kecil yang sedang bermain bersama wanita yang sudah berumur. Ryan tidak bisa melihatnya dengan jelas karena posisi dua orang itu jaraknya jauh dari pandangan.
“Agh!” sebuah tangan berwarna abu dengan kulit yang sangat keriput mencengkram leher Ryan, dia tidak menyangka ada sebuah tangan lagi muncul dari bawah kusen jendela.
Ryan terbangun, dia basah dengan keringat. Perlahan mimpinya mulai menunjukan peristiwa lainnya, namun tangan keriput itu lagi-lagi menghentikan langkahnya. Sudah pukul tiga pagi, Ryan bersiap-siap menyiapkan dokumen untuk bekerja. Sebelum fajar datang Ryan sudah berangkat menuju apartemen, tempat di mana istrinya tinggal sementara. Mereka berdua pun berangkat bersama ke kantor.
“Padahal di apartemen juga ada tempat kerja kan? Kenapa sih masih ngerjain tugasnya di rumah?” tanya istrinya sedikit khawatir.
“Di rumah lebih enak, lagian semua dokumen kan disimpen di rumah. Ada beberapa file yang ga boleh disimpen di laptop,” jawab Ryan tenang.
Ryan menurunkan istrinya di depan halaman kantornya seperti biasa, sebelum masuk kantor istrinya berpesan untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Dia merasa sepi walaupun tinggal bersama bi Sutri di apartemen. Lalu Ryan berjanji akan menyelesaikannya secepatnya, yang dimaksud Ryan sebenarnya menyelesaikan misteri yang ada dirumahnya sehingga keluarganya bisa tinggal dengan nyaman.
Suasana di kantor pun tidak lebih baik bagi Ryan, setumpuk pekerjaan yang dia tinggalkan selama sehari ternyata cukup banyak. Belum lagi pertemuan dengan klien karena Harry tidak bisa menanganinya saat Ryan absen. Pekerjaan yang melelahkan membuat Ryan bersantai sejenak dimejanya. Dengan pemandangan luar yang tenang tersaji melalui jendela yang ada diujung. Di sini dia bisa melihat pantulan dirinya sendiri.
“Stress!” keluhnya.
Di saat waktu santainya seperti itu dia melihat pantulan sosok lain, sosok yang tidak asing baginya. Yaitu sosok Harlott, dia hanya berdiri di samping. Ryan mencoba melihatnya , tetapi wujudnya tidak ada kecuali di dalam kaca. Perlahan sosok Harlott mendekat, Ryan masih tenang karena dia tidak melihat wujud aslinya. Semakin dekat, keringat dingin mulai keluar perlahan membasahi bagian atas kepalanya. Sekarang Harlott sudah disampingnya, Ryan tidak bisa menggerakan badannya. Dia hanya terpaku melihat pantulan Harlott di kaca.
Kepala Harlott mulai mendekat ke telinga Ryan, dia membisikan sesuatu. “Jangan pergi dari rumah itu….,” suaranya lirih.
Mendengar suara Harlott, Ryan semakin membeku. “Dia berbicara?” ucapnya dalam hati.
Lalu tiba-tiba, “Hei!” Harry menepuk pundak Ryan dengan keras. Sosok Harlott hilang dari pantulan. “maaf yah, ternyata kliennya mau diskusi sama arsiteknya. Padahal udah saya jelasin singkatnya kemarin.”
“Oh ga apa-apa, biasa itu mah.”
“Kenapa? Kok keringetan banget sampe kemeja kamu basa begitu, belum makan siang yah? Hayu atuh makan bareng,” Ryan tidak bisa menolak ajakan Harry untuk makan siang bersama.
Saat makan siang Ryan lebih banyak diam, dia masih memikirkan bisikan Harlott barusan.
“Apa maksudnya?”
“Apa? Kamu ngomong ke siapa?” tanya Harry yang bingung atas sikap Ryan yang tiba-tiba berbicara aneh.
“Oh engga, itu tadi biasa klien suka aneh-aneh permintaannya, heeheh.”
