Saat turun setelah mandi, dia melihat bi Sutri sedang menonton tv. Salah satu acara kesukaannya yaitu kontes dangdut, Dian tidak pernah mempermasalahkan jika bi Sutri ingin menonton tv di ruang tengah walaupun sebenarnya dikamarnya bi Sutri juga sudah disediakan tv. Dian mengambil lauk pauk yang sudah disediakan, lalu berjalan menuju ruang tengah untuk bergabung dengan bi Sutri menonton tv.
“Bi, makan…,” menawarkan makan kepada bi Sutri, tapi bi Sutri hanya menatap tv tanpa menjawabnya.
Ada yang aneh dengan bi Sutri, dia hanya diam saja. Tidak juga menoleh ke Dian padahal dia duduk diseberangnya.
“Bi Sutri dukung siapa? Hampir tiap hari yah nonton acara ini,” Dian mencoba membangun suasana tapi lagi-lagi bi Sutri hanya diam saja, badannya tegak dan kedua tangannya dia simpan di atas pahanya. Dian berpikir karena volume suara tv yang lumayan kencang membuat bi Sutri hanyut dalam keseruan penyanyinya. Dia melanjutkan makannya tanpa bertanya.
Karena porsi makannya yang sedikit, Dian sudah menghabiskan makannya dengan cepat. Dia beranjak pergi ke dapur untuk meletakan piring kotor, saat dia pergi juga bi Sutri masih diam. Tidak sekiranya memberikan perhatian sedikit kepada Dian. Dapur rumah ini terletak dibelakang, dekat dengan kamar bi Sutri. Di dapur tidak ada tumpukan piring kotor, lalu Dian pun mencuci piringnya sendiri. Saat sedang mencuci dia mendengar kegaduhan dari arah kamar bi Sutri.
Dian mematikan air setelah selesai mencuci, lalu berjalan perlahan menuju kamar bi Sutri. Dia intip dari jauh, pintu kamar terbuka setengahnya. Dian mendekati kamar, dia intip lagi tv di kamar itu menyala. Siaran yang sedang berlangsung adalah siaran kontes dangdut yang biasa bi Sutri tonton, terdengar suara bi Sutri yang memuji-muji kontestan yang bernyanyi.
Dian membuka pintu kamar lalu melihat bi Sutri sedang menonton dengan gaya yang santai, “Bi! Kok ada di sini?” bi Sutri pun kaget, dia tidak menyangka Dian datang tiba-tiba.
“Saya dari tadi juga di sini bu, saya ga enak kalau nonton di tengah pas malem-malem. Kalau siang sih di tengah sambil bersih-bersih,” jawabnya dengan polos.
“Bukannya bi….,” sambil memainkan telunjuknya. Dian keluar dari kamar bi Sutri, dia ingin melihat keadaan ruang tengah sekarang. “kalau bi Sutri berarti di ruang tengah kosong ga ada orang,” pikir Dian.
Dia berjalan perlahan, saat ruang tengah sudah terlihat dia mengintipnya dari jauh. Tv masih menyala dan sosok bi Sutri masih di sana menonton tv. Dian kaget, bagaimana mungkin bi Sutri bisa ada di dua tempat.
Saat sedang terkejut seperti itu, dia merasakan ada yang menepuk pundaknya.”Ahhh!” dia berteriak kaget, menoleh kebelakang. Ternyata yang menepuknya bi Sutri, “Bi! Ngagetin aja sih!”
“Saya heran, muka ibu kayak yang kebingungan gtu. Ada apa bu?” Dian menunjuk ke arah ruangan tengah, di sana ada sosok bi Sutri yang lainnya. “hah?! Itu siapa,” memperhatikannya lebih dalam. “kok bajunya sama kayak bibi,” bi Sutri gemetaran, tangannya merangkul erat ke sela tangan Dian.
Sosok yang ada di tengah ruangan berdiri, lalu menggerakan kepalanya berputar melihat kebelakangan dengan cepat, sedangkan tubuhnya masih menghadap ke arah yang berbeda. Matanya melotot ke arah Dian dan bi Sutri. Mereka yang melihatnya langsung berlari menuju kamar bi Sutri. Dalam keadaan panik, bi Sutri mengunci pintu kamarnya. Lalu mereka berdua bersembunyi dibalik selimut.
“Bu…itu apa?…,” suaranya bergetar, bi Sutri sangat takut.
“Sa…saya tidak tahu…,” tidak lama terdengar suara ketukan pintu. Keduanya menjerit keras.
“Di…an….di…an….,” suara wanita memanggil nama Dian. Mereka semakin ketakutan.
Sepanjang perjalanan pulang Ryan selalu mengecek spion belakangnya. Dia takut yang dilihat bu Angel dia lihat juga. Untungnya tidak terjadi apa-apa pada Ryan, dia berhasil pulang tanpa gangguan. Saat di depan pagar dia memberi tanda untuk dibukakan pintu, tidak ada orang yang menjawab.
