Bulan Separuh episode 1

Chapter 1

Walaupun hujan sehari menghapus panas setahun, cintaku padamu tak hilang dihapus waktu~
Satu jam sudah aku terduduk di taman ini. Menikmati indahnya senja bersama serumpun Anyelir dan Camelia yang sedang merekah. Menghadapi kenyataan menciptakan nelangsa berenda kepedihan. Hatiku tak bergeming melupakan sosok itu. Laki-laki yang kupanggil suami.
“Zah, Hasan laki-laki yang baik. Sopan, punya pengetahuan agama yang luas. Insya Allah, mampu menjadi imam yang baik buat kamu,” kata Ibu di kala itu, saat aku memberontak hendak dijodohkan.
Penolakanku bukan tanpa alasan. Selaksa dilema tercipta membiaskan kegamangan. Akankah aku mengubur impian untuk melanjutkan S2 atau mengukir takdir untuk hidup bersama dengan Hasan. Namun, aku tak kuasa menolak permintaan Ibu. Tak tega melenyapkan senyum dari bibirnya yang selalu mendoakanku.
“Bu, apakah menikah tanpa cinta akan berakhir bahagia?” tanyaku pada Ibu yang sibuk me-list undangan. Ibu tersenyum padaku. Dan meraihku dalam pelukannya.
“Bismillah, sayang. Allah pemilik cinta. Dan Dia akan menumbuhkan cinta seiring berjalannya waktu. Ikhlas berkhidmat kepada suami. Itu jalan kamu menuju surga-Nya.”
Kueratkan pelukan. “Bu, doakan Azizah. Semoga menjadi istri yang baik.”
“Pasti sayang, salah satu tugas seorang Ibu, mendoakan putra-putrinya.”

*****

Aku menyeka air mata yang tertumpah. Berdamai dengan hati agar tak merutuki takdir. Kumenarik nafas panjang, kembali mengingat saat terindah itu.
Awal pernikahan yang kaku. Tak ada cinta . Kutelusuri hatiku, namun sayang tak ada ruang untuknya di sana. Tapi, benar kata Ibu. Lambat laun, rasa itu tumbuh ketika hidup bersama. Bang Hasan suami yang baik. Ia memperlakukanku bak seorang ratu. Cintanya yang tulus, mampu menghancurkan palung keegoisan di hati. Kelembutan budi pekertinya menumbuhkan benih-benih rasa. Dan, Aku jatuh cinta kepadanya. Ia membimbingku untuk semakin dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan. Inikah jatuh cinta yang sebenarnya, mencintai tanpa khawatir, bahagia tanpa ragu, dan pastinya membangun cinta karena-Nya.
Suatu saat ketika kami menikmati pagi berdua, Bang Hasan berkata padaku. “Sayang, Ahad kita ke kampung ya, ke rumah mamak, Ibu kandung Abang. Sekalian kita mengajak Ayah dan Bunda.”
“Boleh Bang, Azizah juga pengen ketemu mamak. Wanita hebat yang melahirkan laki-laki penuh cinta seperti Abang,” kataku malu-malu.
“Adik sudah cinta sama Abang? Duh, bahagianya hatiku.” Bang Hasan menarik hidungku gemas. Dan kubalas dengan mencubit pinggangnya.
Ah, menikah itu ternyata menciptakan bahagia tiada tara.

*****

Dadaku mulai nyeri, ada luka yang kembali perih. Mengenangnya, hanya menambah luka yang mendalam.
Hari Ahad, sesuai dengan janji Bang Hasan, kami bersilaturrahmi ke kampung tempat mamaknya Bang Hasan berada. Ibu minta ikut. Beliau ingin bernostalgia di sana, tempat Almarhum Ayah dan Ibu ditugaskan dua puluh tiga tahun yang lalu.
Di depanku berdiri wanita paruh baya bertatapan teduh. Aku memeluknya erat.
“Istri kamu cantik, San,” puji Mamak sambil pandangannya tak lepas dariku. “Semoga pernikahan kalian berkah, ya.” do’a Mamak sambil menyapu kepalaku dengan penuh kasih.
Aku dan Bang Hasan mengaminkan. Ibu juga mengaminkan.
“Mak, ini Ibu mertua Hasan.” Bang Hasan mengenalkan Ibu kepada mamak.
Kedua wanita itu tertegun. Saling membisu beberapa saat. Seakan sedang mengingat sesuatu di masa lalu.
“Bedah? Kamu Zubaedah, kan?” Tanya Ibu sambil memeluk mamak.
“Iya, Bu Kia. Saya Bedah yang pernah bekerja di rumah Ibu. Saat Ibu dan Bapak ditugaskan di kampung ini,” jawab Mamak sambil menyeka air mata.
“Masya Allah, Bedah. Saya kira kamu tidak terselamatkan saat banjir bandang dua puluh tahun yang lalu. Kami mencari kabar tentangmu, namun tak ada satu pun yang tahu, nasibmu dan anakmu Bedah,” Kini Ibu yang terisak.
“Alhamdulillah, kami selamat dari musibah besar itu. Kemudian Hasan di adopsi oleh keluarga Pak Amri. Yang kini menjadi Ayah Bunda Hasan.”
“Jadi, Mamak yang menjadi asisten rumah tangga saat kita di sini, Bu?” tanyaku dengan nafas tercekat. Ada sesak di ujung hati.
Ibu hanya mengangguk sambil sesenggukan.
Ayah dan Bunda serta Bang Hasan menjadi bingung, melihat kami bertiga menangis.
“Ada apa ini? Kok, kompak banget nangisnya?” Seloroh Bang Hasan mencoba mencairkan suasana.
Mamak menghampiri Bang Hasan. Mengelus kepalanya dengan penuh cinta, Mamak menggenggam tangan laki-laki terkasihku itu.
“Nak, saat itu … Ibu mertua kamu menderita asam lambung akut. Dan diopname selama satu minggu di rumah sakit. Mamak mengambil alih mengasuh Azizah, istri kamu. Azizah rewel, tidak mau minum susu formula. Mamak tak tega melihat Azizah yang kehausan. Dan ….” Mamak memeluk Ibu, maka pecahlah tangis kedua wanita itu.
“Lalu apa, Mak?” tanya Bang Hasan tak sabar.
“Mamak menyusui Azizah. Bukan hanya saat itu. Namun, sampai Ibu kamu sembuh dari sakitnya. Kala itu usiamu sudah setahun, dan kamu masih menyusu kepada mamak.”
“Jadi … Hasan dan Azizah saudara sepersusuan, Mak?”
“Iya, Hasan. Maafkan Mamak yang terlambat mengatakan kejadian ini.”
Aku menatap Bang Hasan perih. Seperih hatiku yang kini hancur. Aku sudah lama mendengar cerita ini dari Ibu. Selama ini, kami sekeluarga mencari keberadaan Mak Zuabedah. Dan … ketika kami menemukannya, saudara sepersusuanku adalah suamiku sendiri.
“Astaghfirullah … ampuni dosa kami ya Allah!” Seru Bang Hasan.
Ayah dan Bunda memeluk Bang Hasan yang histeris.
Kami begitu terpukul mendengar cerita ini.
Bang Hasan mendekatiku dengan mata yang berlinang.