Kegiatan di kantor berakhir seperti biasa, lalu menjemput istrinya hingga mengantarnya kembali ke apartemen. Lagi-lagi Ryan mengucapkan janjinya yaitu untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Di perjalanan pulang dia masih memikirkannya, Ryan tidak akan pergi dari rumahnya sendiri pikirnya. Namun istrinya tidak bisa tinggal dengan kalau rumahnya masih seperti itu, berhantu dan sering muncul gangguan makhluk lain.
Ryan melihat-lihat kondisi rumahnya, semua masih sama pada tempatnya. Lalu dia bergerak cepat ke atas, kekamarnya.
“Aku yakin pasti malam ini aku akan bermimpi tentang hal itu lagi, kematian Harlott yang masih membingungkan,” Ryan mengambil secarik kertas lalu mulai menuliskan rentetan kejadian dimimpinya. “aku rasa cukup,” selesai dengan menulis Ryan langsung mempersiapkan diri untuk tidur, setelah sebelumnya mandi air hangat agar tubuhnya lebih rileks. “selamat malam,” Ryan memejamkan matanya.
Dugaannya benar, Ryan kembali masuk ke alam mimpi di mana Harlott terbunuh. Rintangan pertama dan kedua dapat dia hadapi dengan mudah, karena dia sudah tau di mana tangan keriput itu menyerangnya. Sekarangnya latarnya berubah, di sebuah dapur ayahnya Harlott yang bernama Wesley terlihat sedang berbicara dengan salah satu pelayannya. Seorang wanita yang masih muda, mungkin hanya beberapa tahun di atas Harlott.
Sama seperti sebelumnya, tidak ada suara yang terdengar padahal posisi Ryan berdiri sangat dekat. Tubuh Ryan seakan bergerak sendiri mengikuti alur cerita ini. Sekarang dia ada di halaman belakang rumah, sosok Lady Marline terlihat berlutut sambil menangis. Sementara itu Wesley memegang sebuah senapan laras panjang ditemani pelayan wanitanya disampingnya. Tanpa basa-basi dia menembak Lady Marline tepat didadanya, darah meluncur deras keluar. Lady Marline jatuh tak sadarkan diri.
“A…apa?! Jadi ayahnya Harlott yang membunuh Lady Marline?” Ryan tidak bisa berbuat apa-apa, dia seperti hantu yang tidak terlihat.
Setelah melihat Lady Marline tidak bergerak, mereka membawa tubuhnya pergi jauh menggunakan mobil tua yang di jaman itu terlihat bagus. Tubuh disimpan di dalam bagasi mobil yang letaknya ada di belakang. Wesley dan pelayan kembali terlibat dalam percakapan. Ryan hanya memperhatikan mereka tanpa tahu apa yang dibicarakan. Mobil berhenti, pintu bagasi dibuka. Tubuh Lady Marline masih ada di sana dengan mata yang terbuka sambil berdarah. Pelayan wanita terlihat membisikan sesuatu kepada Wesley, kemudian pintu bagasi tertutup kembali dan mereka melanjutkan perjalanan.
Mobil terhenti di salah satu rumah sakit, pelayan wanita turun sedangkan Wesley menunggu di mobil. Ryan seperti mendengar suatu suara, sangat kecil namun dia bisa mendengarnya. Ternyata Wesley mendengarnya juga, dia bergegas membuka bagasi. Lady Marline ternyata belum tewas, dia masih bisa menggerakan tangannya sedikit. Karena panik takut ketahuan, Wesley langsung memukul wajah Lady Marline dengan keras hingga bagian belakang kepalnya membentur mobil.
Kejadian berikutnya membuat Ryan tidak mampu berkata apa-apa, lalu Ryan merasakan sesak nafas yang amat menyiksa. Rasanya seperti di dunia nyata, dia memegangi lehernya sendiri. Nafasnya semakin habis, dia membuka mata lalu melihat seseorang sedang mencekik lehernya. Tangan satunya memegang pisau yang penuh dengan darah.
“Di…Dian! Hen…tikan!” Ryan meronta mencoba melepaskan cekikan istrinya yang kini wajahnya berubah menjadi pucat berwarna abu, matanya mengeluarkan darah dan memegang pisau berwarna merah penuh darah.