“Pada kemana, baru jam segini ga mungkin udah pada tidur,” melihat jam, baru pukul setengah Sembilan malam. Karena baik bi Sutri maupun Dian tidak ada yang keluar, maka Ryan membuka pagarnya sendiri lalu memparkirkan mobilnya.
Pintu juga tidak terkunci, Ryan dapat membukanya dengan mudah. Suasana di dalam rumah sepi, hanya tv di ruang tengah yang menyala tapi tidak ada orang yang menontonnya.
“Dian….bi Sutri….,” mencoba memanggil orang rumah. Masih tidak ada jawaban. Dia naik ke atas menuju kamarnya, Dian tidak ada di sini. “pada kemana sih?” mulai bingung mencari orang-orang rumah. Ryan mencoba menelponnya, suara handphone Dian malah terdengar di bawah. Ryan mengikuti suara tersebut yang menuntunnya ke meja makan. “handphonenya di sini,” Ryan berjalan ke kamar bi Sutri untuk mengeceknya apa bi Sutri ada dikamarnya dan tahu di mana Dian berada.
Ryan mengetuknya, “Pergi! Pergi dari sini! Jangan ganggu kami!” dari suaranya, orang yang meneriakinya ini adalah Dian.
“Dian?…, hei buka ini aku Ryan.”
“PERGIIII!!!” suara itu semakin keras.
“Dian…ini aku, bi…bi Sutri,” memanggil bi Sutri untuk menyakinkan Dian.
Pintu perlahan terbuka, Dian masih takut. Dia takut kalau orang dibalik pintu ini bukan suaminya, saat semua pintu terbuka. Sosok Ryan berdiri dihadapannya, Dian langsung memeluknya sambil menangis. Di dalam juga ada bi Sutri yang masih menunjukan muka yang takut. Ryan tidak tahu kejadian apa yang menimpa istrinya dan bi Sutri.
“Engga apa-apa, sudah…aku di sini, jangan takut,” mencoba menenangkan istrinya yang masih menangis.
Semenjak kejadian itu, Dian menjadi sosok pemurung dan diam. Sering kali saat malam dia bangun sambil teriak-teriak, dia tidak berani jika ditinggal berdua dengan bi Sutri saat malam hari. Bi Sutri juga kembali ingat tentang kejadian waktu itu, diganggu oleh makhluk halus saat pagi hari, dia menceritakannya bahwa saat pagi itu dia melihat sesosok wanita Belanda yang tiba-tiba menjatuhkan dirinya dari lantai dua. Saat Ryan memberitahu sosoknya wanita Belanda yang berambut pirang, bi Sutri malah menyanggahnya. Yang dia lihat mukanya suka tua dan rambutnya berwarna hitam pekat.
Yang dilihat bi Sutri ternyata bukan sosok Harlott melainkan sosok lainnya, Ryan membuka buku merah saat istrinya sudah tertidur lelap. Melihat apakah ada informasi mengenai wanita Belanda lainnya atau tidak. Dia melihat sebuah halaman dengan bacaan mengenai wanita belanda ini.
“19 April, aku semakin terbiasa dengan suasana seperti ini. Gangguan makhluk halus yang hampir setiap hari kurasakan, dan suami yang acuh terhadap apa yang dialami oleh istrinya. Malam itu aku sangat terkejut dengan kehadirannya, wanita belanda lain selain Harlott tiba-tiba muncul dengan senyum mengerikan penuh darah. Saat itu aku terbangun tiba-tiba karena mendengar suara senandung, aku pikir itu Harlott ternyata suara yang aku sungguh berbeda,” Ryan merasakan hawa yang menjadi dingin, dia melanjutkan membaca.
“Suara ini melengking, tidak enak didengar, aku mencoba keluar kamar untuk melihat siapa sosok dibalik suara ini. Pintu balkon, disinilah aku melihat sosoknya. Baju era pertengahan, dengan bawahan melambai ke bawah. Rambut hitam pekat dengan sanggul di bagian belakang. Dia tersenyum kearahku, berbeda dengan Harlott. Sosok ini bermuka tua dan sangat pucat. Dia terus menggangguku sampai aku berani menuliskan ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghindarinya, Harlott yang datang melaui mimpi hanya memberitahu namanya. Dia bernama…..,” angin kencang berhembus kencang dari dalam kamarnya hingga membuat buku merah yang dipegangnya terbang.
“Dian!” melihat istrinya yang tersapu angin hingga terjatuh dari kasurnya, namun anehnya Dian tidak terbangun. Saat angin terhenti Ryan memindahkan istrinya ke kasur, tidurnya sangat pulas apa yang merasakan keanehan ini hanya dirinya seorang. Pikir singkat sambil mencari buku merah. Dia menemukannya, buku merah ini sudah tersimbah darah di setiap halaman sehingga dia tidak bisa lagi membaca cerita yang ada didalamnya. Darah itu seakan berjalan ke tangan Ryan sehingga dia membuang buku itu dari tangannya. “Ah!” lalu tulisan besar muncul di tembok kamarnya, tulisannya tidak karuan terbuat dari darah. Namun Ryan masih bisa membacanya.
“Lady Marline,” tulisan besar yang ada di tembok kamarnya.