“Azizah, kamu tahu hukumnya pernikahan saudara sepersusuan?” tanyanya dengan suara gemetar.
Aku sesenggukan. Tak kuasa menahan sakit yang teramat.
“Islam telah menetapkan bahwa saudara sepersusuan termasuk orang yang haram untuk dinikahi. Haramnya menikah antara saudara sepersusuan jelas sekali di dalam Alquran dan Hadis.
Allah subhanallahu ta’ala berfirman:
“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan….” (an-Nisa: 23)
Rasulullah saw bersabda: “Apa yang diharamkan karena adanya hubungan kelahiran, haram pula karena hubungan persusuan.” (HRMuslim)
Maka, pernikahan antar sesama mahram adalah pernikahan yang tidak sah. Karena itu, pernikahan seperti ini harus dibatalkan.”

Bang Hasan tepat berada di depanku. Netra kami bertemu. Air mata kesakitan menguar sejadinya.
“Saat ini juga, kita berpisah sayang ….” katanya sambil terus menatapku.
“Bagiku … engkau istri terbaik, tak akan terganti.”

Aku tergugu, tak mampu mengendalikan emosi yang membuncah. Dari pancaran mata Bang Hasan, tersirat rasa enggan untuk melepaskan. Tak sanggup untuk berpisah.
Ku ingin memeluknya untuk yang terakhir, menumpahkan segala sesak di dada. namun, status telah berbeda dalam sekejap mata. Air mata perpisahan tumpah ruah tak menemukan muara. Harapan hidup bersama pupuslah sudah. Menaati perintah-Nya adalah keutamaan.
Selamat berpisah kasih. Inilah jalan yang dijalani.

*****

Beginilah akhir dari nasib pernikahanku. Menjalani takdir yang tak diinginkan. Tapi aku menyadari bahwa cinta abadi itu hanya milik Dia semata. Aku tak menyadari bahwa rasa cinta ini hanya sementara, sampai akhirnya aku menemukan diriku dalam luka yg tak berdarah, terpisah tanpa kesalahan yang mencipta benci, tapi ini takdir, Ini ketentuan dari-Nya yang tak bisa di beri kilah dengan dalil apapun. Bila Tuhan yang berkehendak, tak ada yang mampu mencegahnya. Kini, hidupku ibarat bulan separuh. Tak sempurna bercahaya. Karena separuh cahayanya hilang bersama orang yang kucinta.


Bulan Separuh

Bulan Separuh

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2020 Native Language: Indonesia
Walaupun hujan sehari menghapus panas setahun, cintaku padamu tak hilang dihapus waktu~ Satu jam sudah aku terduduk di taman ini. Menikmati indahnya senja bersama serumpun Anyelir dan Camelia yang sedang merekah. Menghadapi kenyataan menciptakan nelangsa berenda kepedihan. Hatiku tak bergeming melupakan sosok itu. Laki-laki yang kupanggil suami. “Zah, Hasan laki-laki yang baik. Sopan, punya pengetahuan agama yang luas. Insya Allah, mampu menjadi imam yang baik buat kamu,” kata Ibu di kala itu, saat aku memberontak hendak dijodohkan. Penolakanku bukan tanpa alasan. Selaksa dilema tercipta membiaskan kegamangan. Akankah aku mengubur impian untuk melanjutkan S2 atau mengukir takdir untuk hidup bersama dengan Hasan. Namun, aku tak kuasa menolak permintaan Ibu. Tak tega melenyapkan senyum dari bibirnya yang selalu mendoakanku.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini..

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset